Perdagangan Karbon Adalah Kolonialisasi Berkelanjutan atas Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal

1.629 Views

Kemudian, Peraturan OJK No. 14/2023 tentang Bursa Karbon secara tegas telah menutup jalan Masyarakat Adat untuk dapat menjadi penyelenggara bursa karbon. Pasal 3 Peraturan OJK ini mewajibkan entitas yang dapat menjadi penyelenggara bursa karbon harus memiliki modal Rp100 miliar dan bukan pinjaman.

Kolonialisasi yang Berkelanjutan, Perparah Krisis Iklim

Konsesi-konsesi karbon yang diperuntukkan untuk menghasilkan dan menjual kredit karbon di pasar karbon terbukti telah menggusur rakyat dari ruang hidupnya serta wilayah kelolanya. Bahkan, percakapan perdagangan karbon yang dipromosikan negara serta pihak-pihak yang mempromosi perdagangan karbon, membingungkan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal di kampung-kampung. Narasi perlindungan yang dibangun dan janji kompensasi yang diberikan atas tindakan menjaga hutan, telah mengalihkan fakta-fakta penghancuran, kekerasan, perampasan di seluruh wilayah yang dieksploitasi, merupakan tanggungjawab pengurus negara serta korporasi-korporasi pemegang izin industri ekstraksi.

Baca juga: https://kalimantanreview.com/negara-bertindak-tambang-bodong-ancam-borneo/

“Situasi tersebut tidak lain adalah proses kolonialisasi lanjutan atas pengetahuan serta pengalaman hidup Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal. Alam sebagai ibu bersama bagi Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal, sedemikian rupa dikomodifikasi serta diprivatisasi menjadi unit untuk dijual di pasar keuangan,” tegas Uli.

Diskusi tersebut, sebagaimana dinyatakan Uli, menggarisbawahi pandangan bahwa memperjualbelikan izin untuk melepas emisi, baik dengan cara mengekstraksi fosil bawah tanah dan penggunaan energi fosil dengan cara melakukan penyeimbangan karbon hanya akan terus memperparah krisis iklim, bencana ekologis, perampasan tanah, pengekslusian Masyarakat Adat, kriminalisasi dan kekerasan. Sebaliknya, para penguasa dan pemilik modal semakin memperkuat posisi ekonomi dan politik mereka agar terus bisa memperkaya diri dan mengontrol semua kebijakan nasional ataupun global.

Kurangi Emisi, Lindungi Hutan dan Pulihkan Ekosistem Alam

Upaya yang yang diperlukan adalah menjawab akar persoalannya. Pemerintah ataupun negara-negara maju seharusnya berfokus pada pengurangan emisi untuk memastikan suhu global berada di bawah 1,5 derajat celcius.

“Jalan utama untuk mengatasi krisis iklim yaitu dengan mengurangi emisi bahan bakar fosil secara segera dan besar-besaran. Melindungi hutan dan memulihkan ekosistem alami sangatlah penting bagi keanekaragaman hayati dan iklim, namun kita harus melakukan hal tersebut dengan mengurangi emisi secara langsung, bukan sebagai penggantinya,” pungkas Uli.

Baca juga: https://kalimantanreview.com/pancur-kasih-pak-wiranto-mohon-klarifikasi-tuduhan-kepada-peladang/

Pendidikan Kritis

Dari tanya jawab dan gagasan yang dilontarkan para diskusan, ada tekad seluruh komponen menginginkan supaya masyarakat luas, termasuk masyarakat di wilayah dampingan lembaga-lembaga anggota segera mendapatkan pemahaman kritis terkait isu perdagangan karbon. Ini misalnya meliputi apa dan dari mana asal usul perdagangan karbon, apa dan siapa saja aktor-aktor dan para pemainnya? Mengapa posisi ekonomi dan politik Masyarakat Adat diekslusi?  Bagaimana cara dan mekanisme perdagangan karbon itu bekerja?

Hal-hal tersebut krusial dan harus segera dipahamkam secara mudah di Masyarakat Adat, terutama bagi generasi mudanya untuk mengurangi risiko kian parahnya krisis iklim di satu sisi, dan risiko kriminalisasi Masyarakat Adat di sisi satunya.

Terkait hal itu, Nikodemus Alle, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar periode sebelumnya, mengatakan pendidikan kritis mengenai isu perdagangan karbon dan kaitannya dengan berbagai kebijakan yang ada bagi Masyarakat Adat perlu segera dilakukan.

Katanya, belum lama ini pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN menerapkan skema HPL di wilayah Masyarakat Adat, terutama yang telah memiliki SK Penetapan Pengakuan dan Perlindungan dari kepala daerah, serta SK Penetapan Hutan Adat dari Kementerian LHK. “Ini strategi pemerintah membuka peluang kepada pemilik modal agar bekerja sama dengan Masyarakat Adat, salah satunya bisnis perdagangan karbon. Kita harus menyikapi ini bersama-sama. Segera lakukan pendidikan kritis khusus untuk isu ini di tengah Masyarakat Adat, terutama di kalangan generasi mudanya,” harap Niko. [*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *