Kekerasan dalam Kebudayaan: Tradisi ataukah Eksibisi?
Oleh GIRING – Bergiat di Institut Dayakologi & Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih
Pendahuluan
Budaya kekerasan merupakan fenomena yang kompleks, sebagai bagian dari tradisi, turut dibentuk kolonialisme, dan bagi pihak tertentu sebagai sebuah eksibisi untuk tujuan hiburan, seni pertunjukkan, serta keuntungan ekonomi.
Disebut bagian dari tradisi karena memiliki akar pada tradisi setempat. Disebut eksibisi karena tradisi tersebut mengalami komodifikasi oleh pihak-pihak tertentu.
Artikel ini mengkaji budaya kekerasan dari perspektif kritik kebudayaan. Selain itu juga mengeksplor bagaimana kekerasan dipahami, dipraktikkan, dan dimodifikasi pada era globalisasi serta implikasinya terhadap sosial dan budaya.
Kekerasan dalam konteks kebudayaan sering kali dilihat sebagai aspek integral dari tradisi yang kaya makna. Akan tetapi, meningkatnya globalisasi dan komersialisasi budaya pada era sekarang, makna “asli” dari kekerasan ini mengalami pergeseran.
Apakah kekerasan dapat dianggap sebagai bagian dari tradisi yang sakral ataukah kini telah menjadi seni pertunjukkan yang kehilangan makna “asli”, dan hanya berfungsi sebagai hiburan?
Tradisi Kekerasan dan Makna Simbolis: Masih Adakah?
Di berbagai komunitas, kekerasan sering kali diintegrasikan dalam ritual atau upacara adat. Praktik-praktik ini memiliki makna simbolis yang dalam dan berfungsi sebagai cara untuk memperkuat identitas budaya.
Ambil contoh Pencak Silat Betawi. Pencak Silat Betawi merupakan seni bela diri yang tidak hanya berfungsi sebagai sarana pertahanan diri tetapi juga sebagai bentuk ekspresi budaya dan hiburan.
Dalam konteks tradisional, pertandingan silat sering kali diadakan pada perayaan besar seperti pernikahan atau upacara adat. Kekerasan dalam pertandingan ini dilihat sebagai cara untuk menunjukkan keahlian dan keberanian (Kartomi, 2012).
Kekerasan dalam suatu kebudayaan sering kali memiliki makna simbolis. Misalnya, Perang Pandan di Bali, yang melibatkan duel dengan senjata pandan berduri, merupakan ritual untuk menghormati dewa Indra. Kekerasan dalam ritual ini dimaknai sebagai simbol keberanian dan kesucian (Harnish, 2007).
Di era modern, banyak tradisi kekerasan bertransformasi menjadi tontonan yang “dikomersialisasikan”, dan / atau dijadikan semacam “side even” pada even-even pariwisata demi menarik minat para pengunjung/wisatawan.
Fenomena ini mengaburkan makna “asli” dari praktik tersebut karena mereduksi kekerasan menjadi sekadar hiburan atau eksibisi. Perang Pandan di Bali, yang semula merupakan ritual sakral, kini banyak dipertontonkan untuk wisatawan.
Hal itu dilakukan untuk menarik minat wisatawan (dari dalam maupun luar negeri) dan meningkatkan pendapatan daerah. Meskipun demikian, menurut Picard (1996), komersialisasi ini sering kali mengorbankan makna spiritual dan sosial dari ritual tersebut.