Kritik Kebudayaan dari Pentas Seni Opera Ine Aya’ – Suara Samar Rimba Terhadap Deforestasi Hutan Kalimantan


Dampak industrialisasi merusak daya dukung lingkungan kepada ekosistem kehidupan di dalam dan sekitarnya. Deforestasi hutan dan degradasi lahan tak terhindarkan. Bencana ekologis: banjir, kekeringan dan krisis sumber air bersih menjadi ancaman yang nyata setiap tahunnya. Hubungan manusia dengan alam, dan manusia dengan sesamanya menjadi liar, menjauh. Tak harmonis lagi.
Dalam metafora OIA-SSR di-lirik-kan dengan kata-kata berikut:
“. . . Ini tanda kegelapan
Menyelimuti Kalimantan
Suara jangkrik pun nyaris tak terdengar
Lambang ucapan perpisahan,
Dunia menjadi liar, memutar
Liar dan aneh
Lawe, anak ajaib yang dibangkitkan guntur dan kilat
Lenyap dalam sentuhan ibunya
. . . “
Menguras Alam
Di era Orde Baru, sejarah eksploitasi sumber daya alam di Kalimantan Barat diawali setelah periode konfrontasi dengan Malaysia berakhir (1966) dan setelah era PGRS/PARAKU berakhir pada 1967. Riwanto Tirtosudarmo, dalam Perspektif Demografi Politik Daerah Perbatasan Kalimantan Barat (2009) mencatat bahwa pemerintah pusat mempersepsikan Kalimantan Barat sebagai ”harta karun” yang harus digali dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk berbagai kepentingan kelompok di pusat yang kemudian melahirkan berbagai kebijakan dan program yang bertujuan untuk mengeruk dan menguras kekayaan alam Kalimantan Barat.
Di Kalimantan, sebuah riset melaporkan, antara tahun 1984 dan 2001 saja, hutan dataran rendah yang punah di Kalimantan mencapai 56 persen (Tsing, 2005:273). Kita bisa membayangkan apa yang selanjutnya terjadi hingga sekarang.
Daya dukung lingkungan di DAS Kapuas dari tahun ke tahun dilaporkan semakin memburuk. Sungai terpanjang di Indonesia yakni 1.143 km dan lebar 70-150 meter ini, alirannya dimulai dari Pegunungan Muller hingga Selat Karimata (Laut Cina). Detik.com, dengan judul “Potret Sungai Terpanjang di Indoneisa, Ada yang Tahu?” mencatat bahwa di Sungai Kapuas terdapat 700 spesies ikan air tawar, 12 jenis di antaranya merupakan ikan langka dan 40 jenis ikan lainnya terancam punah.
Daya dukung lingkungan DAS Kapuas, menurut Direktur Informasi dan Data Auriga Nusantara, Dedy P. Sukmara, banyaknya izin konsesi perkebunan sawit dan tambang di area DAS Sungai Kapuas berkontribusi atas menurunnya daya dukung lingkungan. Gubernur Sutarmidji sendiri sudah mengakui kalau 70 persen dari DAS Kapuas memang sudah rusak seperti dilansir Tirto.id.
Kolaborasi antara redaksi Tirto.id dengan Auriga Nusantara belum lama ini menemukan ada 357 izin usaha berbasis lahan dan hutan yang lokasinya di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas. Ratusan izin itu meliputi izin perkebunan kelapa sawit, tanaman industri, penguasaan hutan alam dan pertambangan.
Sedikit banyak ratusan izin tersebut berkontribusi atas perubahan kondisi bentang alam secara signifikan di DAS Kapuas. Dari total 357 izin di atas, ada 136 izin tambang yang terbit sepanjang 2015 sampai 2021. Total luasnya mencapai 351.488 hektar. 111 dari 136 izin tambang itu yang luasnya mencapai 250.863 hektare terbit setelah September 2018— sesaat setelah Gubernur Sutarmidji dilantik. 111 izin itu dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo dan Gubernur Sutarmidji.
Dari 111 izin tambang itu, yang diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo 12 izin tambang. Jenisnya beragam: bauksit, pasir pasang, emas, sirtu, tanah urug, andesit, hingga granit. Total luasnya 38.534 hektare. Kemudian izin tambang yang izinnya diterbitkan oleh Gubernur Sutarmidji ada sebanyak 99 izin. 10 izin tambang terluas mencapai 154.528 hektare. 10 izin tambang terluas itu mengeksploitasi bauksit, emas, dan zirkon.
Lebih lanjut Tirto.id dan Auriga mencatat, izin konsesi terluas yang diterbitkan oleh Gubernur Sutarmidji adalah perusahaan tambang emas The Grand LJ Fullerton Succesful seluas 24.835 hektar. Izin diterbitkan pada Agustus 2019 dan berlokasi di Kabupaten Sintang justru pernah ditolak oleh Bupati Sintang karena berada di kawasan hutan lindung. Untuk izin perkebunan kelapa sawit 49 izin, luasnya 76.073 hektar. Semuanya diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo sepanjang 2015 sampai 2017. Tidak satu pun izin perkebunan sawit yang diterbitkan oleh Gubernur Sutarmidji (Biang Banjir Kalbar: Sawit Diusir, Ratusan Tambang Tetap Jalan (tirto.id), diunduh pada 30 Agustus 2022, Pkl. 09:46 Wib).
Berdasarkan Rilis Pers yang diedarkan OIA-SSR, dari awal Agustus, daerah Mendalam mengalami banjir besar, terburuk dalam beberapa dekade. Ditengarai banjir besar itu terkait dengan peningkatan erosi tanah di area tersebut. Oleh karena itu, sangat logis jika OIA-SSR (disebut) dipertontonkan di periode turbulensi. Meskpiun sejauh ini masyarakat Kayaan Mendalam mampu menahan kemunculan perkebunan kelapa sawit di area tersebut, tapi hingga kapan? (hlm. 1).
Di berbagai daerah di Kalimantan Barat, ekosistem terdampak. Keragaman hayati terancam punah. Terjadi krisis air, krisis lingkungan hingga memberi pengaruh pada relasi manusia dengan sesamanya manusia dengan alamnya. Keharmonisan rapuh.
Relasi antarmanusia, antarsaudara dan keluarga menjadi retak seperti digambarkan lewat peran Lawe yang menjauh dari pelukan sang ibunya. Kicau burung semakin jauh terdengar menunjukkan relasi yang semakin tak harmonis alam dengan manusia.
Keserakahan telah mendorong manusia mengambil, mengeksploitasi, mengekstraksi sebanyak-banyaknya sumber daya alam. Dampak negatifnya terhadap manusia dan ekosistem alam sekitar pun berkelanjutan. Bencana ekologis yang berkelanjutan sejatinya ialah peringatan bagi manusia dan bumi saat ini dan masa yang akan datang.
Tema Global
Kritik tidak hanya dianggap wajar, kritik merupakan unsur yang tidak boleh tidak ada. Kritik sangat diharapkan supaya yang tidak tepat diketahui dapat diperbaiki. Kritik dilontarkan oleh golongan tertentu seperti halnya kelompok seniman melalui OIA-SSR.
Tema yang diusung adalah krisis lingkungan Kalimantan yakni deforestasi dan rusaknya paru-paru dunia. Ini adalah tema global, lintas budaya (cross cultural) dan lintas negara (cross country). Seruan untuk peduli pada deforestasi dan krisis lingkungan alam Kalimantan semakin relevan lantaran hutan-tanah-air adalah sumber keberlanjutan kehidupan semua makhluk.
Oksigen adalah kebutuhan semua orang dan makhluk lainnya di belahan bumi mana pun. Bila dilihat dari aspek penyebab krisis lingkungan, deforestasi itu, maka kita bisa sampai pada suatu kesimpulan bahwa keserakahan telah mendorong eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali.
Keadaan tersebut diwakili karakter Wotan – dewa yang haus akan pengetahuan dan kekuasaan. Dalam budaya Kayaan, karakter Hingaan Jaan telah membuat marah Ine Aya’ lantaran dia mengejar tupai untuk ritual dange.
Karakter penting dan utama dalam dalam OIA-SSR adalah Lawe tokoh pahlawan abadi dalam kosmologi orang Kayaan. Dia diceritakan hidup melintasi beberapa generasi. Dia melawan kekuatan gelap bernama To’ Magung yang tak terkalahkan hingga Lawe minta bantuan dari Tipang Tanangaan untuk meminta hujan racun agar membunuh musuhnya. Meskipun demikian, To’ Magung tidak mati. Kekuatan gelapnya diyaknini masih menghantui dan berada di sekeliling kita. Peringatan bahwa sisi gelap itu selalu ada.
OIA-SSR juga menggambarkan relasi kekuatan global seperti halnya pola dan budaya konsumsumerisme umat manusia yang telah mempengaruhi corak tata kelola hutan dan lahan yang buruk. Ini belum lagi diperparah dengan persaingan antarnegara yang berujung perang (nuklir) yang memerlukan dukungan mesin perang nuklir, bahan bakar nuklir, gas, batu bara dan minyak.
Kecenderungan pola konsumsi yang boros, gaya hidup yang instan dan serba pragmatis menuntut persediaan bahan konsumsi, kosmetik, dan produksi bahan bakar yang berlimpah untuk mengolahnya, serta energi yang luar biasa besar untuk menggerakkan alat angkut orang dan barang. Bukankah semestinya, proses pengolahan dan lalu lintas orang dan barang itu bisa memanfaatkan energi terbarukan, ramah lingkungan, yang dihasilkan oleh tenaga surya, kincir angin dan tenaga air yang memang melimpah di Kalimantan ini?
Seluruh bahan bakunya berasal dan diambil dari bumi. Proses menyediakannya dimulai dengan pembersihan hutan dan lahan, penebangan besar-besaran yang menyebabkan deforestasi dan degradasi yang dahsyat.
Pada gilirannya, kondisi tersebut menimbulkan kerusakan iklim global. Krisis lingkungan dan ekosistem alam mengubah tatanan sosial budaya dan ekologi. Hutan hujan tropis Kalimantan paru-paru dunia digerogoti kerusakan. Kalimantan berubah, dari hutan hujan tropis yang sangat kaya keanekaragaman hayatinya menjadi pulau yang paling rentan bencana.
Kisah Kalimantan Kaya Keragaman Hayati
Kathy MacKinnon, dkk. (2000) dalam “Ekologi Kalimantan” mencatat Kalimantan memiliki 3.000 jenis pohon berkayu termasuk 267 jenis tanaman keras untuk kayu komersial, di mana 58 persen di antaranya merupakan endemik. Pulau ini juga memiliki 2.000 spesies anggrek dan 1.000 spesies pakis, serta menjadi pusat distribusi tanaman karnivora atau kantung semar.
Yang perlu digarisbawahi, Kalimantan memiliki tingkat endemisitas tinggi untuk flora, yaitu mencapai 34 persen dari seluruh tanaman dari sektar 59 marga. Sekitar 10.000 sampai 15.000 spesies tanaman berbunga (pernah) ditemukan di sana. Jumlah ini 40 kali lipat lebih banyak dibandingkan keragaman tanaman berbunga di seluruh Benua Afrika.
Sedangkan kekayaan fauna pulau ini meliputi 420 spesies burung dan 222 spesies mamalia, di mana 44 di antaranya endemik. Pulau ini juga memiliki 13 spesies primata, salah satu mamalia endemik dan ikonik adalah orangutan kalimantan. Sejak 1994 sampai 2004, setidaknya 361 spesies baru ditemukan di Kalimantan, dan hal ini masih berlangsung hingga saat ini, misalnya gajah kerdil yang baru terdeteksi awal 2000-an dan badak kalimantan yang baru terdeteksi pada 2013.
Model Sekaligus Modal
Bagaimana model pengelolaan sumber daya alam yang ideal? Dalam konteks budaya Dayak, pengalaman berabad-abad berinteraksi dan beradaptasi dengan ekosistem lingkungan alamnya, para pendahulu orang Dayak telah mewariskan 7 prinsip atau model pengelolaan sumber daya alam yang dapat sekaligus menjadi modal. Hal ini karena hutan-tanah-air (sungai) beserta isinya memiliki nilai sosial budaya, dan religio spiritual bagi orang Dayak, bukan sekedar bernilai ekonomi. Berdasarkan kajian Institut Dayakologi, ketujuh prinsip itu, menurut John Bamba (2010), meliputi (1) Keberlanjutan (sustainability), (2) Naturalitas (alami – organik), (3) Kolektifitas (kooperasi), (4) Subsisten (kebutuhan domestik/rumah tangga), (5) Keanekaragaman (diversity), (6) Religio spiritualitas (ritual), dan (7) Tunduk pada adat dan hukum adat (lokalitas).
Ketujuh prinsip pengelolaan sumber daya alam dalam perspektif budaya Dayak itu bisa dipelajari, dijadikan model sekaligus modal sosio kultural untuk pembangunan berkelanjutan (sustainable developmentalisme) atau pembangunan berwawasan lingkungan. Mengapa? Karena pembangunan berkelanjutan itu mencakup kriteria (1) secara ekologis tidak merusak, (2) secara ekonomis bermanfaat, dan (3) secara sosial budaya tidak menghancurkan.
Diskusi tentang “Deforestasi” malam itu, tentu akan lebih menarik jika saja Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji hadir memenuhi undangan dari panitia OIA-SSR untuk menjadi panelis. Akan tetapi diskusi tetap dilaksanakan, dengan panelis dari Institut Dayakologi, Gemawan, dan Dinas LHK Provinsi Kalbar.
Untuk membantu penonton memahami pesan kritik kebudayaan OIA-SSR, teks terjemahan syair dalam Bahasa Kayaan ke Bahasa Indonesia di setiap bait nyanyian ditunjukkan pada layar lebar dengan alat bantu LCD.
Menurut Tim Peneliti ID, dalam “Mozaik Dayak: Keberagaman Sub suku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat” (2008:174-176), Dayak Kayaan adalah salah satu kelompok sub suku Dayak yang tidak asing di telinga masyarakat Indonesia bahkan dunia.
Oleh karena sebaran geografis mereka di sepanjang Sungai Mendalam, maka mereka dikenal sebagai Dayak Kayaan Mendalam, yang tinggal di 9 kampung. Sub suku Dayak Kayaan juga dikenal dengan sape – alat musik khasnya. Di Indonesia, Dayak Kayaan terdapat di Kalimantan Barat Kalimantan Timur Kalimantan tengah. Orang Kayaan juga terdapat di Serawak, Malaysia (Idem).
Refleksi
Pentas seni OIA-SSR adalah aktualisasi kebudayaan orang Kayaan di berbagai event nasional dan internasional. Pentas seni OIA-SSR dengan sendirinya adalah duta budaya yang tampil di hadapan penontonnya yang beragam di berbagai daerah, kota di Indonesia dan di Eropa.
Krisis sosial ekologis yang ditunjukkan melalui pentas seni OIA-SSR tersebut tak bisa luput dari perilaku serakah manusia yang mengeksploitasi, mengekstraksi sumber daya alam secara berlebihan sehingga merusak daya dukung lingkungan bagi ekosistem sekitarnya. Keseluruhan pemain OIA-SSR berhasil memainkan perannya sebagai penghubung antara dunia kesenimanan dengan realitas masyarakat.
Krisis sosial ekologis atau bencana sosial ekologis semestinya bisa mengetuk hati kita untuk berefleksi, introspeksi bahwa kita telah membayar begitu mahal demi keserakahan manusia sendiri sehingga menghasilkan kerusakan lingkungan dan bencana ekologis yang terus berkelanjutan dari waktu ke waktu.
Pertanyaan reflektifnya, maukah kita berkehendak baik untuk memeriksa kembali kesalahan-kesalahan kebijakan di masa lalu? Beranikah kita, para pengambil kebijakan mengambil langkah dan sikap yang menyeluruh demi pemulihan sosial ekologis Kalimantan, pulau terbesar ketiga di dunia ini untuk keselamatan umat dan bumi Khatulistiwa ini? ***