Rekoleksi Seni dan Spiritualitas Santo Fransiskus dari Asisi
Oleh: R. Giring – Penggiat Isu Kebudayaan di Pusat Dayakologi
Tulisan ini berdasarkan bahan sharing dan hasil pengamatan dalam acara rekoleksi seni dan spiritualitas St. Fransiskus Asisi pada 4 Oktober 2025. Acara ini digelar Persekolahan St. Fransiskus Asisi Pontianak untuk menandai Hari Fransiskus.
Dua pemateri refleksi sebelumhya adalah Y. Priyono Pasti yang mengajak hadirin mendalami 7 Nilai Inti Pancur Kasih dalam Spiritualitas Asisi. Kemudian, Paskalis, sharing sekaligus memperkenalkan lebih dekat alat musik “Silotuang” yang berasal dari Suku Dayak Bidayuh, Jagoi Kab. Bengkayang.
Seni dan spiritualitas bukan sekadar ekspresi estetis atau religius belaka, melainkan simbol yang memuat lapisan makna; menghubungkan manusia dengan diri, sesama, alam dan Yang Ilahi. Dalam konteks itu, kebudayaan merupakan “jaring-jaring makna” yang dirajut manusia dan di dalamnya manusia itu terjerat (Geertz, 1926-2006).
Santo Fransiskus dari Assisi – pencinta damai memberi pintu masuk yang kaya untuk merenungkan bagaimana seni dan spiritualitas bisa menyatu, membentuk cara hidup yang sederhana, penuh kasih, dan ramah terhadap semua ciptaan.
Baca juga: https://kalimantanreview.com/pontianak-kota-persilangan-dan-negosiasi-budaya/
Spiritualitas Fransiskus Assisi dan Seni Hidup
Santo Fransiskus dari Assisi (1182–1226) bukan hanya tokoh religius, tapi juga seniman kehidupan. Kesederhanaannya, cintanya pada alam, dan keberpihakannya pada kaum miskin adalah sebuah seni yang hidup. Dia bukan sekadar mengajarkan doktrin, tetapi menghadirkan pertunjukan simbolik yang memberi teladan paling populer: meninggalkan kekayaan demi hidup bersaudara dengan semua makhluk.
Tidak main-main, tokoh spiritual ini dikenal memiliki kemampuan berbicara dengan bahasa universal. Burung-burung diajak berkhotbah, matahari disebut “saudara”, bulan dipanggil “saudari”.

Itu bentuk imajinasi puitis, seni simbolik yang mengikat manusia dalam relasi dengan alam semesta (relasi kosmik). Di situ, Fransiskus menghadirkan spiritualitas yang estetis, dan seni yang spiritual.
Seni tidak berhenti pada bentuk lukisan, tari, musik, atau drama, tetapi menjadi jembatan menuju pengalaman spiritual paling tinggi yakni ketuhanan. Seni bukan hanya dibatasi dalam pengalaman dan pemahaman manusia biasa. Itulah kenapa “orang seni” – para seniman, para guru/yang bergelut dalam keilmuan
suka dengan imaninasi-imajinasi tentang kesempurnaan, meski mereka bukan mau menjadi Tuhan itu sendiri.
Baca juga: https://kalimantanreview.com/40-tahun-pancur-kasih-sebuah-refleksi/
Di situ pula, seni menari, bernyanyi, mencipta, dll-nya yang dekat dengan spiritualitas Fransiskus Assisi bukan semata-mata demi estetika, tetapi untuk menghadirkan keindahan yang mendekatkan diri pada ke-ilahi-an Sang Pencipta.
Untuk itu, sanggar seni kita tidak tepat bila hanya diposisikan sebagai sebuah
institusi budaya, melainkan sebagai arena di mana simbol-simbol dijalani, dipentaskan, dan ditafsirkan kembali demi memperluas wawasan para penggiat dan “penikmatnya” menuju kedalaman spiritual. Hal ini dapat diwujudkan dalam tiap gerak tarinya, syair lagunya, pukulan atau petikan alas musiknya, puisinya, lukisannya, karya tulisnya, hasil karya dari mendaur ulang sampah untuk peralatan rumah tangga, dlsb.
Peluang & Tantangan Medsos
Bila dulu Fransiskus berkhotbah di alun-alun atau berbicara dengan burung-burung di hutan, maka hari ini pesan kesederhanaan, cinta kasih, dan ekologis dapat disebarkan melalui video, musik digital, karya seni visual, atau narasi reflektif yang diunggah di Instagram, YouTube, dan TikTok. Kini media sosial dan ruang digital telah menjadi “sanggar baru” di mana seni dan spiritualitas dapat hidup (di-hidup-kan) dan berkembang (di-kembang-kan).

