Tanah Dayak Daerah Antropogenik: Tanggapan Terkait Ibu Kota Nusantara (IKN)

1.055 Views

Oleh: Kusni Sulang (Tokoh Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah)

~ “People are the center. No one should be left behind” Rakyat adalah poros.  Tak seorangpun boleh ditinggalkan di belakang. — AIPI – S20, 2022 (dari Yunita T.Winarto, antropolog, Komisi Kebudayaan AIPI.)

~ Ensuring that no one is left behind – How do we protect the poorest and most vulnerable from the crisis and empower them to realize the SDGs “Menjamin bahwa tak seorang pun yang ditingggalkan di belakang. Bagaimana melindungi mereka yang termiskin dan terpapa dari krisis serta bagaimana memberdayakan mereka guna melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan”. — Statements Office of the High Commissioner for Human Rights, 06 July 2021.

~ “Itulah konsep nasionalisme yang didirikan Indonesia. Bukan orang Jawa, bukan orang Sumatera, bukan orang Kalimantan, Sulawesi, Bali atau lainnya, tapi orang Indonesia, yang bersama-sama menjadi fondasi satu kesatuan nasional.”—Bung Karno.

Artikel ini telah dipublikasikan di halaman Masyarakat Adat pada harian Radar Sampit beberapa hari yang lalu. Dimuat di KROnline ini atas seizin penulisnya yang juga mengampu rubrik Masyarakat Adat pada harian Radar Sampit yang selalu menyertakan tag line nya ini: Memperkuat Masyarakat Adat Dayak, Dasar Kalimantan Tengah Bahadat.

Dalam sebuah rapat di Gedung Perpustakaan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) tahun 2009 silam, seorang pimpinan Harian Banjarmasin Pos asal Jawa mengatakan bahwa kalau berbicara tentang Kalimantan, maka bayangan pendengarnya serta-merta daerah  yang dimaksud adalah pulau yang dihuni oleh Orang Dayak. Kalimantan adalah Dayak. Barangkali karena itu pula ketika pada 22-24 Juli 2019 ribuan Orang-Orang Dayak dari Kalimantan Indonesia, Sabah, Sarawak dan Brunei berkumpul di Tumbang Anoi, mereka berkeputusan mengubah nama Pulau Kalimantan menjadi Pulau Dayak.

Sebelumnya Prof. Dr Mubyarto alm.seusai melakukan penelitian di Kalteng, menamakan Kalteng sebagai ‘Provinsi Dayak’. Yang saya maksudkan dengan Tanah Dayak di sini adalah Kalimantan Indonesia.

Lalu  apa yang dimaksudkan dengan antropogenik? Penjelasan istilah ini saya kutip dari wikipedia, sebagai berikut:

“Bahaya antropogenik atau bencana antropogenik adalah bahaya atau bencana yang disebabkan oleh tindakan atau kelalaian manusia (kursif dari KS). Bencana ini merupakan kebalikan dari bencana alam. Bencana antropogenik dapat berdampak buruk pada manusia, organisme lain, bioma, dan ekosistem. Frekuensi dan tingkat keparahan bahaya adalah elemen kunci dalam beberapa metodologi analisis risiko.

Bahaya juga dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan dampak yang mereka miliki. Bahaya hanya ada jika ada jalur untuk terpapar. Sebagai contoh, pusat bumi terdiri dari bahan cair pada suhu yang sangat tinggi yang akan menjadi bahaya yang parah jika terjadi kontak dengan inti. Namun, tidak ada cara yang layak untuk melakukan kontak dengan inti bumi, oleh karena itu pusat bumi saat ini tidak menimbulkan bahaya. [https://id.wikipedia. org /wiki /Bahaya_antropogenik].

Baca juga: https://kalimantanreview.com/bayang-bayang-ibu-kota-di-kalimantan/

Dengan menulis  Tanah Dayak Daerah Antropogenik , saya ingin mengatakan bahwa Tanah Dayak, Kalimantan adalah daerah bencana yang disebabkan oleh tindakan atau kelalaian manusia.

Istilah ini diilhami oleh makalah Yunita T. Winarto, seorang antropolog di Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)  yang bertajuk “Kearifan  Lokal” Sebagai Wujud Adaptasi Budaya Komunitas Lokal Dalam Lanskap Antropogenik Kawasan Hutan”. Makalah dalam bentuk powe point ini disampaikan oleh Yunita dalam Konsultasi Publik Rancangan Peraturan Kepala Otoritas Ibu Kota Nusantara (OIKN) tentang Pengakuan Kearifan Lokal dalam Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup,  08 Juni 2023 lalu di Hotel Gran Senyiur Balikpapan, Kalimantan Timur.

Teks Yunita T Winarto dan Draf Konsepsi Rancangan  Peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara Tentang Tata Cara Pengakuan, Perlindungan Dan Pemajuan Kearifan Lokal Dalam Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disampaikan dalam diskusi. Saya perlu menyampaikan terimakasih kepada Bung Yando Zakaria dan Pak Ajid Kurniawan dari Balikpapan Pos yang telah memberikan saya kedua teks tersebut.

“Pembangunan IKN dilaksanakan secara holistik, termasuk pada pembangunan sosial dan lingkungannya. Oleh karena itu, konsultasi publik ini dilakukan untuk membangun proses kebijakan yang transparan dan partisipatif di OIKN,” ujar Kepala OIKN Bambang Susantono dalam sambutannya.

Ia juga menambahkan bahwa Konsultasi Publik ini adalah wujud dari komitmen OIKN dalam pembangunannya yang berlandaskan Bhineka Tunggal Ika, dimana IKN merupakan budaya nasional yang memberi ruang pada kebudayaan lokal. [https://ibukotakini. com/read/berikan-kepastian-hukum-bagi-kearifan-lokal-oikn-siapkan-ranperka]

Konsultasi publik ini dihadiri oleh sekitar 150 peserta.OIKN diwakili antara lain  Direktur Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana OIKN Onesimus Patiung dan Staf Khusus Kepala OIKN Bidang Keselamatan Publik Edgar Diponegoro. Sedangkan yang menjadi narasumber adalah Prof. Yunita Winarto dari Komisi Kebudayaan AIPI, Kepala Organisasi Riset Arkeologi Bahasa dan Sastra Badan Riset dan Inovasi Nasional Herry Yogaswara, dan Dosen Pembangunan Sosial FISIP Universitas Mulawarman Martinus Nanang.

Sementara dari instansi Pemerintah Pusat hadir sebagai narasumber Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Kemenkumham dan Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, KLHK Di akhir diskusi dijelaskan bahwa segala masukan atas Rancangan Peraturan Kepala IKN tentang tata cara pengakuan, perlindungan dan pemajuan kearifan lokal dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat disampaikan pada link: linktr.ee/KPkearifanlokalOIKN sampai dengan tanggal 13 Juni 2023. [https://ibukotakini. com/read/berikan-kepastian-hukum-bagi-kearifan-lokal-oikn-siapkan-ranperka].

Saya membaca berkali-kali dan masih akan kembali membaca Draf Rancangan Peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara setebal 62 halaman ini mulai dari Naskah Akademi-nya hingga ke Rancangan Peraturan. Jika dibahas rinci, Rubrik Halaman Masyarakat Adat Harian ini tidak akan mencukupi. 

Dari bacaan sementara ini, saya mendapatkan bahwa Draf tersebut jauh dari menjawab permasalahan di lapangan dan hakiki, terutama yang dialami dan dikhawatirkan oleh Masyarakat Dayak setempat. Draf nampak memisahkan antara kearifan local sebagai suatu karya budaya dengan penciptanya, atau pemangku atau subyek pendukungnya, jika menggunakan istilah Yunita T. Winarto. Karena itu pertanyaan Yunita “Di mana perspektif tentang subyektifnya?” adalah pertanyaan mendasar yang luput dari bahasan Draf. Pertanyaan Yunita inipun secara tersirat terdapat pada pernyataan Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam IKN Myrna A. Safitri: “Jika membahas kearifan lokal, tentu saja kompleksitasnya tinggi karena yang dihadapi adalah masyarakat dan adat dimana mereka memiliki sejarahnya masing-masing” [https://ibukotakini. com/read/berikan-kepastian-hukum-bagi-kearifan-lokal-oikn-siapkan-ranperka].

Tapi justru yang dilupakan oleh Draf adalah “sejarahnya masing-masing” ini. Yang saya tidak mengerti, mengapa ada Draf seperti ini sementara Myrna berada di lingkaran Draf itu?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *