Kebudayaan dan Gerakan Sosial: Pengalaman Organisasi Odesa Indonesia


Oleh FAIZ MANSHUR – Ketua Odesa Indonesia
Yayasan Odesa Indonesia bekerja dalam gerakan sipil dengan pendekatan budaya. Saya ungkapkan demikian bukan karena diskusi kita perihal kebudayaan, melainkan karena visi Odesa Indonesia memang menaruh besar pada usaha pencapaian perbaikan masyarakat sampai tahap jauh yaitu keadaban (peradaban).
Baca juga: https://kalimantanreview.com/hakikat-kerja-budaya/
Kebudayaan penting dijadikan titik-tolak kerja karena untuk menuju keadaban dibutuhkan sebuah modal (sosial) yaitu kebudayaan. Karena itu, sadar terhadap hakikat budaya di sebuah masyarakat menjadi sebuah keharusan. Apa saja sendi-sendi kebudayaan yang ada di masyarakat? Apa yang kurang? Apa yang sudah tersedia dan memiliki nilai keunggulan? Dan kita juga harus bertanya, bagaimana jika di masyarakat itu tidak memiliki sendi-sendi kebudayaan?
Tadi saya katakan kebudayaan sebagai pendekatan atau optik. Ini bisa problematik kalau tidak dituntaskan. Sebab saya yakin Anda akan bertanya, kebudayaan sebagai cara memandang itu bagaimana? Apa yang dipandang? Apakah yang kemudian dipandang itu selalu budaya? Bagaimana mungkin nanti budaya melihat budaya?
Perkara ini nanti akan terang dengan sendirinya dengan apa yang saya sebut budaya dalam pengertian kami di Yayasan Odesa Indonesia. Tetapi supaya lebih mudah, di awal saya akan jelaskan bahwa Yayasan Odesa memiliki sistem berpikir etnografis sehingga cara pandang budaya dan kerja budaya itu tak terpisahkan. Tak ada cara pandang yang beku (dalam bingkai epistemologis tertentu). Kalau pun harus menyebut salah satu epistemologi, maka jenis epistemologinya adalah etnografi itu sendiri.
Dengan kata lain budaya dalam pandangan kami adalah optik sekaligus objek. Segenap tindakan yang kami lakukan dalam kerja kebudayaan ini adalah pendidikan yang pendidikan itu garis teleologinya adalah memproduksi ilmu pengetahuan. Lalu bagaimana dengan deontologinya? Kita pakai di level kerja klasifikasi.
Karena setiap penilaian harus bersandarkan ukuran atau objek yang nyata. Pembacaan dari perihal budaya dari saya kurang lebih begini:
Yang paling pokok dari skema di atas adalah kata 1) Budaya, 2) Ternak/Satwa 3) Literasi 4) Teknologi.
Kata budaya saya letakkan harus tetap lekat dengan urusan pangan karena memang kultur adalah agrikultur atau budaya adalah budidaya, dan urusan tradisi hidup sebelum memasuki kebudayaan memang tak lepas dari urusan budidaya, alias pertanian. Dan argumentasi ini laras dengan kesenian, satwa, literasi/pendidikan dan teknologi.
Dengan memberikan pengertian yang paling mendasar ini saya berharap nanti teman-teman yang gemar berbicara tentang budidaya, apalagi berkepentingan memajukan kebudayaan mestinya juga harus terus mendekatkan pada objek 1) pangan, 2) rumah tangga, 3) satwa atau lebih luas lagi adalah masalah ekologi dan ekosistem.