Mandau: Filosofi Hidup Dayak dan Jalan Menuju Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Dunia

449 Views

Oleh: R. Giring – Penggiat Isu Kebudayaan di Pusat Dayakologi

Beberapa tahun ini kehadiran mandau di ruang-ruang publik semakin marak. Dulu identik dengan pedalaman. Kini mandau turun ke kota. Tak jarang ketika pawai budaya di kota ada selingan eksibisi “balelet” atau kebal mandau.

Entah kenapa jika sudah begitu saya selalu merasa kurang elok. Alih-alih melestarikan budaya Dayak, malah kesannya: mandau terjerembab dalam lubang komoditas politik identitas semata.

Lebih dari semua itu, mandau kini lagi naik daun. “Naik level,” demikian kata kerennya. Diskusi terbuka tentang mandau perlu disambut hangat. Itu perlu. Mengapa? Supaya citra mandau jadi semakin bermartabat. Bukan hanya supaya semakin dikenal luas.

Baca juga: https://kalimantanreview.com/kritik-kebudayaan-dari-pentas-seni-opera-ine-aya-suara-samar-rimba-oia-ssr-terhadap-deforestasi-kalimantan/

Kita mengapresiasi Kementerian Kebudayaan RI yang melalui Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XII menghelat seminar tentang Mandau di Pontianak, 27 September 2025. Artikel ini berdasarkan catatan dan pendapat yang muncul pada momen Seminar Budaya bertema “Mandau: Warisan Budaya Kalimantan Menuju Warisan Budaya Takbenda Dunia UNESCO” tersebut. Kebetulan penulis jadi moderatornya.

Moderator dan para narasumber berfoto bersama.

Basuki Teguh Yuwono – narasumber, peneliti mandau dan keris yang juga Staf Khusus Menteri Kebudayaan RI, mengatakan mandau tidak sekadar senjata tradisional, melainkan representasi paling dalam dari filsafat hidup, teknologi, seni, dan spiritualitas Suku Dayak.

Seminar budaya mandau itu menegaskan kembali bahwa mandau adalah warisan budaya yang hidup (living culture) yang mesti dipahami melampaui bentuk fisiknya. Mandau seperti teks budaya, mereka jejak relasi manusia dengan alam, leluhur, dan komunitasnya.

Bagian-bagiannya—bilah, hulu, warangka, hingga ornamennya—menyimpan simbolisme kosmologis. Bilah yang menyerupai sayap burung, misalnya, merepresentasikan keseimbangan tiga alam: bawah, tengah, dan atas. mandau bukan diciptakan untuk menebar maut, melainkan menjaga harmoni kehidupan.

Baca juga: https://kalimantanreview.com/membaca-ngobrol-seni-di-pameran-tunggal-talawang-kala-kini/

Dalam hal ini, mandau ialah kristalisasi spiritualitas Dayak: keseimbangan (baca: keharmonisan), keindahan, keberanian, dan kebijaksanaan. Sebagai hasil karya ciptaan, dimensi teknologinya tidak kalah penting. Proses menempa logam/besi untuk sebuah mandau mencerminkan capaian tinggi pengetahuan masyarakat Dayak dalam seni menatah besi. Besi bukan sekadar bahan, tetapi entitas kosmologis yang diyakini lebih tua dari manusia.

Teknologi, seni ukir, serta ritual yang menyertainya memperlihatkan mandau sebagai karya budaya yang mempertautkan fungsi profan dan sakral. Mandau hadir dalam siklus hidup manusia Dayak – menjadi perkakas berladang, alat berburu, pusaka, sekaligus simbol status dan martabat.

Seluk beluk dan narasi di balik budaya mandau memungkinkannya melampaui sekat sub-suku Dayak. Mungkin itulah yang menjadikannya ikon kolektif identitas Dayak meski bentuk dan namanya bisa berbeda antar-daerah.

Tampaknya itu yang ingin ditegaskan Petrus Natalis – pemateri lainnya. Ia menyampaikan tentang tipologi mandau, keberagaman istilah dan fungsinya. Namun  filosofi dasarnya sama: keberanian yang seimbang dengan kebijaksanaan, keselarasan relasi manusia-alam-leluhur.

Baca Juga: https://kalimantanreview.com/tato-dayak-kayaan-simbol-status-sosial-dan-cahaya-menuju-alam-baka/

Petrus menduga istilah mandau berasal dari Bahasa Dayak Ot Danum yakni “Man” berasal dari “Kuman” artinya makan, dan “Dau” artinya mata kujur belati atau Dohong. Daerah sebaran Dayak Ot Danum di Kalteng, di sepanjang Sungai Kahayan, Pegunungan Muller – Schwaner perbatasan Kalteng dan Kalbar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *