BENCANA TERENCANA Potret PSDA Kalimantan 2012
“Pertambangan dan perkebunan kelapa sawit menjadi kontributor terbesar terhadap terjadinya bencana ekologis di Kalimantan.”
Penulis: R. Giring, H. Adam, Tim KR | Foto: Tim KR | Editor: R. Giring & Kriss Gunui
Pulau Kalimantan sedang mengalami kerentanan yang luar biasa karena sudah mengalami proses eksploitasi alam yang masif. Alhasil, bencana ekologis sering terjadi. Anehnya, Pemerintah justru memilih Kalimantan sebagai daerah sasaran untuk usaha pertambangan, kelapa sawit, migas dan sektor perkayuan. Hutan dan kekayaan sumber daya alam Kalimantan terus menerus dieksploitasi. Perkebunan kelapa sawit, logging, hutan tanaman dan pertambangan skala besar baik nasional maupun multinasional. JATAM (2012) memperkirakan ijin tambang di Kalimantan seluas 3,7 juta Ha, sedangkan Sawit Watch (2012) mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit 11,5 juta Ha.
WALHI, dalam “Environmental Outlook “ (2013) menyatakan bahwa sektor pertambangan dan perkebunan kelapa sawit menjadi kontributor terbesar terhadap terjadinya bencana ekologis di Kalimantan. Sepanjang tahun 2012, banjir, kebakaran hutan dan lahan telah menyebabkan hilangnya sumber penghidupan dan konflik-konflik sosial di beberapa wilayah di seluruh Kalimantan. Kualitas dan kelestarian lingkungan hidup semakin langka. Kalimantan sebagai negeri seribu sungai semakin sulit menjanjikan kesediaan air yang layak konsumsi. Hak-hak Masyarakat Adat dan petani dirampas secara sistematis.
Dinas Pertambangan dan Perkebunan Provinsi KALBAR (2011) menyatakan total ijin tambang diberikan kepada 626 perusahaan yang terdiri dari 436 IUP masih berstatus eksplorasi dan 190 IUP berstatus operasi produksi. Ijin yang dikeluarkan oleh Provinsi ada 39 ijin di mana 32 IUP berstatus eksplorasi dan 7 IUP berstatus operasi produksi. Data tersebut menunjukkan tingginya risiko ancaman degradasi lahan dan deforestasi hutan yang akan berakibat pada bencana ekologis berupa banjir. Pembabatan kawasan berhutan dan lahan bergambut untuk tambang menghilangkan kemampuan kawasan tersebut dalam menyerap air hujan sehingga potensi banjir dapat terjadi menyusul bencana berupa krisis air bersih. Risiko bencana ekologis diperparah oleh adanya tumpang tindih Kawasan Hutan karena dikonversi untuk ijin usaha pertambangan seluas 999.715 Ha Kawasan Hutan yang meliputi TWA, CA, HL, HP, HPK, HPT, dan TN dan telah dikonversi untuk ijin usaha pertambangan yang dikuasai oleh 773 perusahaan. Sementara itu, fungsi kawasan hutan yang dikonversi untuk perkebunan mencapai 271.976 Ha yang dikuasai oleh 386 perusahaan (Potret Hutan Provinsi Kalimantan Barat, 2011).
Data potensi banjir dan longsor di Pulau Kalimantan pada tahun 2012 menyebutkan bahwa luas total Pulau Kalimantan yang berpotensi rawan banjir adalah sebesar 23.615.491 Ha (44,14% dari luas total Pulau Kalimantan), sedangkan daerah yang berpotensi rawan longsor adalah seluas 17.549.312 Ha (32,80% dari luas total Pulau Kalimantan) yang tersebar hampir di seluruh wilayah Pulau Kalimantan. Kalbar menempati urutan pertama zona rawan banjir dengan total kawasan 8.053.216 Ha, disusul Kalteng 7.909.015 Ha, Kaltim 5.212.192 Ha, dan Kalsel. Sedangkan untuk zona rawan longsor tertinggi adalah Kaltim dengan total kawasan 7.747.341 Ha, disusul Kalbar 5.156.884 Ha, Kalteng 3.602.012 Ha, dan Kalsel.
Pada awal Desember 2012, beberapa titik di Kota Putussibau (Kalbar) dilanda banjir sehingga menghambat akses jalan dalam Kota Putussibau. Sejumlah fasilitas umum terendam, pemukiman penduduk terendam rata-rata sekitar setengah meter (Equator, 6/12/12). Akhir 2012, banjir turut melanda Kota Nanga Pinoh, Melawi (Kalbar) khususnya pemukiman penduduk di sekitar Sungai Melawi. Pasar di Kec. Menukung, Melawi dilaporan tenggelam sehingga aktivitas jual-beli hanya dapat dilakukan dengan perahu. Harga barang kebutuhan sehari-hari naik drastis. Banjir di Hulu Sungai Tengah, Kalsel pada Mei 2012, dilaporkan sangat berdampak buruk bagi Masyarakat Adat. Kepala Dinas Kehutanan Kalsel, Rachmadi Kurdi mengatakan, “banjir tersebut merupakan dampak dari rusaknya hutan di pegunungan Meratus. Penggundulan hutan membuat lahan kritis semakin luas dan mengurangi daerah resapan air. Bencana jelas terjadi karena penggundulan hutan, HST Banjir akibat tangkapan air di kabupaten lain buruk.”
Banjir di Kalteng dikabarkan meluas dan merupakan terparah 10 Tahun terakhir. Banjir di Kalteng kali ini sudah pada tahap menghawatirkan. Terutama banjir Sungai Barito yang sekarang sedang parah-parahnya di Kabupaten Barito Utara
Sebanyak 11 sungai besar yang mengalir dari Utara ke Selatan di provinsi itu terdapat dua sungai kini sedang meluap tinggi. Banjir terparah adalah meluapnya Sungai Barito. Banjir itu menenggelamkan rumah warga yang bermukim di bantaran sungai dan meluas hingga menenggelamkan kawasan padat penduduk di Kota Muara Teweh, ibukota Kabupaten Barito Utara (Beritasatu.com 10/12/12).
Kabut asap di Kalbar memperparah bencana ekologis akibat ulah manusia. Balai Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Kalbar mencatat bahwa titik hotspot kebakaran pada Januari-Oktober 2012 tertinggi sejumlah 1757 titik di Kab. Ketapang, disusul di Kab. Sanggau sejumlah 185 hotspot dan di 819 hotspot di Kab. Sintang.
Walhi Kalbar, per 31 Juli 2012 turut merilis titik api (hotspot) yang terjadi di Kalbar sebanyak 61 titik. Sebanyak 34 titik api diantaranya berdasarkan analisis terdapat di 31 konsesi usaha perkebunan besar di sembilan kabupaten yakni Bengkayang (2 perusahaan), Landak (5 perusahaan), Sanggau (4 perusahaan), Sekadau (1 perusahaan), Sintang (9 perusahaan), Ketapang (2 perusahaan), Kubu Raya (5 perusahaan), Kapuas Hulu (2 perusahaan) dan Kayong Utara (3 perusahaan). Bencana kabut asap akibat pembersihan lahan oleh perusahaan kelapa sawit tampaknya beralasan karena di wilayah sebaran titik api itulah terdapat aktivitas perusahaan kelapa sawit. Data Walhi (Juni 2011) menyatakan, dari 352 perusahaan di seluruh Kalbar, 3 terbesar dan terluas terletak di Ketapang 77 perusahaan (938,793 Ha), Landak 48 perusahaan (490,580.35 HA) dan Sanggau 37 perusahaan (252,192.35 Ha). Tingginya konversi lahan/kawasan adalah akar persoalannya. Dari total luas perkebunan kelapa sawit 3,576,976,95 Ha pada Juni 2011, yakni 3,576,976,95 Ha, ternyata mengalami pertambahan yang signifikan sehingga menjadi 4.170.606,64 Ha pada Desember 2011. Jadi, pihak perusahaan memiliki andil dalam bencana ekologis berupa kabut asap tadi. Ini belum ditambah dengan rusaknya kawasan hutan akibat dikonversi untuk pertambangan dan perkebunan.
Penyusutan fungsi kawasan hutan karena dikonversikan menjadi areal pertambangan untuk 773 perusahaan dengan total luas 999.715 Ha mau tak mau harus diakui dapat menimbulkan bencana banjir akibat menurunnya fungsi penyerapan air kawasan tersebut. Ancaman banjir dan bencana kabut asap diperparah oleh semakin berkurangnya hutan dan menurunnya daya dukung kawasan hutan akibat dikonversikan dan di-land clearing untuk perkebunan yang dimiliki 386 perusahaan dengan total luas 271.976 Ha (Sumber: Data diolah dari “Potret Hutan Provinsi Kalbar”, 2011).
Perusak Lingkungan
WALHI (2012) menemukan bahwa aktor perusak lingkungan di negeri ini tertinggi adalah sektor perusahaan terutama sektor tambang dan perkebunan (39,4%), disusul kombinasi perusahaan dan pemerintah (28,6%), dan sektor pemerintah (11,3%). Abetnego Tarigan (Direktur Eknas Walhi) mengatakan, temuan-temuan tersebut justeru semakin memperkuat masyarakat sipil untuk terus mendesak tanggung-jawab korporasi/perusahaan terhadap kejahatan lingkungan yang dilakukannya. Kondisi demikian juga memperkuat analisis tentang keterkaitan antara pemilik modal dalam kekuasaan alias tali-temali ekonomi-politik kekuasaan.
Apa Kata
Men LH & Kepala BLHD Kalbar
Tentang bencana ekologis di Kalbar, berikut petikan wawancara Majalah KR dengan Kepala BLHD Kalbar, Dr. Ir. Darmawan, M.Sc ketika ditemui di ruangan kerjanya pada tanggal 7/2/2013.
KR: Menurut Anda, apa akar permasalahan bencana ekologis di Kalbar?
D: Persoalan lingkungan hidup bukan seperti kita mencubit kulit, yang seketika itu pula terasa sakitnya. Tetapi ini mengenai apa yang terjadi 20-30 tahun lalu (misalnya logging dan seterusnya), maka dampaknya dirasakan sekarang. Fenomena banjir sering berulang, dan siklus yang 10 hingga 30 tahunan yang berbahaya sehingga perlu kita antisipasi. Terkait dengan pembakaran lahan, pihak ketiga yang diduga melakukan pembakaran selalu berdalih, faktanya land clearing disubkontrakkan. Dengan UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, mereka bias dijerat di pengadilan. Kami pernah memperkarakan PT. WSP-PT. BCP atas kebakaran lahan yang terjadi di lokasi kebunnya, tetapi kita saat itu kalah. BLHD juga sudah punya penyidik (PPNS), yang dapat memasukkan pelaku pelanggaran ke pengadilan bila terbukti melakukan pelanggaran sesuai data yang dimiliki.
KR: Apakah yang salah dalam fenomena bencana ekologis tersebut?
D: Jadi tidak ada yang salah dengan kebijakan maupun peraturan, semua benar. Yang salah selama ini dalam hal pertumbuhan dipenanamannya. Misalnya, selama ini menebang terus, tetapi tidak ditanam kembali. Nah, itu bukan salah regulasinya.
KR: Apa tindakan BLHD Kalbar terhadap bencana dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha?
D: Yang bisa dilakukan BLHD sejauh ini menindaklanjuti pengaduan dari masyarakat yang merasa dirugikan, makanya kita membuka Posko Pengaduan. Ada kendala yang terkait dengan luas wilayah, rentang kendali dan keterbatasan sumber daya. Kita utamakan pembinaan dululah. Terkait dengan perizinan usaha, kita mencoba menekankan agar aturan-aturan yang dipersyaratkan ditaati sebaik-baiknya. Kalau mau dihukum bisa saja semuanya kena, tetapi kita tidak ingin menimbulkan iklim yang tidak baik yang jutru dapat menimbulkan kondisi yang tidak diharapkan dalam iklim investasi. Tugas kita semua (BLHD- Red.), setiap investasi yang masuk mesti bisa memastikan ada manfaat yang didapat masyarakat dari apa yang dilakukan.
Selanjutnya, berikut petikan wawancara Majalah KR via e-mail dengan Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA tentang topic seputar bencana ekologis di Kalimantan.
KR: Menurut Anda, ancaman bencana ekologi seperti apa yang dikhawatirkan terjadi di masa-masa mendatang di Kalimantan?
MenLH: Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua jenis bencana yaitu bencana alam dan bencana karena ulah manusia. Saat ini baru disadari bahwa bencana yang terjadi karena adanya perubahan iklim yang cenderung berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan, baik lokal, regional maupun global. Untuk wilayah Kalimantan pada bulan Februari 2013 masih terjadi hujan dengan intensitas menengah hingga sangat tinggi di kisaran 300-500 mm dengan sifat hujan normal hingga diatas normal di kisaran 80-200%, sehingga masih berpotensi terjadi longsor di daerah hulu dan banjir akibat luapan air sungai, khususnya di Kalimantan bagian tengah.
KR: Apa strategi PSDA yang cocok untuk ekologi Kalimantan?
MenLH: Dalam rangka memasukkan pertimbangan lingkungan pada perencanaan pengembangan wilayah, pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjalankan instrument Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) terhadap kebijakan, rencana dan program baik di tingkat pulau, provinsi, dan kabupaten. Kementerian Lingkungan Hidup melakukan koordinasi secara berkala dengan Pemerintah Provinsi di Kalimantan, dan para pemangku kepentingan lainnya, dalam menjalankan program perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana direncanakan dala Rencana Strategis (Renstra) KLH, termasuk pencegahan terjadinya bencana ekologi. Koordinasi dengan para pemangku kepentingan diantaranya dilakukan melalui Koordinasi Pengelolaan Ekoregion Kalimantan yang membahas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Pulau Kalimantan, memformulasikan program dan kegiatan yang tepat guna, mensinergikan program dan kegiatan antara KLH, dengan Instansi pengelola lingkungan hidup tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu juga meningkatkan koordinasi dalam menjalankan program yang telah direncanakan.
Kembali ke Reforma Agraria
Berdasarkan paparan di atas, maka dapat pola pengelolaan SDA Kalimantan selama ini tidak dapat menjamin perlindungan dan keadilan serta kesejahteraan kepada Masyarakat Adat dan petani. Pemerintah Daerah dijanjikan pendapatan daerah yang besar, sedangkan Pemerintah Pusat berhadapan dengan persaingan global minyak sawit, dan para pemodal (asing maupun dalam negeri) termasuk BUMN lebih berpikir bagaimana investasi mereka aman dan lestari daripada memikirkan rakyat jelata yang sudah begitu banyak berkorban. Dari tanah-tanahnya sampai memberikan dirinya sebagai buruh murahan. Data-data tersebut menjelaskan betapa aspek-aspek perencanaan dalam hal ijin usaha seperti ini sangat berpengaruh pada bencana ekologis. Oleh karena itu, pemerintah, dan semua pihak harus konsisten dengan tujuan pembaharuan agraria seperti dimandatkan dalam TAP MPR Nomor: IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam harus segera diwujudkan. Tangan-tangan manusia rakus harus diberangus untuk mengurangi bencana-bencana ekologis tadi. Sanksi-sanksi hukum semestinya dapat dikenakan kepada perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran-pelanggaran seperti telah disebut di atas.***