Merayakan Keberagaman: Refleksi tentang Sekolah Budaya “Sakula Budaya” di Kalimantan Tengah, Indonesia

219 Views

Oleh: RICARDA GARDILL & JAN HAUPTMANN – Peserta Program Magang di Borneo Institute

Pada intinya, budaya adalah jawaban manusia terhadap pertanyaan-pertanyaan yang paling dalam tentang kehidupan. Ini adalah cara manusia mengekspresikan siapa mereka, merayakan dari mana mereka berasal, dan membayangkan ke mana mereka akan pergi.

Hal ini dapat ditemukan dalam lagu-lagu yang dinyanyikan di malam hari yang sunyi, pola-pola yang terukir pada kain, kisah-kisah yang diceritakan oleh para tetua, dan tarian-tarian yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Baca juga: https://kalimantanreview.com/budaya-damai-orang-dayak-dan-tantangannya/

Budaya menyuarakan emosi yang terlalu dalam untuk diungkapkan dengan kata-kata dan menghubungkan individu dengan sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka sendiri – sebuah komunitas, sejarah, dan tujuan bersama.

Dari sudut pandang kami orang Jerman, budaya Indonesia memiliki peran yang sangat penting. Dengan keanekaragaman yang menakjubkan dan ratusan kelompok etnis, Indonesia adalah sebuah mozaik tradisi dan adat istiadat. Sebagai bagian dari program magang di Borneo Institute, kami merasakan bagaimana setiap daerah menyumbangkan bagiannya masing-masing untuk identitas kolektif.

Hal ini mendorong kami untuk merefleksikan pemahaman kami sendiri tentang budaya, mengungkapkan banyak perbedaan antara Jerman dan Indonesia, sekaligus mengungkap kesamaan dalam cara kedua masyarakat terlibat dan melestarikan warisan budaya mereka.

Baca juga: https://kalimantanreview.com/pengetahuan-adat-dan-pembangunan-berkelanjutan/

Jerman adalah negara yang dibentuk oleh keragaman, rumah bagi orang-orang dari berbagai latar belakang migrasi dan beragam penampilan. Selama bertahun-tahun, gelombang imigran-seperti pekerja tamu dari Turki, Italia, dan Yunani, serta pendatang baru dari Suriah dan wilayah lain-telah memperkaya budaya negara ini.

Saat ini, jalan-jalan di Jerman mencerminkan perpaduan yang semarak ini, dengan orang-orang dari berbagai warna kulit, bahasa, dan tradisi yang berkontribusi pada identitasnya. Namun demikian, sejak berdirinya Republik Federal Jerman pada tahun 1949, kami orang Jerman telah berjuang untuk mendefinisikan dan mendiskusikan konsep “budaya” kami.

Baca juga: https://kalimantanreview.com/pelatihan-fasilitator-sekolah-pemberdayaan-masyarakat-adat-kalimantan/

Perjuangan ini berakar pada sejarah kami, di mana nasionalisme ekstrem dan patriotisme yang salah arah, ditambah dengan kepercayaan pada apa yang disebut “ras unggul”, membuka jalan bagi naiknya Hitler ke tampuk kekuasaan. Babak kelam ini memuncak dalam beberapa kejahatan dan genosida yang paling mengerikan dalam sejarah manusia, meninggalkan dampak yang abadi pada cara kita memandang dan mengekspresikan identitas budaya kita.

Penulis bersama dua peserta Sakula Budaya.

Kekosongan Budaya

Oleh karena itu, setelah perang dunia kedua pada 1945, banyak orang Jerman menjauhkan diri dari simbol-simbol dan tradisi nasionalis, mewaspadai apa pun yang dapat menggemakan ideologi era Nazi. Kehati-hatian ini menciptakan kekosongan budaya, di mana kebanggaan terhadap warisan sering kali digantikan oleh fokus pada pembangunan kembali dan modernisasi. Hingga hari ini, orang Jerman mempertahankan pendekatan yang hati-hati dan sering kali menjaga jarak dalam membahas “budaya mereka”.

Baca juga: https://kalimantanreview.com/plajei-plupuh-nyah-udip-ja-jaa-masyarakat-adat-ketemenggungan-tae-belajar-sepanjang-hayat-untuk-masa-depan/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *