ORANG SIMPAKNG TERJEPIT TAMBANG, HTI, PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DAN KAWASAN HUTAN NEGARA


Acun dan Mario tidak sendirian. Konflik tanah, konflik tenurial atau konflik penguasaan sumber daya alam dengan pihak korporasi di wilayah adatnya juga dialami warga lainnya.
Pateh Desa Kualan Hilir, Yohanes Heng mengungkapkan bahwa perusahaan perkebunan kelapa sawit, HTI, dan tambang telah masuk dan beraktivitas di wilayah Kualan Hilir dan menimbulkan sengketa.
MENCEGAH DAN MENGURANGI SENGKETA
Dua saran disampaikan Direktur Eksekutif Institut Dayakologi, Krissusandi Gunui’ ketika merespon pertanyaan terkait persoalan konflik tanah yang sedang dihadapi peseta Seminar Adat. Gunui’ yang menjadi narasumber Seminar Adat tersebut mengatakan bahwa, konflik tanah yang dihadapi masyarakat adat Dayak Simpakng di wilayah Kecamatan Simpang Hulu mesti segera dicari solusinya.
“Pendekatan untuk mencegah dan mengurangi konflik tanah, salah satunya dengan memaksimalkan peluang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Tujuan ditetapkannya Perda Kab. Ketapang Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat untuk mencegah dan mengurangi konflik tanah atau konflik tenurial di wilayah adat. Ini adalah amanat konstitusi. Amanat UUD 1945, Pasal 18B Ayat 1, “ urai Gunui’.
“Pendekatan mitigasi konflik tak lain adalah bahwa masyarakat adat harus memelihara, mempertahankan dan tidak menyerahkan sisa-sisa wilayah adat dan hutan di wilayah adat kalian kepada pihak investor. Kenapa? Karena itulah sisa-sisa wilayah adat dan hutan adat kalian, yang hakikatnya adalah simbol dari harkat dan martabat serta kedaulatan kalian sebagai masyarakat adat,” jelas Gunui’, putera Dayak dari rumpun Ibanik ini.
AMANAT PERDA NOMOR 8 TAHUN 2020
Dalam Seminar Adat tersebut Direktur Eksekutif Institut Dayakologi dan timnya juga memberikan penjelasan mengenai peluang legal formal pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di wilayah Kabupaten Ketapang.
Sebagian besar peserta yang belum mengetahui adanya regulasi daerah tersebut antusias mendengar penjelasan dan sharing dari tim Institut Dayakologi yang berpengalaman mendampingi masyarakat adat dalam melakukan proses faktual dan advokasi legal formal pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat serta hutan adat.
“Proses panjang yang tidak selalu mudah harus ditempuh terlebih untuk menjalankan amanat regulasi daerah. Terpenting adalah persatuan di masyarakat adat sendiri untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaannya di dalam wilayah adat yang dibuktikan dengan peta partisipatif. Sedangkan syarat administrasi tinggal menyesuaikan standar dan ketentuan yang tersedia,” imbuh Gunui’. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa secara internal, masyarakat adat Dayak Simpakng harus memberikan pengakuan dan perlindungan diri atas keberadaannya sebagai masyarakat adat, yang memiliki wilayah adat, sejarah asal usul, budaya benda maupun tak benda.***