Dukung Pelestarian Kebudayaan Dayak, Kandida Maro Rayo Sumbangkan Salinan Tesisnya kepada Institut Dayakologi
Penulis: R. Giring | Foto: Dok. Kandida Maro Rayo | Editor: R. Giring & K.Gunui’.
Mudip beradat kenasih tempa… Betuah Beruntung!
Rina bupulua, tompo linua,
Rina bupoyo, tompo ngoroto… Surua Tompo!
Gayu guru, gerai nyamai,
Lantang senang, nguan menua…Kuuur Semangat!
Siang, Rabu, 19 Januari 2021, dengan bermasker Kandida Maro Rayo bersama seorang temannya bertandang ke Institut Dayakologi. Perbincangan dengan Dida—sapaan akrabnya mengalir santai. Maro Rayo memiliki arti “kesayangan” (Bhs. Dayak Bi Somu). Menyandang nama khas Dayak baginya tentu membanggakan. “Ke mana pun aku melangkah, darah Dayak ku tetap terbawa,” ucapnya bangga. Lalu, Kandida ialah nama babtis yang diadopsi dari nama santa dalam Katolik.
Perempuan energik ini baru menyelesaikan pendidikan S2 nya dari Program Pasca Sarjana FKIP Untan, Jurusan Pendidikan Matematika. Didorong tekad demi melestarikan kebudayaan Dayak Bi Somu, Dida memilih topik penelitian untuk tesisnya yang jarang diminati mahasiswa dan peneliti kampus kebanyakan. Dia merasa tertantang sehingga meneliti penggunaan kosakata matematis yang bersumber dari pengetahuan dan kebudayaan Bi Somu—di mana ia berakar, lahir dan dididik dalam pengalaman budaya Bi Somu di Sebuduh, Kec. Kembayan Kab. Sanggau. Penelitiannya masuk kategori lintas disiplin ilmu yaitu etno-matematika. Hasilnya pun tak tanggung-tanggung. Dari ujian tesisnya, Dida atau Dida Maro Rayo menorehkan nilai sangat memuaskan. Keren kan?
Dari antusiasnya ketika berbincang seputar kebudayaan Dayak terkesan kuat kalau perempuan ramah ini memang punya semangat belajar yang tinggi.
Dalam profilnya, Dida menulis bahwa impiannya ingin menjadi penari Dayak telah tumbuh sejak kecil lantaran ia kagum sekali melihat para penari Dayak yang memakai pakaian khas Dayak tampil sangat cantik. Tak heran kalau gadis yang suka berdiskusi dan memiliki tinggi 167 sentimeter ini aktif menjadi penari Dayak di salah satu sanggar sebagai kegiatan ekstrakurikuler ketika duduk di bangku SMA dulu.
Bahkan pada saat belajar di FKIP Untan, Pontianak, sebenarnya Dida ingin sekali ikut kegiatan sanggar di kampus. “Ingin menari, juga ingin memainkan alat musik tradisional Dayak. Tapi saya putuskan tidak ikut karena seringkali bentrok dengan jadwal kuliah di kampusnya,”ujarnya.