PENGETAHUAN ADAT DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
SDG 10: Mengurangi Ketimpangan di Antara Orang Dayak di Kalimantan Barat: Pengalaman Masyarakat Adat Dayak Melalui Pemberdayaan Ekonomi Lokal di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia
Penulis: Sabine Schielmann | Penyunting: R. Giring & Kriss Gunui‘
Tulisan ini diterjemahkan dari publikasi dalam Bahasa Jerman di https://blog.infoe.de/2020/02/02/sdg-10-verringerung-von-ungleichheiten-bei-den-dayak-in-westkalimantan/ pada tanggal 23 Februari 2021, Pkl. 22:28 Wib; tim KR mengucapkan terima kasih kepada Sabine Schielmann yang telah memberikan izin untuk mempublikasikannya kembali di media ini.
Pada awal 1990-an, Institut Dayakologi dan Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih (GPPK) mulai mempromosikan praktik pembangunan berkelanjutan melalui pengenalan konsep pemberdayaan holistik berbasis pengetahuan lokal.
Tujuannya untuk memperkuat secara holistik masyarakat adat Dayak di pedalaman Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat di Indonesia. Orang Dayak memiliki akses terbatas untuk pembangunan, artinya mereka memiliki sedikit akses ke layanan publik seperti pendidikan, perawatan kesehatan, listrik, transportasi dan lembaga keuangan, atau sumber daya alam yang merupakan dasar mata pencaharian mereka. Situasi hidup mereka dibentuk oleh ketidaksetaraan.
Korporasi yang telah memperoleh izin pemanfaatan hutan, perkebunan industri dan perkebunan monokultur besar telah beroperasi di kawasan Dayak di Kabupaten Ketapang sejak awal tahun 1970-an. Atas nama pembangunan, perusahaan-perusahaan ini telah mengeksploitasi tanah, hutan dan mata pencaharian orang Dayak dan mengalihkan keuntungannya ke luar.
Eksploitasi besar-besaran tidak mengarah pada kemakmuran, tetapi pada ketidakadilan dan kemiskinan bagi masyarakat adat Dayak, serta kerusakan ekologis dan degradasi tradisi, adat dan budaya mereka. Data Dinas Kabupaten Perkebunan Kalimantan Barat (2009) mencatat Ketapang memiliki kebun sawit terluas di Kalimantan Barat dibandingkan dengan 9 kabupaten lainnya, dengan luas 1,1 juta hektar.
PENGALAMAN: KEKUATAN BUDAYA KERJA SAMA
Institut Dayakologi (ID) yang bekerja langsung di masyarakat akar rumput menanggapi keadaan tersebut dengan mencari solusi berdasarkan kearifan lokal. Dengan menggunakan semangat solidaritas dan menentukan nasib sendiri yang telah lama tumbuh di masyarakat Dayak dan menjadi kekuatan strategi budaya pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui Credit Union Gerakan.
Ini satu-satunya cara yang benar. Mengapa? Pasalnya, Credit Union Gerakan (CUG) merupakan konsep pemberdayaan ekonomi yang bertumpu pada kerjasama, penentuan nasib sendiri dan pendidikan yang berorientasi pada perubahan fisik dan moral. ID telah memulai gerakan pemberdayaan yang holistik dan terintegrasi.
Agar tidak berisiko menjadi institusi yang berorientasi bisnis, CU berpijak pada filosofi petani Dayak, yang menurutnya mereka mengelola pertaniannya untuk memenuhi empat kebutuhan dasar: (1) makan dan minum (kebutuhan hidup), (2) menanam dan menyimpan benih (kebutuhan keberlanjutan), (3) solidaritas sosial (kebutuhan sosial) dan (4) Ritual – Spiritualitas (kebutuhan spiritual). Konsep ini diinisiasi oleh AR. Mecer – seorang tokoh Dayak dari Kalimantan.