Cengkraman PT. Mayawana Persada di Wilayah Masyarakat Adat Dayak Kualatn Masih Berlanjutan: Situasi Terkini

155 Views

Penulis: Emi |Foto: Iten/Sekretariat Wkb | Editor: Tim Redaksi & Giring

Pontianak, KR—Tanggal 28 November 2024, bencana ekologis banjir kembali melanda wilayah Desa Kualan Hilir dan Desa Sekucing Kualan, Kecamatan Simpang Hulu Kab. Ketapang, Kalimantan Barat, yang meliputi Dusun Sabar Bubu, Dusun Lelayang dan Dusun Selimbung. Di saat yang sama, banjir juga melanda daerah Kecamatan Simpang Dua.

Baca juga: https://kalimantanreview.com/orang-simpakng-kabarmu-sekarang/

Menurut keterangan warga, banjir lebih parah dari biasanya. Apalagi hampir seminggu pemukiman warga dan lahan pertanian warga seperti ladang yang selama ini menjadi sumber pangan terendam banjir. Kuat dugaan bahwa bencana banjir tersebut akibat pembukaan hutan dan lahan yang masif yang dilakukan pihak perusahaan perkebunan kayu PT. Mayawana Persada selama ini.

Koalisi Masyarakat Sipil (Desember 2023) mencatat, sepanjang tahun 2016-2022 seluas 35 ribu hektar deforestasi yang dilakukan pihak perusahaan di wilayah 14 desa pada 5 kecamatan di Kab. Ketapang dan Kayong Utara. Selain dilanda banjir, hak-hak warga atas sumber daya lahannya yang selama ini menjadi sumber penghidupannya direnggut perusahaan. Di antara warga korban terdapat perempuan pejuang lingkungan hidup di daerah itu, Paulina Linti, misalnya.

Tim WALHI Kalimantan Barat sempat menemui Paulina Linti. Ia mengaku pihak perusahaan telah menggusur lahan miliknya pada 15 Agustus 2024. Kala itu Ibu Linti dan suaminya sedang berada di lokasi karena sedang memanen ubi kayu. Mereka langsung meminta petugas agar menghentikan penggusuran karena lahan tersebut tidak mereka serahkan kepada perusahaan.

“Tapi, pada tanggal 22 Agustus 2024, sejumlah alat berat kembali menggusur tanah kami saya berdebat dengan petugas alat berat,” ujar Ibu Linti. Ia tetap bersikukuh melarang penggusuran karena tidak pernah menyerahkannya ke pihak perusahaan. Namun petugas alat berat mengatakan padanya bahwa ia hanya melaksanakan perintah dari perusahaan.

Oknum Polisi Mem-back up Perusahaan

Meski aktivitas penggusuran sempat terhenti. Namun tidak lama kemudian petugas yang menjadi operator alat berat itu kembali ke lokasi itu bersama dengan beberapa orang yang berseragam polisi lengkap dengan senjata mengendarai 5 buah sepeda motor. Lantaran takut, Ibu Linti dan suaminya pergi meninggalkan lahannya. Tetapi dia sempat memberikan peringatan agar pihak perusahaan tidak lagi menggusur lahannya.

“Ini bawas bukan hutan rimba, pohon karet itu buktinya. Kami menuntut ganti kerugian atas tanam tumbuh kami yang sudah kalian gusur, tolong sampaikan kepada pemilik perusahaan,” tegas perempuan dari Dusun Lelayang ini.

Pengalaman miris warga Lelayang tersebut disampaikan pada acara Media Briefing Walhi Kalbar, Rabu (4/12/2024) yang dihadiri jejaring Walhi Kalbar dan sejumlah awak media. Perempuan Dusun Lelayang lainnya, yakni Marta Linda juga mengalami situasi yang sama. Ia melarang pihak perusahaan menggusur lahan mereka. Dua perempuan tersebut bersama warga lainnya dihadapkan pada ketidakadilan tanpa ada penyelesaian atas penggusuran paksa oleh pihak perusahaan.

Baca juga: https://kalimantanreview.com/orang-simpakng-terjepit-tambang-hti-perkebunan-kelapa-sawit-dan-kawasan-hutan-negara/2/

Ibu Marta Linda juga mengisahkan. Semula petugas alat berat berhenti dan meninggalkan lahannya sekitar Juli 2024 sore. Namun pada malam hari, alat berat kembali dibawa ke lahan miliknya dan melanjutkan aktivitas penggusuran lahan yang telah ditanami karet produktif dan telah ditumbuhi bermacam-macam pohon buah-buahan seperti rambutan, cempedak, durian dan petai.

Kini, lahan dan tanam tumbuh di atasnya sudah tidak bersisa, karet yang menjadi penghasilan untuk mencukupi kebutuhan keluarga sudah tidak bisa disadap lagi. Padi ladang ladang yang dulu berlimpah, bisa mencukup kebutuhan keluarga satu tahun sekarang tidak mencukupi lagi karena ladan semakin sempit.

“Orang Mayawana Persada tidak punya aturan, kalau mereka punya aturan mereka tidak akan berani menggusur tanah dan bawas warga secara paksa. Mereka tidak pernah datang bertanya siapa pemilik lahan, mereka mencuri, menggusur lahan kami tanpa pemberitahuan,” urai Marta Linda kesal.

Dua perempuan di atas sekadar contoh dari puluhan warga lainnya di Lelayang yang mengalami situasi yang sama. Mereka mendambakan keadilan. Penggusuran lahan warga oleh pihak perusahaan juga telah menyebabkan semakin menyempitnya lahan untuk berladang. Di satu sisi, warga di wilayah Kecamatan Simpang Hulu dan Simpang Dua juga menghadapi ancaman intimidasi dan upaya kriminalisasi.

Baca juga: https://kalimantanreview.com/peluang-hukum-penetapan-masyarakat-adat-kabupaten-ketapang-semakin-dekat/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *