Kritik Kebudayaan dari Pentas Seni Opera Ine Aya’ – Suara Samar Rimba Terhadap Deforestasi Hutan Kalimantan

1.367 Views

Oleh: R. Giring – Aktif di Institut Dayakologi, Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih & Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih

Saya berterima kasih kepada Nursalim Yadi Anugerah dari Balaan Tumaan Ensemble dan tim serta kepada Miranda Lakerveld dari World Opera Lab dan tim. Keduanya, masing-masing dari Pontianak (dari budaya Timur), dan dari Belanda (dari budaya Barat).

Kerja sama seni dan dialog kebudayaan yang apik. Sebuah kolaborasi kebudayaan Dayak Kayaan Mendalam, Kalimantan dan kebudayaan Belanda, Eropa.

Tulisan ini berdasarkan observasi penulis ketika menyaksikan Pentas Seni Opera Ine Aya’: Suara Samar Rimba (selanjutnya OIA-SSR). Tulisan ini juga diperkaya dengan pokok-pokok pikiran yang penulis sampaikan pada saat menjadi panelis diskusi bertema “Deforestasi, Ancaman Nyata Rimba Kalimantan” setelah OIA-SSR dipentaskan pada Senin (22/8/2022) malam di PCC, Pontianak.

Baiklah saya mulai dengan penggalan lirik syair OIA-SSR yang sempat saya catat sembari menyaksikan pentasnya berlangsung.

 ” . . .

Perkaya jiwa raga

Pohon kehidupan tempat hidup binatang-binatang

Puji pohon kehidupan

Pohon suci

Pohon yang kuat,

yang selamatkan dunia

Pohon suci

Penuh buah

Kami sembah pohon yang agung ini,

tempat binatang sembunyi

Ine aya’

Yang baik

Yang maha tahu

Penjaga kebijaksanaan

Ine Aya

Wanita bijak

Bukit dan lembah berisi udara dan air

Ine aya’ bertanya: apa kamu berbuat kejam

Wotan mematahkan dahan

Kayu menjadi layu,

tak berdaun,

akhirnya mati,

Ini tanda kegelapan

Menyelimuti Kalimantan

Suara jangkrik pun nyaris tak terdengar

Lambang ucapan perpisahan,

Dunia menjadi liar, memutar

Liar dan aneh

Lawe, anak ajaib yang dibangkitkan guntur dan kilat

Lenyap dalam sentuhan ibunya

Selama 2 tahun Lawe dibesarkan apung,

Pengetahuan kekal berakhir

Kebijaksanaan menghilang

Kearifan abadi berakhir,

Kami puji pohon kehidupan

. . . .”

Menurut saya, OIA-SSR tidak saja terinspirasi oleh upaya yang sedang berjalan untuk pelestarian budaya Kayaan (Kayaan Mendalam), oleh Kuu’ Paran Lii’, Kuu’ Alel Sano, Ame Lambertus Hibo, Stephanie Morgan, Vinsensius Lihaang, dan Masyarakat Adat Kayaan Mendalam (baca: Booklet OIA-SSR, hlm. 2).

Lebih dari itu, opera yang dipentaskan di Desa Datah Diaan (Kayaan Mendalam), Pontianak dan Jakarta serta pernah dipentaskan di Eropa ini, tak bisa tidak didorong oleh kesadaran keseluruhan tim Balaan Tumaan dan World Opera Lab atas realitas krisis lingkungan alam, krisis sosial ekologis (baca: deforestasi hutan) Kalimantan yang berdampak secara global.

Suara Samar Rimba sebagaimana penggalan judul Opera ini jelas mewakili keprihatinan akan krisis lingkungan alam Kalimantan. Krisis lingkungan alam atau lebih tepatnya kerusakan lingkungan selanjutnya menyebabkan kerusakan iklim global (krisis iklim). Oleh karena itu, pertunjukkan OIA-SSR ini tak lain adalah sebuah bentuk metafora tentang suatu keadaan krisis lingkungan sekaligus menggugah rasa kepedulian kita tentangnya.

Itulah alasan kenapa diskusi pasca pertunjukkannya memilih tema “Deforestasi, Ancaman Nyata Rimba Kalimantan. Dari keseluruhan penampilannya, secara langsung atau tidak, penonton disuguhkan dengan sebuah pentas seni opera sebagai media atau instrumen kritik kebudayaan. Kritik berasal dari kata Yunani “krisis”, yang berarti pemisahan, keputusan dan keadilan, yang seakar dengan kata kerja Yunani “krino”, artinya memisahkan, memilih, dan mengambil keputusan.

Arti dasar kritik adalah pemisah yang baik dari yang jelek, yang benar dari yang salah, yang cocok dari yang tidak dapat dipakai. Kritik dalam arti sebenarnya membuat keadaan lebih jelas supaya yang benar/ baik/ adil itu tampak dengan jelas dan tidak bercampur aduk dengan yang salah/ jahat/ tidak adil (Lahajir, tt. 741).

Jika ditilik konteksnya, maka fokus kritik kebudayaan yang disajikan OIA-SSR adalah kritik atas sistem budaya terkait ide, gagasan, konsep, ideologi, teori, nilai, wacana, pemikiran dan lain sebagainya. Tepatnya lagi adalah konsep, gagasan pemikiran, dan ideologi yang mendasari budaya kebijakan pembangunan di Kalimantan yang “rakus hutan dan lahan”.

Atas nama pembangunan(isme), proses industrialisasi terhadap hutan dan lahan nyaris “tanpa kendali” hingga dampak-dampak yang ditimbulkannya malah berkelanjutan. Ini lantaran kebijaksanaan yang semestinya mendasari segala keputusan pembangunan berbasis industri ekstraktif atas hutan dan lahan telah menghilang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *