Negara Bertindak… Tambang Bodong Ancam Borneo
Oleh: R. GIRING, PETINGGIQ, DARABATAS
“Ribuan Ijin Serampangan, dan Negara Berpotensi Dirugikan Hingga Nyaris Satu Triliunan Rupiah”
Lebih dari 3.136 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di Indonesia belum Clear and Clean (CnC), 50% atau sekitar 1.518 IUP di antaranya berasal dari tanah Borneo. Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan ada 1.078 pemegang ijin tambang di Kalimantan belum menyelesaikan administrasi IUP.
Koalisi Masyarakat Sipil Borneo (KMSB) tahun 2014, merilis potensi kehilangan penerimaan negara 2010-2013 di 12 Provinsi di Indonesia mencapai Rp. 919,18 miliyar, dan Rp. 574,9 miliar di antaranya dari Kalimantan. Hal serupa diungkapkan oleh Koalisi Anti Mafia Tambang Region Kalimantan, yang mengungkapkan mayoritas pemegang IUP di Kalimantan juga belum melaksanakan kewajiban jaminan dana reklamasi dan pasca tambang.
Keberadaan perusahaan tambang yang berstatus non-CnC di antaranya tumpang tindih antar IUP, tumpang tindih perijinan dengan komoditas lain dan belum memenuhi kelengkapan administrasi. JATAM Kaltim menemukan beberapa modus perijinan fiktif, yakni alamat kantor fiktif, beberapa perijinan dikuasai/dipegang satu pemilik dengan gonta-ganti nama dan alamat perusahaan.
Oleh karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergerak cepat dengan membuka ruang publik untuk berpartisipasi dalam mengatasi masalah indikasi korupsi pertambangan. Tindakan pencegahan dilakukan dengan berbagai upaya, mulai dari mewarning Pemerintah Daerah hingga mencabut perijinan tambang.
Salah satu contoh, di akhir tahun 2014, Drs. Cornelis, M.H, Gubernur Kalimantan Barat, telah mencabut 117 ijin tambang se-Kalbar karena belum CnC. Selain masalah perijinan dan potensi kerugian negara, masalah utama pertambangan di Kalimantan adalah merusak sistem ekologis karena mengabaikan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan reklamasi.
Lebih jauh, kritik terbesar tambang adalah hanya mengeruk ‘isi’, sementara reklamasi diabaikan dan hak Masyarakat Adat sebagai pemilik tanah atau hak setempat tak pernah benar-benar diperhatikan. Bagaimana karut-marut pertambangan di Kalimantan? Berikut ulasan lengkap KR edisi ini.
Langkah cepat KPK, Korsup mineral & batu bara
Masalah-masalah yang muncul sebagai dampak dari ijin-ijin konsesi untuk investasi berbasis hutan dan lahan di Negeri ini, terutama di Kalimantan bukanlah hal baru mendapat perhatian berbagai kelompok masyarakat sipil. Semakin tergerusnya hutan, ketiadaan manfaat positif bagi masyarakat sekitar, hingga kerugian bagi Negara adalah topik yang semakin kuat mendapat perhatian beberapa tahun belakangan ini. Terlebih lagi Koordinasi dan Supervisi (Korsup) di bidang Minerba oleh KPK memberikan ruang partisipasi masyarakat sipil. Selain itu, good will Pemerintah dalam melaksanakan mandat reforma agraria juga tampak serius sebagaimana tertuang pada dokumen nawacita 9 prioritas program Jokowi-JK. “Nilai manfaat sumber daya alam tidak sampai ke masyarakat,” ujar Busyro Muqqodas, Wakil Ketua KPK. Hal tersebut diuangkapkannya pada kegiatan evaluasi dan refleksi perkembangan implementasi Nota Kesepakatan Bersama (NKB) Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia dalam kegiatan Semiloka di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta pada Senin-Rabu, (10-12/11/2014) lalu. Minimnya transparansi dan kepatuhan terhadap mekanisme dan regulasi hukum berimplikasi pada ketidakadilan sosial dan masalah ekologis. Bahkan, Negara pun dirugikan. Sebuah wajah buram yang menjelaskan impak-impak dari sistem dan praktik tata kelola SDA sejauh ini.
Menurut situs KPK (http://www.kpk.go.id/berita/siaran-pers/2310-kpk-evaluasi-setahun-perkembangan-nkb- kehutanan) update implementasi NKB selama 1 tahun berjalan baru mencapai 50%. Dalam bidang harmonisasi regulasi dan kebijakan SDA, misalnya, dilaporkan perkembangan implementasinya telah menyusun rancangan yang merevisi Peraturan Pemerintah tentang Perencanaan Hutan; Penerbitan Permentan 98/2013 tentang Pedoman Perijinan Usaha Perkebunan; serta Penerbitan Permen ESDM 37/2013 tentang Kriteria Teknis Peruntukan Kawasan Pertambangan dan Pengembangan Minerba One Map Indonesia. Sementara perkembangan implementasi pada hal teknis dan prosedural pengukuhan kawasan hutan telah tercapai beberapa hal, antara lain: pemutakhiran peta dasar skala 1:50 ribu dan penyediaan citra satelit resolusi tinggi kepada pemerintah daerah; pelaksanaan pelatihan pemetaan partisipatif dan rancangan SOP pemetaan partisipatif; serta penerbitan Permenhut P.62/2013 tentang perubahan Permenhut P.44/2012 dan Permenhut P.25/2014 tentang Panitia Tata Batas.
Dalam aspek resolusi konflik, telah dicapai 2 hal, yakni pelaksanaan Inkuiri Nasional oleh Komnas HAM, serta penerbitan edaran kepada Pemerintah Daerah untuk segera melakukan pemetaan sosial terhadap Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat lokal di sekitar hutan. Meskipun demikian, menurut lembaga antirasuah tersebut, 1 tahun perjalanan NKB tersebut diakui masih menemui tantangan dan hambatan- hambatan, diantaranya ego sektoral dan koordinasi antarkementerian/ lembaga, implementasi baru sebatas dokumen, pelibatan publik minim, arah pembangunan pemerintahan baru, rencana aksi belum fokus strategis. Dari seluruh Indonesia, tercatat 12 provinsi yang melakukan Korsup di bidang mineral dan batu bara sejak awal 2014, yakni dari Sumatera Selatan, Jambi, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara. Di Kalbar, Korsup Mineral dan Batu bara dilakukan pada tanggal 20-22 Mei 2014 dan dihadiri oleh Pemerintah Daerah se-Kalimantan Barat. Koalisi Anti Mafia Tambang, dengan mengutip data dari Dirjen Minerba, menilai bahwa dari 813 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi, dan Kabupaten/Kota, banyak IUP yang tumpang tindih, tidak membayar kewajiban keuangan (land rent dan royalti), tidak membayar dana jaminan reklamasi dan pasca tambang serta persoalan lainnya. “Sektor tambang sama sekali tidak memberikan kontribusi yang signifikan untuk pembangunan daerah Kalimantan Barat,” tulis siaran pers Koalisi Anti Mafia Tambang yang diterima KR pada, Minggu (7/12/2014) itu. Aktivis Koalisi Anti Mafia Tambang, Ivan V. Agung mengapresiasi beberapa capaian Korsup, namun menurutnya ada 7 (tujuh) hal berikut yang menjadi prioritas untuk ditindaklanjuti. Pertama, dari total 813 IUP di Kalbar (per 1 Desember 2014) sebanyak 106 IUP yang dicabut, 318 CnC dan ada 389 IUP yang belum CnC, ini perlu ditindak tegas. Kedua, dari 13 IUP seluas 2.532,74 ha berada di Kawasan Hutan Konservasi dan 125 IUP seluas 135.157 di kawasan lindung. Baru 26 IUP di Kawasan Konservasi dan Lindung yang telah dicabut/diciutkan, sehingga masih ada 112 IUP yang belum dicabut/ diciutkan, maka Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota wajib mencabutnya. Ketiga, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota perlu melakukan pengawasan untuk memastikan praktik pertambangan di Kawasan Hutan Lindung benar-benar menjalankan operasionalnya sesuai dengan regulasi. Keempat, dari Total IUP, baru 19 IUP yang membayarkan jaminan reklamasi dan 7 IUP yang membayarkan jaminan pasca tambang. Kelima, perlu dilakukan verifikasi status perusahaan yang dikategorikan Clean and Clear (CnC), karena realitasnya itu ada yang palsu. Keenam, mendesak pemerintah meminta pihak perusahaan memenuhi segala kewajibannya (land rent dan royalti). Ketujuh, terdapat adanya potensi kerugian negara dari land rent sehingga perlu tindakan pencegahan.
Tabel 1. Rekapitulasi IUP Se-Kalimantan Barat yang Dikeluarkan oleh Gubernur, Bupati / Walikota Tahun 2014
Sementara itu, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalbar mencatat terdapat 117 IUP yang dicabut oleh pemerintahan se-Kalbar. Data rekapitulasi IUP se-Kalbar yang dikeluarkan oleh gubernur, bupati/walikota tahun 2014 sebagaimana diperoleh KR pada, Senin, (19/1/2015) menyatakan bahwa sebanyak 317 IUP berstatus CnC dan 381 IUP belum CnC, 117 IUP dicabut. Sedangkan sisa IUP per Desember 2014 sebanyak 698 dari 815 IUP dikeluarkan per Juli 2014. Berikut rekapitulasinya untuk provinsi dan 12 wilayah kabupaten se- Kalbar. Berdasarkan keterangan yang diperoleh KR dari Kepala Bidang Minerba, Panas Bumi dan Air Tanah Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalbar, Wiro Pranata, ST., MM baru-baru ini, jumlah IUP yang dicabut ditengarai akan terus bertambah. “Kemungkinan jumlah IUP yang dicabut karena tidak memenuhi kategori CnC akan terus bertambah beberapa waktu ke depan,” tuturnya kepada Giring dan Cony dari KR di ruang kerjanya, Senin (19/1/2014). Wiro menyampaikan ada tantangan yang dihadapi oleh Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalbar dan Pemerintah Pemrov terkait Korsup Minerba di antaranya adalah dilema kewenangan.
Dilema kewenangan
Undang-undang No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mulai diberlakukan pada tanggal 2 Oktober 2014, salah satunya menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota tidak dapat melakukan proses penerbitan IUP lagi sehingga seluruh ijin tambang berada dalam kewenangan Pemerintah Provinsi. Dengan demikian, desentralisasi ijin tambang yang semula berada di tangan bupati/walikota dinyatakan secara resmi tidak berlaku lagi. Oleh karena proses IUP di wilayah Kabupaten/Kota yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota memiliki kronologisnya masing-masing, maka pemberlakuan UU tentang Pemerintah Daerah itu menimbulkan dilema dalam konteks kewenangan bila dikaitkan dengan waktu pemberlakuannya. Wiro Pranata, ST., MM., mengatakan karena sekarang ini Korsup Minerba sedang berlangsung, maka pemberlakuan UU No.23/2014 ini menimbulkan semacam dilema bagi Pemerintah Provinsi dan Distamben Provinsi Kalbar. “Kita perlu waktu, apalagi tidak semua Pemerintah Kabupaten/Kota menyetor dokumen perijinan pertambangan secara lengkap, sementara Korsup Minerba sedang berjalan,” ujarnya.
Suami dari Adriana ini menambahkan, untuk menanyakan kejelasan soal kewenangan tersebut, pada awal Desember 2014 lalu, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalbar menyampaikan surat kepada Dirjen Minerba Kementerian ESDM perihal pelayanan urusan ESDM setelah pemberlakuan UU No. 23/2014.
Menurut Kabid Minerba Distamben Provinsi Kalbar, intinya mohon kepada Dirjen Minerba Kementerian ESDM untuk mengeluarkan peraturan terkait dengan proses perijinan yang terkendala akibat diterbitkannya UU No. 23/2014 tersebut. “Surat tersebut juga minta surat edaran dari Dirjen Minerba Kementerian ESDM terkait prosedur perijinan dan mekanisme proses pelimpahan perijinan dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Provinsi untuk perijinan yang masih berlaku terkait dengan perpanjangan, peningkatan, penciutan dan pencabutan IUP,” pungkasnya.
Masih untuk memastikan kejelasan soal kewenangan Pemprov terkait proses perijinan pertambangan, maka dalam rangka memberikan kepastian hukum dan tetap memberikan pelayanan perijinan bidang energi dan sumber daya mineral, maka Gubernur Kalbar menyampaikan surat kepada Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri pada pertengahan Desember 2014.
Surat bernomor 540/1213/Distamben.A-1 itu menyatakan mohon petunjuk dan arahan terkait pelaksanaan UU No. 23/2014 mengingat Peraturan Pelaksananya belum ada sehingga diharapkan segera mengeluarkan peraturan terkait dengan proses perijinan yang terkendala akibat diterbitkannya UU No. 23/2014 tersebut. Menindaklanjuti upaya penataan dan perbaikan di sektor pertambangan, Pemprov Kalbar, melalui Gubernur Kalbar mengeluarkan edaran kepada bupati/walikota se- Kalbar untuk tujuan menertibkan proses penerbitan IUP sesuai UU No. 23/2014.
“Intinya adalah menegaskan bahwa sejak diberlakukannya UU tentang Pemerintah Daerah itu, bupati/ walikota tidak dapat melakukan proses penerbitan IUP terhitung sejak 2 Oktober 2014. Edaran itu juga memerintahkan kepada bupati/walikota agar segera menyampaikan dokumen IUP yang telah diterbitkannya kepada Gubernur Kalbar. Edaran itu juga menegaskan bahwa permohonan IUP baru yang telah diterima dan diajukan pemohon setelah tanggal 2 Oktober 2014 agar disampaikan kepada Gubernur Kalbar,” jelasnya kepada KR.
“Kami di Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalbar selalu aktif menyampaikan laporan pelaksanaan perbaikan dan penataan IUP se- Kalbar, baik kepada Dirjen Minerba Kementerian ESDM maupun kepada KPK, termasuk mencabut IUP yang berada di kawasan hutan konservasi, memerintahkan pemegang IUP untuk membayar jaminan reklamasi, meskipun hingga hari ini (19 Januari 2015: Red) belum ada Peraturan Pemerintah, baik dari Kementerian ESDM maupun dari Kementerian Dalam Negeri yang berisi Petunjuk Teknis (Juknis),” tambah Wiro Pranata sembari mengaku senang karena pengarsipan data-data terkait tanggungjawabnya sebagai Kepala bidang terus ditata lebih rapi dari sebelumnya.
Potensi kerugian Negara
Petisi Koalisi Anti Mafia Tambang Region Kalimantan menyatakan bahwa sejak tahun 2010-2013 seluruh IUP wilayah Kalbar diperkirakan memiliki potensi kebocoran DBH land rent sebesar Rp. 177,4 milyar, Kalsel sebesar Rp. 34,1 milyar, Kalteng Rp. 145,1 milyar, dan Kaltim sebesar Rp. 218,3 milyar atau terbesar dari provinsi lain di Kalimantan. Total potensi kebocoran DBH land rent di seluruh wilayah IUP se-Kalimantan periode 2010-2013 adalah Rp. 574,9 milyar. Perkiraan potensi kehilangan penerimaan Negara periode 2010-2013 untuk IUP di Kab. Kapuas menyumbang paling besar untuk Provinsi Kalteng yakni mencapai Rp. 21,62 milyar. Sedangkan potensi kehilangan penerimaan Negara untuk Provinsi Kalsel terbanyak berasal dari Kab. Kotabaru yakni Rp. 15,01 milyar. Potensi kehilangan penerimaan Negara yang terbanyak di Kaltim berasal dari Kab. Kutai Timur sebesar Rp. 45,79 milyar. Selanjutnya, kabupaten penyumbang paling banyak potensi kehilangan penerimaan Negara untuk sektor Minerba di Kalbar berasal dari IUP di Kab. Ketapang yakni Rp. 24,5 milyar. Dari seluruh wilayah provinsi Kalbar, Kab. Ketapang memiliki 150 IUP pada Juli 2014. Bahkan setelah sejumlah IUP dicabut pada Desember 2014, IUP di Kab. Ketapang masih terbanyak di antara IUP di wilayah kabupaten lain se Kalbar yakni sebanyak 120 IUP.
Kotak 1.
11 (Sebelas) Perusahaan di Malinau diduga Fiktif dan Terlibat Monopoli
JATAM Kaltim menemukan 11 dokumen IUP Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur yang kemudian dicek alamatnya ditemukan dugaan fiktif. Dari total 105.000 Ha yang terdiri dari 5 pemegang IUP Minerba, diduga dikuasai hanya oleh orang yang berganti-ganti nama pemilik dengan inisial YF, DRI dan PN. Modusnya Nama perusahaan dibuat berbeda- beda namun sama alamat perusahaannya.Temuan lain adalah 101.700 Ha yang terdiri dari 6 pemegang IUP Minerba diduga dikuasai oleh hanya satu orang yaitu GS, modusnya hanya berganti-ganti nama perusahaan dan alamat perusahaan saja (Sumber: KMSB, 2014).
izin nya kan dari bawah meja