Perdagangan Karbon Adalah Kolonialisasi Berkelanjutan atas Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal


Penulis: Manuk Kitow | Foto: Dok. Wkb/Iten | Editor: Tim Redaksi & R. Giring
Pontianak, KR – Tulisan ini bersumber dari diskusi “Mengulik Konsepsi dan Pemahaman Bersama tentang Perdagangan Karbon”, pada Sabtu (26/10/2024) yang digelar Walhi Kalimantan Barat, di Sekretariat Walhi, di Jl. M.H. Husni Thamrin, Pontianak.
Hendrikus Adam, Direktur Walhi Kalimantan Barat mengatakan, diskusi dihadiri oleh 13 anggota lembaga dan individu, komponen masyarakat sipil di Kalimantan Barat, organisasi mahasiswa, lembaga bantuan hukum, dan sejumlah jurnalis dari berbagai media.
Tujuan diskusi, di antaranya: 1) Mengelaborasi gagasan tentang konsepsi dan pemahaman mengenai perdagangan karbon dalam kacamata WALHI, 2) Sharing gagasan bersama segenap komponen organisasi dalam merespon pemahaman tentang konsepsi perdagangan karbon, dan 3) Membuka ruang bersama untuk menemukan benang merah dari perdagangan karbon.
Diskusi yang dihelat dalam suasana santai itu menghadirkan Uli Artha Siagian, yaitu Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional WALHI. Menurut Uli, alih-alih menjadi jawaban atas krisis iklim, proyek industri ekstraktif berskema perdagangan karbon justru akan mengekslusi Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dari wilayah adat maupun wilayah kelolanya.

Perdagangan karbon hakikatnya adalah praktik dari komodifikasi atas hutan. Padahal, menurut Uli, makna hutan bagi Masyarakat Adat, melampaui nilai ekonomi dan daya dukungnya dalam menyerap karbon. Masalah ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria dan persoalan lingkungan di Indonesia pada dasarnya berakar pada corak ekonomi yang kapitalistik yang ditunjukkan dengan komodifikasi alam serta neoliberalisasi.
Perdagangan Karbon = Mengeklusi Masyarakat Adat
Sekarang ini ada sebanyak 16 izin konsesi restorasi ekosistem dengan luasan 624.012 hektar (WALHI; 2023). Dengan rezim izin kehutanan yang multidimensi hari ini, sebuah korporasi hanya perlu mengurus satu jenis izin kehutanan untuk dapat melakukan beberapa jenis aktivitas eksploitasi. Dia mencontohkan, satu perusahaan pemegang izin Perizinan Berusaha Pengusahaan Hutan Hutan Tanaman (PBPH-HT), mereka dapat melakukan beberapa aktivitas secara bersamaan: pengambilan hutan alam, penanaman kebun kayu (baik HTI atau THE), dan berdagang karbon, hanya dengan menyatakan apa saja aktivitas mereka tersebut dalam rencana kerja tahunan.
“Di Indonesia, selain gagal melindungi hutan dari deforestasi, proyek-proyek REDD dan REDD+ telah merampas wilayah adat dan wilayah kelola. Contohnya saja Proyek Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) di Kalimantan Tengah, yang merupakan proyek kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia, dan juga proyek REDD yang gagal di Ulu Masen Aceh,” papar Uli.
Uli juga menjelaskan, bahkan beberapa kebijakan terkaitpun mengekslusi posisi Masyarakat Adat. Perpres No. 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi Yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional, tidak menempatkan kedudukan Masyarakat Adat beserta hak-hak dan kontribusinya dalam penanganan perubahan iklim secara memadai telah menyebabkan permasalahan yang serius baik terkait legalitas dari Perpres No. 98/2021 serta implikasi sosial, politik dan ekologi yang mengikutinya.
