MENELITI PUTUSAN ADAT PATI NYAWA DAYAK HIBUN, MONA RAIH GELAR DOKTOR

2.090 Views

Penulis: R. Giring | Foto: Mona | Editor: R. Giring & Kriss Gunui’.

Satu di antara hanya sedikit perempuan Dayak yang doktor di lingkungan ASN Pemerintah Daerah di seluruh wilayah di Kalimantan ini adalah Marina Rona. Mona, begitu sapaan akrabnya ini meraih pencapaian akademis tertinggi yang menghantarkannya masuk dalam daftar sebagai Doktor (Dr.) bidang Ilmu Hukum ke-428 dari Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. 

Tampilkan Pos

Kepala Bagian Hukum Setda Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat ini berhasil mempertahankan hasil penelitiannya di hadapan sidang para penguji disertasinya dengan Predikat Cum Laude (Pujian) pada 10 Februari 2020 lalu. Dalam menulis disertasi setebal 340 halaman termasuk daftar pustaka dan lampirannya itu, ibu dari tiga anak ini meneliti legitimasi dan independensi putusan adat Pati Nyawa dalam perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia pada masyarakat adat Dayak Hibun. 

Dayak Hibun, menurut Sujarni Alloy, dkk., (2008:130) seperti dituliskan dalam buku “Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat”, termasuk sub-suku Dayak dengan varian bahasa Bidayuhik.  Dalam buku “Gambaran Umum tentang Masyarakt Hukum Adat Dayak Hibun”, Marina Rona (2021:45) menyatakan bahwa persebaran Dayak Hibun terdapat di 95 kampung pada 5 wilayah kecamatan di Kabupaten Sanggau yakni Parindu, Tayan Hulu, Tayan Hilir, Bonti dan Kembayan. 

Tekadnya untuk belajar ilmu hukum hingga ke jenjang pendidikan S3 memang telah terbentuk sejak lama dan memiliki dasar yang kuat. Dia mengaku bahwa cita-citanya untuk menimba ilmu pengetahuan hingga ke jenjang sekolah formal tertinggi sudah ada sejak lama sekali. 

“Cita-citaku sejak kecil sebagai orang Dayak dari kampung ingin meraih pendidikan tertinggi guna meneliti dan mengangkat hukum adat Dayak,”tulisnya melalui pesan WhatssApp kepada penulis, pada akhir Maret 2021. 

Seperti gayung bersambut, cita-citanya itu berpadu dengan Visi Sanggau Pintar. Pemda Sanggau menyediakan beasiswa APBD untuk pendidikan, termasuk untuk jenjang doktoral. “Saya mengikuti kompetisi untuk memperoleh peluang program beasiswa Pemda Kabupaten Sanggau. Tahun 2016/2017, Pemda Kabupaten Sanggau mengirim 7 orang, meliputi 4 ASN dan 3 Non ASN untuk mengikuti pendidikan doktoral dan puji Tuhan, saya yang pertama selesai duluan,”ujar Mama Inoi Ritih ini. 

Baginya peluang tersebut adalah tantangan sehingga pada saat itu juga dia mencari-cari informasi di berbagai kampus di sejumlah kota hingga ia memilih Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.

Semangat Reformasi 

Otonomi daerah lahir dan bergulir kencang setelah reformasi berdarah Mei pada tahun 1998. Di kala Soeharto lengser ke prabon, Indonesia memasuki era transisi demokrasi di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie selama kurang lebih 1 tahun setengah. 

Semangat reformasi semakin tumbuh besar, menyebar cepat di seluruh daerah. Ini memberikan konteks bagi gerakan masyarakat adat dan masyarakat sipil di Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat. Demokratisasi sipil dan keterbukaan informasi hingga di pemerintah lokal menjadi momentum untuk mengembalikan otonomi daerah yang dimulai dari kampung. 

Dinamika tersebut tak luput dari pengalaman dirampasnya kedaulatan rakyat sejak UU Pemerintahan Desa Nomor 5 Tahun 1979 diberlakukan. Proses regrouping desa pada awal 1980 an itu berlangsung secara top down. Nama desa-desa di Kalimantan Barat diganti dengan nama asing tanpa partisipasi warga, seperti Desa Suka Maju, Desa Pasti Jaya, Desa Suka Bangun, Desa Maju Karya, dan lain-lain. Menghadapi dominasi sosial, budaya, politik dan ekonomi demikian, masyarakat adat semakin terpinggirkan. 

Di kala menguatnya semangat reformasi dan tuntutan otonomi daerah itu Mona banyak menimba pengalaman empirisnya tatkala ia bergabung di Pancur Kasih tahun 2000 hingga beberapa tahun kemudian.

Anak bungsu dari enam bersaudara ini terus menghidupkan ketertarikannya pada isu pluralisme hukum, adat istiadat dan budaya lokal. Pengalaman ditugaskan ke lapangan memberinya kesempatan tinggal dan belajar bersama komunitas. Pendiri Siswa Pencinta Alam (SISPALA) CAMAR di SMA Negeri 1 Singkawang ini—pada saat aktif di Pancur Kasih turut dalam proses pemetaan partisipatif wilayah adat Menua Sungai Utik, Desa Jalai Lintang, Ketemenggungan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu. Itulah beberapa pengalaman yang turut membentuk minat anggota pendiri Perkumpulan HuMa ini tentang hukum adat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *