Revitalisasi Kerajinan Tenun Ikat (Kain Kebat) Dayak Iban Sebaruk yang Terancam Punah: Tantangan dan Peluang

1.359 Views

Oleh R. Giring

(Bergiat di Pancur Kasih & Institut Dayakologi; pernah belajar Antroplogi di Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu-ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

“Setelah ibu saya meninggal dunia pada tahun 1972, sejak itu kerajinan menenun di Sungai Sepan ini sudah mulai langka,” tutur Apai Jawin, sesepuh adat setempat. Kerajinan tenun ikat sudah tidak ditemukan lagi di kampung Sungai Sepan, Desa Malenggang ini.

Kain kebat atau tenun ikat adalah salah satu wujud identitas budaya orang Dayak Iban Sebaruk. Di acara adat dan momen penting tertentu, orang Iban Sebaruk merasa bangga saat mengenakan busana dari bahan kain tenun ikat atau kebat.

Sebagai wujud dari ide atau pengetahuan kain kebat adalah salah satu wujud kebudayaan orang Iban Sebaruk. Sebagai warisan pengetahuan, sekarang kain kebat bisa digali di antara satu dua orang tua saja, khususnya ibu-ibu di sini.

Kemudian, sebagai karya atau wujud kebudayaan orang Iban Sebaruk saat ini, kain kebat sudah langka. Oleh karena itu, langkah-langkah revitalisasi kain kebat atau tenun ikat mendesak dilakukan.

Tulisan ini mencoba memaparkan peluang dan tantangan revitalisasi kain kebat atau tenun ikat Iban Sebaruk Kampung Sungai Sepan, Desa Malenggang, Kecamatan Sekayam Kabupaten Sanggau. Berkenaan dengan itu, penulisan ini turut dibekali pengalaman penulis ketika mengunjungi beberapa kampung orang Iban Sebaruk di Kecamatan Sekayam. Selain itu, penulis juga membaca dan menjadi editor buku “Tampun Juah: Titik Balik Peradaban Dayak” yang ditulis Krissusandi Gunui’ dan Ansilla Twiseda Mecer pada tahun 2019.  

Kain Kebat Bagian dari Kebudayaan

Kelangkaan kain kebat atau kain tenun ikatseperti dipaparkan di atas pada dasarnya ancaman bagi pelestarian objek pemajuan kebudayaan. Berdasarkan UU No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan juncto PERDA Nomor 6 Tahun 2019 tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah, kerajinan tenun ikat (kain kebat) berpotensi diklasifikasikan ke dalam lebih dari 5 di antara 10 Objek Pemajuan Kebudayaan.

Kerajinan tenun ikat (kain kebat) memenuhi aspek-aspek di dalam 10 Objek Pemajuan Kebudayaan, meliputi: (1) Kerajinan tenun berhubungan dengan aspek tradisi lisan karena merupakan pengetahuan yang diwariskan turun-temurun dalam bentuk lisan; (2) Kain Kebat atau tenun ikat, dalam praktiknya juga menyertakan aturan adat istiadat tertentu seperti larangan-larangan tertentu; (3) Kemudian, apabila dieksplor jauh ke belakang, maka orang Iban Sebaruk juga melakukan ritual adat tertentu sebagai bagian dari persiapan khusus apabila hendak memulai menenun; (4) Kerajinan menenun kain kebat juga merupakan warisan ilmu pengetahuan lokal – bentuknya lisan. Oleh karena itu termasuk aspek pengetahuan asli atau pengetahuan lokal; (5) Selanjutnya, alat-alat yang digunakan ketika menenun juga merupakan khas teknologi lokal yang dibuat dengan bahan dasar dari wilayah sekitar. Jika ada inovasi, pun tidak seluruh bahan atau alatnya yang benar-benar baru; (6) Kerajinan menenun kain kebat juga terkait erat dengan aspek bahasa daerah. Istilah yang berasal dari bahasa lokal digunakan sebagai bahasa perantara untuk mewariskan pengetahuan menenun. Nama-nama motif kain tenun, bahan, alat dan ritual serta larangan-larangan yang berlaku juga khas bahasa daerah setempat, dan (7) Aspek lain yang tak kalah penting dari kerajinan menenun ini adalah aspek estetik atau keseniannya. Nilai estetisnya juga bisa dilihat pada proses dan hasil karya dari kerajinan menenun kain kebat dalam berbagai motifnya. Motif dalam kain kebat

Selama ini, masyarakat Kalbar hanya tahu bahwa tenun ikat identik dengan orang Dayak dari rumpun Ibanik daerah Kab. Sintang dan Kapuas Hulu, di beberapa Subsuku Dayak di wilayah Provinsi Kalteng, Kaltim dan Kaltara.

Dayak Iban Sebaruk atau biasa dikenal Iban Sebaruk Tanah Kedieh bermukim di wilayah Kec. Sekayam, tepatnya di Desa Malenggang dan Sungai Tekam Ketemenggungan Iban Sebaruk Tanah Kedieh di batas Negara Republik Indonesia – Sarawak, Malaysia yang tergolong daerah terpencil.

Beberapa kampung tempat tinggal orang Iban Sebaruk selain di Sungai Sepan, juga di Miruk, Tapang Sebeluh, Malenggang, Setapang Engkabang, Sungai Daun, Sungai Pinang, Guna Banir dan  beberapa kampung lainnya.

Di Dusun Sungai Sepan (2019) orang Iban Sebaruk berjumlah 156 keluarga, dengan total penduduk 635 jiwa yang terdiri dari 326 laki-laki dan 309 perempuan.

Kondisi kampung-kampung yang tergolong terpencil turut menyebabkan berbagai persoalan yang dihadapi Subsuku Dayak Iban Sebaruk, termasuk Subsuku Dayak Sisang dan Bi Somu di wilayah Kecamatan Sekayam dan Noyan tersebut kurang “terdengar” di publik. Tiga kelompok Masyarakat Adat ini hidup berdampingan.

Di antara Subsuku Dayak lainnya yang mayoritas, seperti Jangkang, Hibun/Ribun, Pandu, dan Desa,  kelompok Subsuku Dayak Iban Sebaruk ini kurang banyak dikenal (untuk tidak menyebutkan “kurang diperhatikan”). Iban Sebaruk, selain Sisang dan Bi Somu adalah kelompok masyarakat adat penyangga hutan adat Tembawang Tampun Juah, Segumon.

Orang Iban Sebaruk memiliki pengetahuan menenun kain kebat atau kain ikat. Kain tenun ikat atau kain kebat dapat dipahami sebagai wujud dari sistem gagasan, rasa, aktivitas dan karya yang dihasilkan manusia Iban Sebaruk. Kain kebat merupakan bagian dari identitas kebudayaan Iban Sebaruk.

Ini berarti relevan dengan definisi kebudayaan seperti diajukan E.B. Taylor, profesor antropologi yang pertama (1832-1917) sebagaimana dikutip J. van Baal dalam “Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya Hingga Dekade 1970” adalah pengetahuan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat (1987:4).

Dalam Acara GSTJ sebagaimana dilaksanakan 2 tahun sekali sejak tahun 2017, beberapa perempuan Iban Sebaruk memang terkesan bangga memakai kain kebat. Laki-lakinya juga mengenakan rompi dari kain kebat, dilengkapi topi yaitu ketapu.Tapi itu hanya beberapa orang saja. Berdasarkan penuturan warga, busana adat orang Iban Sebaruk itu adalah sisa warisan keluarga yang masih ada.

Nyaris Punah

Di seluruh Desa Malenggang dan Sungai Tekam, Ketemenggungan Iban Sebaruk Tanah Kedieh, kerajinan tenun ikat sudah langka.

“Kerajinan tenun ikat atau kebat sudah langka di Ketemenggungan ini. Satu-dua ibu-ibu yang bisa menenun, paling-paling hanya ada di Setapang Kabang,” kata Temenggung Iban Sebaruk, Pak Suding dalam perbincangan dengan penulis.

Benar sekali. Keterampilan tenun ikat nyaris punah. Kondisi ini dikonfirmasi oleh Ibu Maria Masni yang akrab disapa Mak Buyung (54 tahun). Di rumahnya, di Setapang Kabang, tim dari Laja Lolang Basua’ (LLB) dan Sekretariat Tampun Juah bertandang. Perbincangan terjadi. Dia ditemani Licidiana yang akrab disapa Mak Hen.

Menurut dua perempuan adat ini, kerajinan tenun ikat di Tanah Kedieh khususnya di Setapang Kabang sudah langka. Mereka mendapatkan keterampilan menenun dari pengalaman menyaksikan ibu mereka menenun ketika masih kanak-kanak hingga remaja. Itu dulu. Selain itu, karena tekad yang kuat, dua perempuan itu kadangkala curi-curi menenun di saat ibu mereka bekerja di ladang.  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *