Selamat Ari Gawai

1.726 Views

Oleh: R. Giring (Aktif di Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih dan Institut Dayakologi)

Selamat ari gawai… Penulis mendengar kalimat itu pada momen Gawai Sandong Padi masyarakat adat Iban Sebaruk Tanah Kedieh. Ketika berkunjung atau “Bekandau” (Dayak Iban Sebaruk), tamu memberi salam dengan sapaan “selamat ari gawai” yang dibalas dengan ucapan yang sama dari keluarga yang didatangi.

Tamu di sini, bisa saja teman, rekan, kerabat, atau seorang atau beberapa orang yang tak dikenal sebelumnya, yang ikut berkunjung di momen gawai padi tersebut. Peristiwa sosial budaya tersebut saya alami di Dusun Sungai Daun, Desa Malenggang Kecamatan Sekayam, Kab. Sanggau belum lama ini. Berkunjung ke rumah keluarga, kenalan atau kerabat di kala gawai padi adalah peristiwa sosial budaya yang biasa di semua Subsuku Dayak di Kalbar.

Tulisan ini merupakan hasil refleksi kritis kebudayaan berdasarkan pengamatan dan pengalaman berinteraksi dalam peristiwa sosial budaya bernama gawai padi di beberapa daerah di Kalbar sekitar Maret hingga Juni 2022 ini.

Gawai padi atau pesta makan padi baru merupakan tradisi tahunan. Hakikatnya adalah perwujudan syukur atas segala hasil ladang semusim dan sekaligus untuk menandai pergantian tahun dalam siklus perladangan tahunan orang Dayak.

Gawai padi tidak lepas dari ritual adat. Dalam ritual adat, beragam benih padi lokal, segala niat baik dihaturkan kepada “Petara” (Dayak Iban Sebaruk), “Nyabata” (Dayak Bakatik), “Jubata” (Dayak Kanayatn), “Duataq” (Dayak Jalai dan Dayak Kendawangan), “Jibata pejaji penampa” (Dayak Tae), “Nek Juata atau Nek Duata” (Dayak Desa), “Tempa” (Dayak Sisang), “Tompo” (Dayak Bisomu) dan leluhur agar “semangat padi” mendapat berkat kesuburan hingga mencapai hasil untuk musim berikutnya.

TANTANGAN MODERNISASI

Sejak akhir Maret, saat peladang baru usai panen padinya, tradisi gawai padi siap dilaksanakan. Beberapa kampung Dayak di Kab. Bengkayang dan Landak bahkan ada melaksanakannya di penghujung Maret. Meskipun demikian, di Bulan Juni dan Juli, masih ada kampung-kampung Dayak di Kalbar melaksanakan gawai padi.

Dulu, waktu gawai padi berbeda-beda dari kampung ke kampung. Gawai padi memiliki dimensi spiritualitas adat, sosial solidaritas yang menunjukkan hubungan vertikal dan horisontal yang harmonis.

Di momen gawai padi, hubungan harmonis manusia dengan Sang Penciptanya dirayakan. Demikian halnya hubungan harmonis manusia dengan sesama dan leluhurnya, serta manusia dengan lingkungan alamnya.

Di kampung-kampung Dayak di Kalbar ini, ada yang menyebutnya “ngarape’ sawak” (Dayak Bakatik), “dange” (Kayaan), “naik dango” (Baahe), “ngabayotn” (Salako),  “manyapat tautn” (Jalai dan Kendawangan), “nosu minu podi” (Jangkang dan Pompakng), “gawia sowa” (Bidayuh Jagoi), “pamole’ beo” (Tamambaloh), “nyepan sandong padi” (Iban Sebaruk), dll.

Gawai padi memang masih dapat kita jumpai di sejumlah daerah meskipun banyak yang sudah mengalami pergeseran nilai. Meskipun gawai padi dilaksanakan dengan penuh ekspresi, terkesan meriah dengan segala materi yang menyertainya, tapi di lubuk hati terdalam itu sebenarnya hanyalah artifisial atau semu belaka. Kenapa?

Sikap mental pragmatisme telah mengabaikan proses ritual adat sesuai spiritual religiositas setempat. “Bertele-tele, ribet. Merepotkan,” itulah kata-kata yang sering kita dengar. Di satu sisi, ada pemimpin ritual adatnya dipaksa-paksa mengenak kostum adat ketika ia memimpin proses ritual adat.

Katanya agar terasa lebih gagah, lebih percaya diri dan lebih modern. Kesan sederhana dan apa adanya malah ditutup-tutupi. “Rasanya kurang bermartabat kalau tidak memakai pakaian adat,” ujar sebagian pihak yang mengaku terlalu cinta aspek simbol-simbol tradisi dan kebudayaan itu. Kita mesti jujur, bahwa fenomena demikian semakin merajalela.

Spiritualitas adat semakin menurun. Sosial solidaritas kerakyatan, kekeluargaan yang dulunya kental mewarnai gawai padi kini juga mulai bergeser menjadi pestanya atau gawainya para elite yang sarat formalitas dengan kesan sangat seremonial. Sosial solidaritas dan kekeluargaan juga semakin berjarak.

Kebanggaan kita itu menutup fakta yang lain, yang tengah terjadi. Sumber-sumber penghidupan dan wilayah adat semakin berkurang. Ini ancaman bagi masa depan kebudayaan dan peradaban masyarakat adat setempat. Jadi, kehancuran ekosistem hidup masyarakat adat Dayak sejatinya adalah kehancuran masa depan masyarakat adat Dayak.

Di satu sisi, di banyak kampung orang Dayak tidak lagi melaksanakan ritual adat, misalnya “matek kajak pade” di lumbung atau “dio pade” (Bakatik), atau “baremah kak dango padi” (Kanayatn) ketika tradisi tahunan ini hendak dilaksanakan.

Ritual adat yang semula khas “Agama Dayak”, sarat nilai spiritualitas adat dan sastra lisannya, kini berganti dengan ritual agama baru yang dominan karena alasan lebih praktis, tidak bertela-tela dan dianggap lebih efisien.

Dominasi agama baru yang dibawa oleh orang Eropah terhadap “Agama Dayak” juga diwarnai narasi yang kita dengar mulai dari bangku sekolah hingga di mimbar khotbah bahwa agama-agama baru tersebut dianggap paling bisa membawa modernitas bagi orang Dayak.

Bisa saya katakan bahwa semakin lemahnya spiritualitas adat dalam gawai padi turut memberi pengaruh pada semakin sedikitnya orang Dayak berladang. Di sisi lain, berkurangnya perladangan di banyak daerah dikarenakan semakin banyaknya program pembangunan yang hanya mengandalkan pendekatan industri ekstraktif berbasis tanah, hutan dan lahan.

Pragmatisme, sikap mental instan dan spekulatif semakin mencolok pemandangan yang mewarnai acara gawai padi. Lapak-lapak judi berbagai jenis demikian bebas disediakan. Alih-alih menambah daya tarik pengunjung, banyaknya pejuang peruntungan alias spekulan itu justru malah memperkuat mentalitas instan, spekulasi tinggi demi penghasilan besar tanpa bekerja keras dan cerdas meski pertaruhkan harkat martabat.

Di tahun 2022 ini, ketika Pandemi Covid-19 mulai berlalu, banyak orang percaya bahwa semangat gawai padi kembali bergairah. Masyarakat di beberapa daerah melaksanakan gawai padi meski belum ramai pengunjung. Bagaimana kondisi gawai padi di daerah Anda?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *