KRITIK KEBUDAYAAN DARI PENTAS SENI OPERA INE AYA’ – SUARA SAMAR RIMBA (OIA-SSR) TERHADAP DEFORESTASI KALIMANTAN

1.178 Views

Oleh: R. Giring (Aktif di Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih, Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih dan Divisi Riset, Dokumentasi, Publikasi & Database Institut Dayakologi)

Saya berterima kasih kepada Nursalim Yadi Anugerah dari Balaan Tumaan Ensemble dan tim serta kepada Miranda Lakerveld dari World Opera Lab dan tim. Keduanya, masing-masing dari Pontianak (dari budaya Timur), dan dari Belanda (dari budaya Barat).

Kerjasama seni dan dialog kebudayaan yang apik. Kolaborasi kebudayaan Dayak Kayaan Mendalam, Kalimantan dan kebudayaan Belanda, Eropa.

Tulisan ini berdasarkan observasi penulis ketika menyaksikan Pentas Seni Opera Ine Aya’: Suara Samar Rimba (selanjutnya OIA-SSR). Tulisan ini juga diperkaya dengan pokok-pokok pikiran yang penulis saat menjadi panelis diskusi bertema “Deforestasi, Ancaman Nyata Rimba Kalimantan” setelah OIA-SSR dipentaskan pada Senin (22/8/2022) malam di PCC, Pontianak.

Baiklah saya mulai dengan penggalan lirik syair OIA-SSR yang sempat saya catat sembari menyaksikan pentasnya berlangsung.

 ” . . .

Perkaya jiwa raga

Pohon kehidupan tempat hidup binatang-binatang

Puji pohon kehidupan

Pohon suci

Pohon yang kuat,

yang selamatkan dunia

Pohon suci

Penuh buah

Kami sembah pohon yang agung ini,

tempat binatang sembunyi

Ine aya’

Yang baik

Yang maha tahu

Penjaga kebijaksanaan

Ine Aya

Wanita bijak

Bukit dan lembah berisi udara dan air

Ine aya’ bertanya: apa kamu berbuat kejam

Wotan mematahkan dahan

Kayu menjadi layu,

tak berdaun,

akhirnya mati,

Ini tanda kegelapan

Menyelimuti Kalimantan

Suara jangkrik pun nyaris tak terdengar

Lambang ucapan perpisahan,

Dunia menjadi liar, memutar

Liar dan aneh

Lawe, anak ajaib yang dibangkitkan guntur dan kilat

Lenyap dalam sentuhan ibunya

Selama 2 tahun Lawe dibesarkan apung,

Pengetahuan kekal berakhir

Kebijaksanaan menghilang

Kearifan abadi berakhir,

Kami puji pohon kehidupan

. . . .”

Menurut saya, OIA-SSR tidak saja terinspirasi oleh upaya yang sedang berjalan untuk pelestarian budaya Kayaan (Kayaan Mendalam), oleh Kuu’ Paran Lii’, Kuu’ Alel Sano, Ame Lambertus Hibo, Stephanie Morgan, Vinsensius Lihaang, dan Masyarakat Adat Kayaan Mendalam (baca: Booklet OIA-SSR, hlm. 2).

Lebih dari itu, opera yang dipentaskan di Desa Datah Diaan (Kayaan Mendalam), Pontianak dan Jakarta serta pernah dipentaskan di Eropa ini, tak bisa tidak didorong oleh kesadaran keseluruhan tim Balaan Tumaan dan World Opera Lab atas realitas krisis lingkungan alam (krisis sosial ekologis) Kalimantan yang berdampak secara global.

Suara Samar Rimba sebagaimana penggalan judul Opera ini jelas mewakili keprihatinan akan krisis lingkungan alam Kalimantan. Krisis lingkungan alam menyebabkan kerusakan iklim global (krisis iklim). Oleh karena itu, menurut saya pertunjukkan OIA-SSR ini tak lain adalah sebuah bentuk metafora tentang suatu keadaan krisis sekaligus menggugah rasa kepedulian kita tentangnya.

Itulah alasan kenapa diskusi pasca pertunjukkannya memilih tema “Deforestasi, Ancaman Nyata Rimba Kalimantan. Dari keseluruhan penampilannya, secara langsung atau tidak, penonton disuguhkan dengan sebuah pentas seni opera sebagai media atau instrumen kritik kebudayaan. Kritik berasal dari kata Yunani “krisis”, yang berarti pemisahan, keputusan dan keadilan, yang seakar dengan kata kerja Yunani “krino”, artinya memisahkan, memilih, dan mengambil keputusan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *