ORANG SIMPAKNG TERJEPIT TAMBANG, HTI, PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DAN KAWASAN HUTAN NEGARA
Penulis: Manuk Kitow & R. Giring | Foto: Nanda | Editor: R. Giring & Kriss Gunui’
Balai Semandang, Kec. Simpang Hulu, KR—Orang Simpakng semakin terjepit. Orang Simpakng di Desa Kualan Hilir menghadapi masalah penggusuran lahannya, bawas, kebun karet hingga lahan sawah karena aktivitas perusahaan di wilayah mereka.
Sementara itu, Orang Simpakng di Desa Botuh Bosi juga menghadapi masalah yang sama. Di wilayah Botuh Bosi, beroperasi tiga perusahaan kelapa sawit dan satu unit pertambangan. Sedangkan Orang Simpakng di Desa Semandang Kiri terpaksa mengalami dampak kerusakan sumber air mereka, termasuk ancaman penggusuran keramat adatnya di tepi sungai lantaran aktivitas penambangan.
Konflik tanah atau konflik penguasaan sumber daya alam tersebut adalah beberapa di antara banyak persoalan yang diungkap peserta Seminar Adat yang dihadiri para tokoh adat dan perwakilan 15 pemerintah desa di wilayah Kecamatan Simpang Hulu, Sabtu (2 Juli 2022) lalu yang bertempat di Rumat Betang Raya, Semandang Kiri, Kec. Simpang Hulu, Kab. Ketapang.
Mario, salah satu peserta yang berasal dari Botuh Bosi mengatakan jika wilayah adat Dayak Simpakng semakin terjepit. Dia mengatakan bahwa di Botuh Bosi saat ini sedang beraktivitas empat unit perusahaan.
“Di Desa Botuh Bosi sekarang ada kegiatan empat perusahaan. Tiga perusahaan perkebunan kelapa sawit dan satu perusahaan mengusahakan tambang bauksit. Wilayah adat kami Orang Simpakng Botuh Bosi kini semakin terjepit,” tutur Mario.
Pengalaman masyarakat adat Dayak Simpakng di Desa Legong lain lagi. Mereka harus berhadapan dengan status kawasan hutan Negara karena lahan yang berjarak hanya beberapa meter dari area pemukimannya masuk dalam kawasan hutan Negara yaitu hutan produksi.
Status kawasan hutan Negara tersebut menghambat warga Legong upaya mendapatkan Surat Keterangan Tanah (SKT) mereka. Kepala Desa Legong, Acun menjelaskan bahwa dia bersama warganya tidak bisa mengurus SKT atas tanah yang mereka kelola dari generasi ke generasi karena status tanah tersebut masuk kawasan hutan Negara.
“Sudah turun-temurun kami menggarap lahan di sekitar pemukiman kami. Tapi kami tidak punya hak mendapatkan SKT untuk lahan yang sudah lama kami kelola karena statusnya masuk kawasan hutan Negara yaitu hutan produksi. Padahal jarak lahan itu dari pemukiman kami hanya beberapa meter saja,” ungkapnya kesal.
Acun juga menambahkan bahwa pihaknya telah memperoleh penjelasan dari pemerintah kecamatan yang mengatakan bahwa status tanah yang telah mereka garap turun-temurun tersebut masuk kawasan hutan Negara yaitu hutan produksi.