Budaya Damai Orang Dayak dan Tantangannya

3.315 Views

Oleh: R. Giring 

Oleh: R. Giring (Aktif di Institut Dayakologi & Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih)

Dengan mengambil contoh dari pengalaman dan tradisi Dayak Kanayatn Kalbar, tulisan sederhana ini tak bermaksud menggeneralisir kebudayaan Dayak di seluruh Kalimantan maupun Borneo. Premis tulisan ini ialah bahwa potensi perdamaian itu selalu ada di dalam setiap  masyarakat dari suku mana pun, seperti halnya potensi konflik.

Setelah konflik kekerasan kolektif di Kalbar pada 1996/1997 Dan 1999, banyak pihak peduli dan bergiat untuk tujuan perdamaian dan rekonsiliasi. Sedikit di antaranya memilih topik yang menghimpun, menggerakkan nilai-nilai dan praktik perdamaian di komunitas.

Kebanyakan di antaranya justru memilih untuk mengkaji konfliknya semata. Saya tak heran, karena sejak awal, para peneliti dan penulis lebih peduli dengan praktik  kekerasan orang Dayak.

Mereka menulisnya (seringkali)  dengan kesan dilebih-lebihkan). Lihatlah kajian awal tentang kebudayaan Dayak Borneo. Para penulis dan peneliti lebih  menyoroti kisah praktik (tradisi) mengayau di antara komunitas Dayak.

Bisa dikatakan, mereka masuk dalam “jebakan konflik” itu sendiri. Bagi saya, hal itu pula yang membentuk citra tentang daerah ini sebagai daerah (rawan) konflik.

Framing demikian juga menyebabkan  mengapa di kesempatan menjelang Pilkada, misalnya, saya kerap ditanya peneliti luar dan wartawan perihal topik Kalbar rawan konflik. Balik ke uraian awal.

Ambil contoh beberapa di sini. Yang menelitin pengayauan dalam budaya orang Iban Kapus Hulu  (Davidson & Vinsen H.Sutlive, Jr., 1991; van Hulten, 1992), pengayauan dalam budaya orang Maloh Kalbar (King, 1988), Iban di Sarawak (Hose & McDougall, 1912 dalam Sullivan & Sutlive, 1991), Kayan & Kenyah di Kalteng (Hose & McDougall, 1991 dalam Sullivan & Sutlive, 1991), Iban di Kalteng (Vayda, 1962; Morgan, 1968), Dayak Ngaju Kaltim (Schiller, 1997), pengayauan di kalangan Dayak Meratus (Tsing, 1993), di Dayak Tring & Sibau Modang di Kaltim (Bock,1985). 

Giring (2006) dalam “Jai Agi’ Talino, Kasu’ Layo Ja’ Nimangkat Uman: Refleksi Budaya Damai Orang Dayak”, mengatakan, fokus yg terlalu banyak pada masalah penyebab konflik & mengesampingkan aspek nilai & praktik perdamaiannya menambah kesimpangsiuran persepsi & pemahaman. Bahkan bisa membuat jalan rekonsiliasi semakin berlika-liku & panjang prosesnya. Juga turut mempengaruhi kegamangan & kelambanan pihak pengambil keputusan untuk menindaklanjuti upaya-upaya solusi konflik yang telah dimulai sebelumnya. 

Di masyarakat Dayak, budaya damai (potensi perdamaiannya) berakar pada nilai-nilai luhur budayanya. Ini menjiwai sikap dan perilaku mereka selaku penyandang kebudayaannya. Modal kultural dan sosial yg dapat ditransformasikan untuk jalan perdamaian dan pengembangan peradaban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

BUDAYA DAMAI ITU

Tidak ingin menafikkan yang lain-lainnya, adat istiadat dan tradisi adalah bagian penting dari suatu kebudayaan. Di antara yang dapat dibahas di sini hanyalah sebatas contoh saja.

1. Tradisi Notokng

Ritual Notokng mencerminkan kesadaran introspektif keluarga keturunan pelaku ngayau dan semua penghuni kampung tersebut atas kesadaaran tindakan memenggal kepala musuh yang notabene adalah sesama manusia. Untuk “muakng sangar” keadaan batin dan perbuatan yang kotor sekali”, notokng dilakukan hingga 7 keturunan. Notokng untuk membersihkan semua warga se kampung & bumi tempat tinggal pelaku & warga dari keadaan batin & perbuatan yang kotor sekali tadi. Bila tidak, maka dalam sistem kepercayaan mereka meyakini bahwa arwah yang mati tadi itu akan menjadi pengganggu seluruh penghuni kampung/komunitas. Selain keresahan, tak tenang, juga kematian bisa dialami terus-menerus oleh semua warga kampung/komunitas. 

Adat notokng berkontribusi juga terhadap ditinggalkannya praktik  tradisi bakayo / mengayau itu sendiri, terutama di kalangan Dayak Kanayatn.

2. Prinsip Nyawa Tak Bisa Diganti Nyawa

Adat pati nyawa dalam sosial budaya hukum  Dayak Kanayatn (baca Miden Sood,1999) menurut saya menunjukkan jalan solusi konflik yg unik; cara berdamai yg khas. Hukum adat pati nyawa yang ditetapkan, misalnya bernilai 24 tahil panca’ basibat (sekarang tentu sudah berubah). Di sini, kepala pembayar dikonversi dengan jampa…dan materi budaya lainnya sebagai lambang pengganti 30 organ tubuh hingga telapak kaki. 

Peran Institusi Adat menjadi Media Solusi Konflik

Menjelang proses hukum adat pati nyawa, wajib hukumnya terlebih dulu dilaksanakan adat pamabakng sebagai pencegahan luapan emosi ahli waris /pihak keluarga (kelompok) yang bertikai. Pamabakng ditempatkan di halaman rumah pihak keluarga duka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *