ORANG SIMPAKNG, KABARMU SEKARANG
Oleh R. Giring
(Anggota Dewan Daerah Walhi Kalbar 2012-2016 | Tim Peneliti Politik Ekonomi Tata Kelola Hutan dan Lahan Kalbar, Kab. Sintang dan Kab. Kubu Raya untuk PUSKA UI – TAF pada 2012 | Kini aktif di Institut Dayakologi dan Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih)
Belum lama ini, saya bersama Tim dan Direktur Institut Dayakologi menghadiri seminar adat yang dihadiri sekitar 60-an peserta meliputi tokoh adat dan perwakilan pemerintah desa dari 15 desa di wilayah Kec. Simpang Hulu, Kab. Ketapang.
Tulisan ini adalah hasil pengembangan bahan presentasi saya yang berjudul “Masyarakat Adat Kecamatan Simpang Hulu Menatap Masa Depan” dilengkapi dengan hasil dialog pada Seminar Adat di Betang Raya, Desa Semandang Kiri, Sabtu (2/7/2022) itu.
Di bagian awal tulisan ini sebaiknya saya sajikan dulu beberapa data yang bersumber resmi berikut. Pembaca dapat mencermati hubungan data tersebut dengan tema pokok tulisan saya ini. Dinyatakan bahwa luas wilayah Kec. Simpang Hulu 3.030,07 Km2, jumlah penduduknya 36.864 jiwa, terdiri dari 19.402 laki-laki dan 17.462 perempuan. Kemudian, luas kebun sawit pada 2019 adalah 13.344 hektar, meningkat di tahun 2020 yaitu 18.916 hektar, sedangkan kebun karet seluas 1.412 hektar (Kec. Simpang Hulu dalam Angka, 2021).
Kemudian data dari Kab. Ketapang dalam Angka (2020) menyatakan bahwa di antara 14 Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat, Kab. Ketapang merupakan Kabupaten terluas yaitu 31.241 Km2 atau 21,28 % dari seluruh luas wilayah Provinsi Kalbar. Kab. Ketapang meliputi 20 Kecamatan, 9 Kelurahan dan 253 Desa.
Dalam MUSRENBANG (Musyarawah Perencanaan Pembangunan) Kabupaten Ketapang, Rabu (9 Juni 2021), Kepala Bappeda Kabupaten Ketapang, Harto mengakui bahwa baru 37 % ruas jalan di seluruh Kabupaten Ketapang yang kondisinya baik. Menurut Harto, pada 2018, wilayah Kab. Ketapang merupakan wilayah dengan panjang jalan kabupaten dengan kondisi buruk sepanjang 2.505,60 kilometer atau mencapai 77% sedangkan jalan kabupaten dalam kondisi tergolong bagus hanya sepanjang 733,49 kilometer.
Menurut Profil Pembangunan Kalimantan Barat (2019), Kab. Ketapang merupakan daerah kabupaten dengan persentase penduduk miskin 10,93 % berada di urutan tiga tertinggi setelah Melawi (12,83 %) dan Landak (11,77 %). Produksi kelapa sawit terbesar di Kalimantan Barat berasal dari Kabupaten Ketapang yakni 1.298.540 ton atau 37,40 % dari total produksi kelapa sawit se Kalbar.
Berdasarkan telaah Dinas Kehutanan Provinsi Kalbar (2018, kini DLHK), di Kalbar terdapat 718 desa berada di kawasan hutan. Data terakhir ini menunjukkan konflik kawasan atau tumpang tindih kawasan hutan Negara dengan wilayah pemukiman penduduk terutama penduduk pedesaan di pedalaman di mana masyarakat adat telah tinggal dan mengelola wilayah, hutan, tanah dan airnya berabad-abad jauh sebelum Negara Bangsa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.
Dari data di atas, maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dan produktivitas perkebunan kelapa sawit tidak berbanding lurus dengan realitas buruknya kondisi infrastruktur jalan dan kondisi kesejahteraan penduduk. Di satu sisi, penduduk yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan tidak memiliki hak akses dan kontrol atas sumber daya alam di wilayahnya.
Secara spesifik di bawah ini kita diajak mencermati apa yang sebenarnya terjadi di balik konflik tanah, konflik tenurial atau konflik penguasaan sumber daya alam yang sedang dihadapi oleh orang Simpakng, salah satu Subsuku Dayak banyak tinggal di wilayah Kec. Simpang Hulu ini.
MARJINALISASI
Semula, panitia menyodorkan topik yang menyoal seputar perlindungan dan pengakuan Masyarakat Adat dalam konstitusi. Namun dalam prosesnya, peserta banyak mengungkap konflik tanah atau sengketa penguasaan sumber daya alam yang konkret mereka hadapi. Ekspresi para peserta saat bertanya dan mengungkap persoalannya pun mencerminkan keresahan sosial orang Simpakng yang tak boleh disepelekan.
Terungkap bahwa aktivitas perusahaan perkebunan kelapa sawit, HTI dan tambang telah “mengepung” kampung-kampung orang Dayak Simpakng. Seiring dengan proses penggusuran hutan, tanah dan airnya, maka terancam pula “kampong loboh laman banua Orang Simpakng itu”.
Kesaksian Kades Legong, Acun, tatkala dia bersama warganya gagal memperoleh SKT atas tanahnya yang berjarak hanya beberapa meter dari pemukimannya di Seminar Adat kala itu cukup mengindikasikan ancaman tersebut.
Lebih jauh hal itu berarti, bukan saja ladang, kebun karet, bawas, kebun buah, sawah, pekuburan dan pekarangan, bahkan area pemukiman pun ke depannya bisa mengalami penggusuran. Proses penunjukkan dan penetapan kawasan hutan secara sepihak telah mencaplok kampung dan hak-hak adat warga atas hutan-tanah dan wilayah kelolanya. Demikian pula halnya dengan proses perizinan usaha yang diberikan Pemerintah kepada sektor usaha.
“Kampong loboh laman banua Orang Simpakng” terkepung ekspansi industri ekstraktif berbasis tanah, hutan dan lahan yang menimbulkan keresahan-keresahan sosial, ancaman intimidasi hingga penggusuran.
Hal ini, di antaranya dialami Orang Simpakng di Kualan Hilir. Pateh Desa Kualan Hilir, Yohanes Heng mengatakan bahwa perusahaan perkebunan kelapa sawit, HTI, dan tambang telah beraktivitas di wilayah Kualan Hilir dan menimbulkan sengketa.
“Di Kualan Hilir terdapat perusahaan perkebunan kelapa sawit, HTI dan tambang. Meskipun warga tidak menyerahkan sawah, kebun karet dan bawasnya, perusahaan HTI tetap melakukan penggusuran. Saat kami mempertanyakannya, pihak perusahaan mengancam kami dengan mengatakan, jika kami memprotes, maka kami akan berhadapan dengan Negara,” ungkap Pateh.
Pengalaman orang Simpang di Desa Kualan Hilir berhadapan dengan PT. Mayawana Persada, perusahaan HTI dengan jelas menunjukkan hal tersebut. Konflik tanah juga dihadapi orang Simpakng yang tinggal di Semandang Kiri, Legong, dan Botuh Bosi.
Berdasarkan SK IUPHHK-HTI dari Menteri Kehutanan RI Nomor: 723/MENHUT-II/2010, perusahaan tersebut melakukan pembersihan dan penyiapan lahan di kawasan berhutan yang berada dalam penguasaan masyarakat adat Simpakng, termasuk sawah, bawas dan kebun karet warga.
Hak-hak dasar orang Simpakng, di antaranya hak mendiami dan mengelola tanah dan lahan secara turun-temurun, hak mengembangkan warisan budaya, termasuk hak menunaikan ritual adat, dan lain-lain semakin terdesak.
Narasi berikut ini dikutip dari surat PT. XX (nama inisial), perihal Surat Pemberitahuan tanggal 1 Maret 2020 yang ditujukan kepada Pateh Adat Desa Kualan Hilir. “…Melalui surat ini, kami PT. XX (nama inisial) memberitahukan kepada Bapak bahwa kami akan melakukan pekerjaan persiapan lahan dan melakukan land clearing untuk kebun HTI di areal berhutan yang saat ini masih dikuasai oleh masyarakat.
Perlu diketahui bahwa areal berhutan tersebt dikuasai oleh masyarakat dan tidak mau menyerahkan areal berhutan tersebut kepada perusahaan untuk dijadikan Kebun HTI oleh sebab itu perusahaan akan mengambil langkah untuk tetap mengerjakan areal berhutan tersebut. Dasar hukum PT. XX (nama inisial) melakukan pekerjaan ini adalah bahwa lahan yang dikuasai oleh masyarakat tersebut berada di dalam kawasan Hutan Produksi (HP) dan atau Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) sesuai ijin IUPHHK-HTI PT. XX yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK. 723/Menhut-II/2010. Surat resmi bertanggal 1 Maret 2020 tersebut ditanda tangani Manajer SSL & CD dengan tembusan kepada Camat Simpang Hulu, Kapolsek Simpang Hulu, Danramil Simpang Hulu, Ketua DAD Kec. Simpang Hulu, Kapospol Labai Hilir, Kualan Hilir, Pateh Adat Desa Kualan Hilir, Kadus Meraban”.