Saya Tak Setuju, Mengapa Lembaga Kebudayaan Mesti Distandarisasi dan Disertifikasi?


Oleh: R. Giring – Aktif di Institut Dayakologi & Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih
Rabu (23/10/2024), dari Institut Dayakologi, penulis turut menghadiri undangan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Barat untuk memberikan masukan pada Diskusi Draf Ranperda tentang Pemajuan Kebudayaan. Esai singkat ini berdasarkan catatan pribadi penulis tentang proses diskusi setengah hari tersebut.
Dalam diskusi itu hadir juga beberapa perwakilan OPD terkait. Di antaranya Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata Kalbar, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kalbara, Bappeda Provinsi Kalimantan Barat, Balitbang Kalbar, Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Kalbar, Badan Pelestarian Kebudayaan Wilayah XII Kalbar, Persatuan Merah Putih Kalbar, Bamusda Kalbar, Museum Kalimantan Barat, pejabat lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Barat, peneliti BRIN, dan penggiat seni budaya. Total diskusan sekitar 20-an orang.

Inisiatif Ranperda tentang Pemajuan Kebudayaan ini, menurut John Roberto, Analis Kebijakan dari Disdikbud Provinsi Kalbar, didasari atas usulan para penggiat seni budaya pada saat pembahasan draf Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah yang dihelat pada tanggal 7 September 2024 di Hotel Ibis, Pontianak yang lalu.
Penulis menilai ini merupakan suatu perkembangan yang baik. Meski termasuk “terlambat” sejak UU Pemajuan Kebudayaan Nomor 5/2017 diundangkan 7 tahun lalu. Inisiatif ini merupakan wujud “political will” Pemda Provinsi Kalbar dalam pemajuan 10 Objek Pemajuan Kebudayaan Daerah (OPKD), meliputi tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, dan ritus.
Baca juga: https://kalimantanreview.com/bayang-bayang-ibu-kota-di-kalimantan/2/
Secara konstitusional, UU Pemajuan Kebudayaan No. 5/2017 merupakan amanah dari UUD 1945 Pasal 32 ayat (1) yang menyatakan: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
Beberapa pemerintah daerah kabupaten, di antaranya Kab. Sanggau dan Bengkayang sudah memiliki Perda Pemajuan Kebudayaan. Masing-masing Perda Nomor 6/2019 tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah disahkan pada tahun 2019, dan Perda No. 3/2020 tentang Perlindungan dan Pemajuan Kebudayaan Daerah yang disahkan pada tahun 2020.
Baca juga: https://kalimantanreview.com/membaca-ngobrol-seni-di-pameran-tunggal-talawang-kala-kini/
Ini adalah diskusi tahap ke-2 draf Ranperda yang berisi lebih dari 30-an pasal tersebut. Ibu Luh Gede Suparyani, S.STP, M.A.P., Kabid Kebudayaan Disdikbud Provinsi Kalbar memimpin proses diskusi.
Diskusi berlangsung relatif lancar. Meskipun demikian, pasal mengenai standarisasi dan sertifikasi lembaga kebudayaan mendapat respon kritis dari beberapa peserta, termasuk dari penulis.
Sehubungan dengan pasal tersebut, Ibu Luh Gede Suparyani mengungkapkan bahwa Disdikbud Provinsi Kalbar kerap mendapati beberapa lembaga kebudayaan yang meski lengkap legal formal organisasinya, tapi aktivitas seni budayanya baru ada setelah mendapat dukungan dana hibah dari Disdikbud Kalbar.

“Setelah kegiatan seni budayanya mendapatkan dana hibah, lembaga kebudayaan tersebut cenderung tidak ada lagi kegiatan seni budayanya. Tapi pada saat ada peluang dana hibah lagi, lembaga kebudayaan seperti inipun ikut mengajukan dana hibah lagi,” tandas Ibu Luh bernada kesal.
Menurutnya, pasal tersebut justru ingin memastikan eksistensi dan keaktifan sebuah lembaga kebudayaan agar tidak bergantung pada dana hibah saja. Lembaga kebudayaan menurut Draf Ranperda Pemajuan Kebudayaan ini meliputi: kelembagaan adat, institut pendidikan, pusat kebudayaan, permuseuman, sanggat seni budaya, komunitas seni budaya, organisasi seni budaya, galeri seni, pasar seni, dan sentra industri kreatif.
Tidak Setuju