PELUANG HUKUM PENETAPAN MASYARAKAT ADAT KABUPATEN KETAPANG SEMAKIN DEKAT
Oleh: Giring
(Koordinator Tim Penyusun Peta Jalan Percepatan Penetapan Hutan Adat Kalimantan Barat 2018 – 2022, Anggota Dewan Daerah WALHI Kalimantan Barat 2011 – 2015, Bergiat di Pancur Kasih)
Keterangan Foto: K. Ambab, tokoh pemuda masyarakat adat Dayak Kendawangan, Kampung Silat Hulu disaksikan Ketua AMA-JK, Direktur Institut Dayakologi, dan Direktur PPSDAK Pancur Kasih
menyerahkan dokumen profil geo-sosial-spasial kepada Irawan, Ketua PANSUS RAPERDA Masyarakat Hukum Adat Kab. Ketapang dalam acara hearing RAPERDA MHA Kab. Ketapang di Aula Gemalaq, Kampung Tanjung, Kec. Jelai Hulu, pada tanggal 16 Oktober 2020. Kredit foto: (CUGK).
Upaya masyarakat adat meraih penetapan pengakuan dan perlindungan dari Negara selama ini tidaklah gampang, penuh perjuangan meskipun konstitusi kita mengakui keberadaannya. UUD 1945, Pasal 18B ayat (2) menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Tanggal 11 Desember 2020 lalu, dua hari selepas Pilkada serentak, Bupati Ketapang, Martin Rantan menetapkan PERDA Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Ketapang. Sebelumnya, telah melalui serangkaian pertemuan dengan para pihak dan pembahasan demi pembahasan, akhirnya pada November 2020, DPRD Ketapang menyetujui PERDA inisiatif bupati tersebut. Tindakan politik hukum Pemerintah Kabupaten Ketapang itu semakin mendekatkan peluang hukum penetapan Masyarakat Hukum Adat di berbagai daerah Kab. Ketapang. Melalui PERDA Nomor 8 tahun 2020 tersebut, Pemerintah Kabupaten Ketapang tak menampik fakta sosio-antropologis tentang keberadaan Masyarakat Hukum Adat di wilayahnya. Namun demikian, momentum politik hukum ini harus dibuktikan dengan keseriusannya dengan menetapkan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat melalui SK Bupati. Untuk mewujudkan kepastian hukum yang berkeadilan dalam rangka memenuhi hak-hak konstitusional Masyarakat Hukum Adat itu, Bupati Ketapang mesti segera membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat yang dibentuk paling lama 1 tahun sejak PERDA tersebut diundangkan pada 11 Desember 2020.
SEKILAS GEO-SPASIAL KAB. KETAPANG
Kabupaten Ketapang terluas di Kalimantan Barat yaitu 3124.07 Ha atau sekitar 21,2% dari 14730.7 Ha total luas Kalbar. Di satu sisi, Kabupaten Ketapang memiliki areal hutan terluas kedua 1.135855 Ha setelah Kabupaten Kapuas Hulu seluas 2.636.785 Ha (Provinsi Kalimantan Barat dalam Angka, 2020).
Kawasan Hutan Negara seringkali tumpang tindih dengan pemukiman penduduk. Sekadar contoh, analisis Tim GIS PPSDAK Pancur Kasih (2019), 9 kampung di wilayah Kec. Hulu Sungai yang total luasnya 111.298,17 Ha, berdasarkan peruntukan tata ruang wilayahnya, maka 9.037,97 Ha (8,12%) merupakan APL, 76.182,25 Ha (68,45%) adalah Hutan Produksi Terbatas, 11.999,4 Ha (10,76%) merupakan Hutan Produksi, dan 14.078, 72 Ha atau 17,65% adalah Hutan Lindung. Ini berarti seluas 91,88% dari total luas wilayah 9 kampung tersebut berada dalam Kawasan Hutan Negara dan sisanya 8,12% berstatus Area Penggunaan Lain (APL) yang dapat diakses oleh masyarakat di dalam dan sekitarnya. Dari 20 kecamatan di Kab. Ketapang, luas wilayah Kec. Hulu Sungai 4.685 Km2 (468.500 Ha) merupakan kecamatan dengan luas wilayah terbesar kedua setelah Kec. Kendawangan.
Kec. Hulu Sungai juga memiliki 6 desa dari 12 desa dan 15 dusun dari 28 dusun dengan kategori daerah sulit terbesar kedua setelah Kec. Kendawangan yang memiliki 6 desa dan 23 dusun dengan kondisi yang sama (Kab. Ketapang Dalam Angka, 2019). Kondisi itu menunjukkan minimnya aksesibilitas pelayanan pendidikan dan kesehatan di wilayah kecamatan tersebut. Kekurangan akses ini harusnya tidak mengurangi hak-hak seluruh warga di wilayah Kec. Hulu Sungai tersebut.
Dengan status Kawasan Hutan Negara—yang ditetapkan secara sepihak oleh Negara—maka peruntukkannya bisa berubah menurut (kepentingan) pemerintah. Ini menandai konflik tenurial, rentan ancaman terhadap sumber-sumber kehidupan Masyarakat Adat yang sangat tergantung dengan hutan dan sumber daya alam sekitarnya.
Keberadaan Masyarakat Adat yang notabene petani yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan seringkali ditolak, dianggap antara ada dan tiada. Akibatnya hak-hak penguasaan hutan dan pengelolaan lahan yang (akan) diberikan oleh Negara kepada pemodal (akan) berbenturan dengan keberadaan dan hak-hak Masyarakat Adat.Tak bisa dibantah bahwa hutan dan sumber daya alam berabad-abad dan turun-temurun menjadi sandaran mata pencaharian dan pekerjaan non-formal Masyarakat Adat di daerah ini.
PETA JALAN PANJANG
Jalan panjang pengesahan PERDA Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Ketapang tersebut tidaklah mulus. Advokasinya melibatkan secara penuh peran Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih. Pada 2017, atas dukungan kerjasama dengan jaringan nasional dan daerah, PPSDAK Pancur Kasih (Perkumpulan Pancur Kasih) melakukan sosialisasi dan musyawarah adat di komunitas-komunitas adat untuk menggali pandangan sekaligus menghimpun aspirasi komunitas. Lobi dengan para pihak, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif untuk memperkuat dukungan advokasi percepatan Pengesahan PERDA Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kab. Ketapang. Kajian etnografi dan penyusunan Naskah Akademik Raperda pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat dilakukan untuk melengkapi pemahaman para pihak mengenai urgensi pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Bahkan pada Desember 2017, untuk memperluas informasi dan dukungan publik terkait urgensi PERDA tersebut diinisiasi media gathering dengan sejumlah media lokal yang dihadiri Ir. Paulus Tan, anggota DPRD Ketapang dari Dapil Ketapang III.
Momen penting lainnya adalah Rapat Koordinasi Percepatan Penetapan Hutan Adat tingkat Provinsi Kalimantan Barat, di Pontianak tanggal 5 April 2018. Rakor tersebut menghasilkan rumusan / kesepakatan seluruh peserta dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Dalam Negeri, Balai PSKL Wilayah Kalimantan, Perwakilan DPRD se Kalimantan Barat, Perwakilan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat, para tokoh adat dan Koalisi Hutan Adat untuk Kesejahteraan Kalimantan Barat (Koalisi HAK Kalbar). Rakor membahas dan melakukaan telaah teknis terhadap peta-peta indikatif hutan adat Kalimantan Barat. Di situ pula, Koalisi HAK Kalbar menyampaikan Peta Jalan Percepatan Penetapan Hutan Adat Kalimantan Barat tahun 2018-2022 kepada Gubernur Cq. Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat. Peta jalan, di antaranya berisi data peta indikatif hutan adat seluas ± 656.380 Ha yang tersebar di 230 komunitas di 9 kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat.
Di dalam Berita Acara Rakor Hutan Adat tersebut, dituliskan pula perwakilan Pemda Kabupaten Ketapang, yang ditandatangani dari Bappeda Ketapang berkomitmen untuk [1] Mengawal proses penyusunan dan pengesahan PERDA tentang Masyarakat Hukum Adat; [2] Mendorong usulan penetapan hutan adat oleh Bupati ke Gubernur; [3] Mendorong pemberdayaan masyarakat hukum adat untuk memanfaatkan, mengelola, menjaga hutan secara berkelanjutan; dan [5] Melakukan koordinasi dan sinergitas secara intensif dengan Organisasi Perangkat Daerah terkait termasuk dengan kelompok masyarakat sipil untuk proses penetapan Masyarakat Hukum Adat dan hutan adat (Lihat BA Nomor: 1/Rakor-HA/KB/IV/2018).
Rangkaian advokasi itu sampai pada Kesepakatan Bersama Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih dengan Pemerintah Kabupaten Ketapang tentang Percepatan Proses Penyusunan Raperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kab. Ketapang yang ditandatangani oleh Direktur PPSDAK Pancur Kasih dan Bupati Ketapang pada 30 Juli 2018 hingga Raperda tersebut menjadi inisiatif eksekutif.