Tidak Setuju Jika Lembaga Kebudayaan Distandarisasi dan Disertifikasi

234 Views

Menurutnya, pasal tersebut justru ingin memastikan eksistensi dan keaktifan sebuah lembaga kebudayaan agar tidak bergantung pada dana hibah saja. Lembaga kebudayaan menurut Draf Ranperda Pemajuan Kebudayaan ini meliputi: kelembagaan adat, institut pendidikan, pusat kebudayaan, permuseuman, sanggat seni budaya, komunitas seni budaya, organisasi seni budaya, galeri seni, pasar seni, dan sentra industri kreatif.

Tidak Setuju

Diskusan yang tidak setuju melontarkan gagasan bahwa Disdikbud tak perlu sampai mengurus standarisasi dan sertifikasi lembaga kebudayaan. Sebab hal itu setidaknya sebagiannya sudah tersurat dan tersirat di dalam syarat legal formal sebagai lembaga yang punya aktivitas seni budaya sesuai ketentuan peraturan dan perundang-undangan.

Terkait dana hibah, sebaiknya proses seleksinya yang diperketat. Misalnya tidak sekadar mensyaratkan aspek administrasi legal formal (legal standing) lembaga saja. Akan tetapi, bisa ditambahkan dengan kriteria lain, misalnya saja, sebuah sanggar seni budaya yang sudah aktif minimal 3 tahun terakhir, yang lembaganya, kepengurusan dan alamatnya tercatat dan/atau terverifikasi oleh instansi yang berwenang. Informasi kelembagaan berikut kompetensi dan kapasitasnya dapat ditulis lengkap, ringkas di porto folio lembaga dimaksud.

Standarisasi dan sertifikasi atas lembaga kebudayaan akan mereduksinya menjadi suatu produk komoditi, alih-alih untuk “menghargai” profesionalitas dan mengidentifikasi kompetensi, malah akan semakin menyeret aktivitas seni budaya ke urusan administrasi, birokrasi dan formalisasi.

Pengakuan atas kompetensi dan profesionalitas dalam mengekspresikan seni budaya, dengan keragaman dan keunikannya masing-masing pada akhirnya, untuk yang terbaik ialah masyarakat pemangku seni budaya itu sendiri, bahkan masyarakat secara keseluruhan dan terbuka.

Tidak ada yang bisa menggaransi keadilan akses pada birokrasi standarisasi dan sertifikasi bagi semua lembaga kebudayaan, yang kecil, besar, di kota maupun di pedesaan. Beban pembiayaan adalah hal yang akan turut menjadi tantangan baru. Alih-alih mengatasi masalah, malah memunculkan masalah baru.

Standarisasi dan sertifikasi yang indikator akhirnya adalah “surat tanda” bahwa lembaga kebudayaan tertentu memiliki orang dan/atau sejumlah orang yang memiliki profesionalitas dan kompetensi dalam seni budaya dalam arti khusus. Di negeri, dimana masih ada orang-orangnya yang bermentalitas menerabas, sekalipun terpelajar, pendekatan standarisasi dan sertifikasi, memberikan celah praktik kolusi, nepotisme dan cara-cara tak pantas, sistematis dan terstruktur demi memperoleh “surat tanda” profesional dan kompeten dari lembaga sertifikasi. Di sinilah pendekatan relasi kuasa seringkali dilibatkan.

Dalam berbagai pengalaman, individu maupun kelompok yang jauh dan/atau tidak punya akses pada pusat-pusat layanan administrasi dan birokrasi di perkotaan tergolong mereka yang paling tidak diuntungkan dari pendekatan standarisasi dan sertifikasi demikian. Mereka yang jauh aksesnya dari pusat layanan tadi tergolong kelompok rentan mengalami diskriminasi. Alih-alih ingin mempertegas pendisiplinan dari segi jumlah maupun mutu, pendekatan ini juga secara langsung atau tidak justru mengarah pada proses penyeragaman.

Kita baru saja dikejutkan dengan penurunan nilai akreditasi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin lantaran 11 guru besarnya diduga kuat terlibat melakukan praktik pelanggaran etik akademik dan nilai kejujuran.

Kemudian, kasus serupa, tapi lain, yakni pemberian nilai pada SIAKAD di sebuah Program Pascasarjana di  UNTAN Pontianak belum lama ini, yang cukup menghebohkan, setidaknya menjadi topik utama beberapa media massa. Dalam konteks standarisasi dan sertifikasi lembaga kebudayaan yang beragam dari kota, desa, kecil dan besar, apakah praktik seperti itu tak akan terjadi?

Baca juga: https://kalimantanreview.com/disdikbud-kab-bengkayang-gandeng-institut-dayakologi-laksanakan-seminar-revitalisasi-dan-reaktualisasi-budaya-lokal/

Dalam prosesnya kemudian, mempertimbangkan pendapat dan masukan diskusan yang tidak setuju tadi, akhirnya pasal mengenai standarisasi dan sertifikasi lembaga kebudayaan ditandai warna merah untuk dihapus.

Maksimalkan Pembinaan

Selanjutnya, perihal keaktifan sebuah lembaga kebudayaan juga dipandang berkaitan dengan tugas Disdikbud c.q bidang kebudayaan yang melakukan pembinaan sebagaimana turut diatur dalam Draf Ranperda Pemajuan Kebudayaan. Selain itu juga dinas ini, melalui bidang kebudayaan dan mitranya dapat meningkatkan tata kelola secara institusional agar kinerja lembaga kebudayaan dalam seni budaya semakin aktif alias tidak vakum.

Baca juga: https://kalimantanreview.com/institut-dayakologi-menyerahkan-dokumen-etimologi-lemukutan-kepada-disdikbud-kab-bengkayang/2/

Dengan demikian peran bidang kebudayaan Disdikbud Kalbar justru akan semakin konstruktif bagi keberadaan lembaga-lembaga kebudayaan yang ada apabila implementasinya benar-benar efektif sehingga bukan sekadar menjadi pihak penyedia dana hibah. Memaksimalkan perannya dalam pembinaan mungkin lebih tepat bersesuaian.

Dalam Ranperda Pemajuan Kebudayaan itu diatur pula tentang penghargaan dan sanksi. Termaauk sanksi pidana dan sanksi administratif. Tidak ada masalah dengan pasal ini karena sejauh bersesuaian dengan peraturan dan perundang-undangan di atasnya, yakni UU Pemajuan Kebudayaan Nomor 5/2017. Ranperda Pemajuan Kebudayaan ini merupakan inisiatif Pemerintah Daerah, dalam hal ini pihak eksekutif yang nantinya akan diajukan ke DPRD Provinsi Kalimantaan Barat untuk  dibahas, dan ditetapkan. Semoga. [ ]*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *