KRITIK KEBUDAYAAN DARI PENTAS SENI OPERA INE AYA’ – SUARA SAMAR RIMBA (OIA-SSR) TERHADAP DEFORESTASI KALIMANTAN
Oleh: R. Giring (Aktif di Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih, Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih dan Divisi Riset, Dokumentasi, Publikasi & Database Institut Dayakologi)
Saya berterima kasih kepada Nursalim Yadi Anugerah dari Balaan Tumaan Ensemble dan tim serta kepada Miranda Lakerveld dari World Opera Lab dan tim. Keduanya, masing-masing dari Pontianak (dari budaya Timur), dan dari Belanda (dari budaya Barat).
Kerjasama seni dan dialog kebudayaan yang apik. Kolaborasi kebudayaan Dayak Kayaan Mendalam, Kalimantan dan kebudayaan Belanda, Eropa.
Tulisan ini berdasarkan observasi penulis ketika menyaksikan Pentas Seni Opera Ine Aya’: Suara Samar Rimba (selanjutnya OIA-SSR). Tulisan ini juga diperkaya dengan pokok-pokok pikiran yang penulis saat menjadi panelis diskusi bertema “Deforestasi, Ancaman Nyata Rimba Kalimantan” setelah OIA-SSR dipentaskan pada Senin (22/8/2022) malam di PCC, Pontianak.
Baiklah saya mulai dengan penggalan lirik syair OIA-SSR yang sempat saya catat sembari menyaksikan pentasnya berlangsung.
” . . .
Perkaya jiwa raga
Pohon kehidupan tempat hidup binatang-binatang
Puji pohon kehidupan
Pohon suci
Pohon yang kuat,
yang selamatkan dunia
Pohon suci
Penuh buah
Kami sembah pohon yang agung ini,
tempat binatang sembunyi
Ine aya’
Yang baik
Yang maha tahu
Penjaga kebijaksanaan
Ine Aya
Wanita bijak
Bukit dan lembah berisi udara dan air
Ine aya’ bertanya: apa kamu berbuat kejam
Wotan mematahkan dahan
Kayu menjadi layu,
tak berdaun,
akhirnya mati,
Ini tanda kegelapan
Menyelimuti Kalimantan
Suara jangkrik pun nyaris tak terdengar
Lambang ucapan perpisahan,
Dunia menjadi liar, memutar
Liar dan aneh
Lawe, anak ajaib yang dibangkitkan guntur dan kilat
Lenyap dalam sentuhan ibunya
Selama 2 tahun Lawe dibesarkan apung,
Pengetahuan kekal berakhir
Kebijaksanaan menghilang
Kearifan abadi berakhir,
Kami puji pohon kehidupan
. . . .”
Menurut saya, OIA-SSR tidak saja terinspirasi oleh upaya yang sedang berjalan untuk pelestarian budaya Kayaan (Kayaan Mendalam), oleh Kuu’ Paran Lii’, Kuu’ Alel Sano, Ame Lambertus Hibo, Stephanie Morgan, Vinsensius Lihaang, dan Masyarakat Adat Kayaan Mendalam (baca: Booklet OIA-SSR, hlm. 2).
Lebih dari itu, opera yang dipentaskan di Desa Datah Diaan (Kayaan Mendalam), Pontianak dan Jakarta serta pernah dipentaskan di Eropa ini, tak bisa tidak didorong oleh kesadaran keseluruhan tim Balaan Tumaan dan World Opera Lab atas realitas krisis lingkungan alam (krisis sosial ekologis) Kalimantan yang berdampak secara global.
Suara Samar Rimba sebagaimana penggalan judul Opera ini jelas mewakili keprihatinan akan krisis lingkungan alam Kalimantan. Krisis lingkungan alam menyebabkan kerusakan iklim global (krisis iklim). Oleh karena itu, menurut saya pertunjukkan OIA-SSR ini tak lain adalah sebuah bentuk metafora tentang suatu keadaan krisis sekaligus menggugah rasa kepedulian kita tentangnya.
Itulah alasan kenapa diskusi pasca pertunjukkannya memilih tema “Deforestasi, Ancaman Nyata Rimba Kalimantan. Dari keseluruhan penampilannya, secara langsung atau tidak, penonton disuguhkan dengan sebuah pentas seni opera sebagai media atau instrumen kritik kebudayaan. Kritik berasal dari kata Yunani “krisis”, yang berarti pemisahan, keputusan dan keadilan, yang seakar dengan kata kerja Yunani “krino”, artinya memisahkan, memilih, dan mengambil keputusan.