Tumbang Anoi: Cagar Budaya dan Desa Adat

1.772 Views

Oleh Kusni Sulang (Budayawan Dayak Kalteng)

Kuda-kuda mengibas lelah

Menuruni lembah

Menghalau kabut Sibolangit

Lelaki tahu

Ke mana membawa luka dan darah

(Slamet Sukirnanto, “Inang” dalam antologi Luka Bunga)

Tumbang Anoi adalah salah satu desa dari tujuh desa di Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas (Gumas), Kalimantan Tengah (Kalteng). Tujuh desa tersebut adalah Karetau Sarian,Tumbang Mahuroi,  Tumbang Posu, Lawang Kanji,  Rambangun, Tumbang Maraya dan Tumbang Anoi.

Sedangkan Damang Batu (Damang dari Desa Batu)  yang digunakan sebagai nama kecamatan dari 13 kecamatan, Kabupaten Gumas adalah Ketua Penyelenggara Pertemuan Tumbang Anoi yang berlangsung dari 22 Mei s/d 24 Juli 1894.

Rapat akbar tersebut dihadiri oleh sekitar 1.000 orang dari 152 suku Dayak yang ada di Pulau Borneo, mencakup Sabah, Sarawak dan Brunei Darusalam. Sedangkan Pemerintah Belanda diwakili oleh Asisten Residen Hoky dari Banjarmasin,   Kapten Christofel dari Kuala Kapuas dan   Letnan Arnold dari Kuala Kapuas [http://suarapakat.blogspot.com/2014/02/sejarah-perjanjian-tumbang-anoi-tahun.html].Kehadiran perwakilan pemerintah Hindia Belanda ini, tentu bukanlah kebetulan dan pasti mengatakan sesuatu.

Dalam artikelnya berjudul Damang Batu, penulis dari Kalimantan Barat yang mengelolaytprayeh. com Kalimantan Utara antara lain menulis bahwa  Pertemuan Tumbang Anoi 1894 dilangungkan “dengan dukungan Kolonial Belanda”.

Sedangkan redaksi https://inovasiborneo.co.id /2019/07/22/menguak-sejarah-perjanjian-tumbang-anoi/ menulis bahwa  pada Pertemuan Tumbang Anoi yang oleh sementara pihak disebut sebagai “fajar peradaban Dayak” sesungguhnya “terselip” kepentingan pihak Pemerintah Hindia Belanda sebagaimana Poin 1 Keputusan Rapat tersebut, termasuk ide untuk bersumpah siap membantu Pemerintah Hindia Belanda” [https://inovasiborneo. co.id/2019/07/22/menguak-sejarah-perjanjian-tumbang-anoi/].

9 Poin Pertemuan Tumbang Anoi 1894

Pertemuan Tumbang Anoi 1894 itu memutuskan sembilan poin sebagai berikut: (1) Menghentikan permusuhan dengan pihak Pemerintah Hindia Belanda; (2) Menghentikan kebiasaan perang antarsuku dan antardesa; (3) Menghentikan kebiasaan balas dendam antar keluarga; (4) Menghentikan kebiasaan adat mangayau; (5) Menghentikan kebiasaan adat perbudakan; (6) Pihak Belanda mengakui berlakunya Hukum Adat Dayak dan memulihkan segala kedudukan, dan hak-hak suku Dayak dalam lingkup pemerintahan lokal tradisional mereka; (7) Penyeragaman hukum adat antarsuku; (8) Menghentikan kebiasaan hidup berpindah-pindah dan agar menetap di suatu pemukimantertentu; (9) Mentaati berlakunya penyelesaian sengketa antar penduduk maupun antar kelompok yang diputuskan  oleh Rapat Adat Besar yang khusus diselenggarakan selama  Rapat Damai ini berlangsung. https://inovasiborneo. co.id/2019/07/22/menguak-sejarah-perjanjian-tumbang-anoi/; Dr. Ahim Rusan, et.al, “Sejarah Kalimantan Tengah].

Membaca situasi Hindia Belanda dan internasional pada waktu itu, saya sendiri melihat bahwa Pertemuan Tumbang Anoi merupakan titik hitam dalam sejarah Dayak. Bahkan seorang teman yang belajar hukum dan menulis skripsi tentang Hukum Adat Tumbang Anoi 96 pasal mendapatkan bahwa Hukum Adat Tumbang Anoi 96 pasal itu tidak jauh berbeda dari hukum pidana Belanda.

Hal ini ia nyatakan ketika menjawab pertanyaan saya: Siapa sesungguhnya yang menyusun Hukum Adat Tumbang Anoi 96 Pasal?

Lepas dari semua pendapat dan kritik mengenai Pertemuan Tumbang Anoi 1894 dan keputusan-keputusannya, Pertemuan Tumbang Anoi 1894 ini tetap merupakan suatu peristiwa bersejarah yang mempengaruhi jalan perkembangan Orang Dayak.

Saya kira, bukan tidak ada gunanya jika kajian serius tanpa emosi, kembali dilakukan ulang dengan harapan seperti dikatakan oleh penyair Slamet Sukirnanto, untuk “menghalau kabut” sehingga kita “tahu ke mana membawa luka dan darah”, sehingga “dalam darah/menyala lampu-lampu”, jika meminjam ungkapan penyair asal Madura, D. Zawawi Imron. Karenanya Desa Tumbang Anoi tetap merupakan tempat bersejarah bagi Orang Dayak.

Terhadap tempat bersejarah ini Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Gumas, Yansiterson dalam acara Dialog Lintas Borneo yang dilakukan secara virtual,bertempat di Aula Lantai I Kantor Bupati Gumas, Rabu (21/9/2022) antara lain menghimbau agar kita—terutama Orang Dayak— “memaknai lebih dalam Tumbang Anoi ini” [https://mmc.kalteng.go.id/berita/read/39187/pemkab-gumas-miliki-masterplane-mengenai-tumbang-anoi].

Gambar: Sisa-sisa konstruksi Betang Damang Batu yang berada di sebelah Replika Betang Damang Batu di Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas. [https://kebudayaan.kemdikbud. go.id/dpk/kesepakatan-tumbang-anoi-rumah-betang-damang-batu-dan-akhir-tradisi-mengayau-di-kalimantan/]

Perlu Kajian Serius

Kajian serius tanpa emosi, berjarak, jujur, barangkali salah satu cara agar bisa  “memaknai lebih dalam Tumbang Anoi”. Jika hitam katakan hitam, demikian juga kalau putih sebutlah sebagai putih.   

“Memaknai lebih dalam Tumbang Anoi” tidak bakal bisa dilakukan apabila dimulai dengan ketakutan pada sejarah. Ketakutan begini akan membuat kita membelah cermin jika melihat muka buruk di kaca. 

Dengan “memaknai lebih dalam Tumbang Anoi” lalu desa bersejarah ini mau dibawa ke mana? Mau dijadikan apa?

Melalui pernyataan-pernyataan Yansiterson dalam acara Dialog Lintas Borneo yang didukung oleh Pemkab Gumas, Forum Masyarakat Adat Heart of Borneo (FormaHOB) dan WWF Indonesia, pertanyaan-pertanyaan di atas bisa kita temukan.

Dalam forum tersebut,  Yansiterson mengungkapkan bahwa “Pemkab Gumas akan menetapkan Tumbang Anoi sebagai salah satu Masyarakat Hukum Adat, hal itu ditetapkan dengan Keputusan Bupati Gunung Mas yang akan menjadi bahan penting bagi pengembangan Tumbang Anoi selanjutnya.”

Lebih lanjut Yansiterson menambahkan, “Pemkab Gumas telah siap dan memiliki rencana induk pengembangan pariwisata Kabupaten dan juga memiliki masterplan mengenai Tumbang Anoi, walaupun dilakukan secara bertahap karena anggaran terbatas”.

Apa isi “masterplan mengenai Tumbang Anoi” itu? Yansiterson menjelaskan yaitu  pengakuan Negara layaknya Tanjung Puting diakui sebagai Taman Nasional [https://mmc.kalteng.go.id/berita /read /39187 /pemkab-gumas-miliki-masterplane-mengenai-tumbang-anoi].

Seperti diketahui, Tanjung Puting adalah sebuah tujuan wisata. Artinya isi kegiatan Masyarakat Adat di Tumbang Anoi itu nanti adalah pengembangan desa sebagai tujuan wisata –  barangkali  wisata sejarah.

Itu sejalan dengan pernyataan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Eigh Manto yang mengajak semua pihak bekerjasama menyelamatkan dan mengembangkan Desa Tumbang Anoi. “Saya mengajak semua pihak untuk bergerak secara aktif, berbuat nyata untuk menyelamatkan, melestarikan dan mengembangkan Desa Tumbang Anoi,” ujarnya, Jumat (30/9/2022).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *