Menyoal Kontroversi Pameran Tunggal Yos Suprapto di Galeri Narional, Jakarta

69 Views

Oleh: MISBACH TAMRIN Seniman Pelukis, Tinggal di Banjarmasin

Sikap dan langkah penerapan demokrasi Reformasi 1998 di bidang seni dan budaya yang ideal, terutama adalah “kebebasan berekspresi”, buat pada umumnya. khususnya bagi para seniman perupa.

Tentu yang dimaksud adalah kebebasan berkreasi dan berekspresi dalam artian terukur dan bertanggung jawab. Bukan kebebasan liberal yang kebablasan ataupun anarkis, sehingga relevan dengan kearifan makna demokrasi Pancasilais kita yang positif dan obyektif. Dalam konteks ini, di antara beragam identitas dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat, meskipun berbeda keyakinan agama, ideologi dan politiknya, namun dapat saling harga menghargai dan hormat menghormati, rukun dan damai satu sama lain.

Baca juga: https://kalimantanreview.com/demi-menapak-dan-menatap-hari-depan-yang-cemerlang/

Dalam kaitan ini, ada peristiwa yang heboh dan viral terkait batalnya Pameran Tunggal Yos Suprapto beberapa menit sebelum pembukaan pada Kamis malam, 19 Desember 2024. Pameran tunggal itu bertajuk “Kebangkitan: Tanah buat Kedaulatan Pangan” di Galeri Nasional Indonesia (Galnas), Jakarta, karena 5 karya lukisannya yang kontroversial dari 30 lukisannya – tanpa kesepakatan di antara seniman vs kurator, sehingga kurator yakni Suwarno Wisetrotomo, memutuskan mundur sebagai kurator pameran tersebut yang disampaikannya kepada seniman pada tanggal 16 Desember 2024.

Lantaran kuratornya mundur, maka pameran tunggal pelukis “progresif kiri” Yos Suprapto di Galeri Nasional itu menjadi macet sehingga meledakkan banyak komentar di medsos, bahkan berbuntut panjang, nyaris tanpa bisa diredam.

Padahal, pada akhir Juni s.d awal Juli 2024, pameran bersama ke-5 dari para perupa Sanggar Bumi Tarung (SBT) yang bertajuk “Sampai Batas Tarung” plus generasi mudanya – yang  secara tematis nuansanya hampir sama, mengandung kritik sosial, dengan mulus dapat berlangsung di Galnas, tanpa hambatan.

Bahkan, pada diskusi senirupanya, budayawan Fadli Zon, sebelum diangkat sebagai Menteri Kebudayaan hadir memberi sambutan dan memboyong beberapa karya lukisan yang dipamerkan sebagai koleksi beliau. Sebagai kolektor, Fadli Zon termasuk banyak mengoleksi karya senirupa SBT. Kami bersahabat baik secara koneksivitas kemanusiaan, betapapun berbeda paham ideologi dan politik.

Pameran SBT di Galnas, Jakarta tersebut, dalam rangkaian kelanjutan dari pameran SBT ke-4 bertajuk “Dua Petarung” (Amrus Natalsya dan saya) sekitar bulan November hingga Desember di Bentara Budaya Yogyakarta. Di mana, betapapun ada 2 buah karya lukisan saya “Mega Mendung” dan “IKN, menuju Indonesia Emas 2045” tidak bisa dipasang, karena alasan pertimbangan tematis kurator Bentara Budaya Yogyakarta. Namun, terutama bagi saya pribadi, pameran tersebut tetap berlangsung dengan baik dan cukup sukses, tanpa hambatan permasalahan.

Baca juga: Lihat juga: https://kalimantanreview.com/kekerasan-dalam-kebudayaan-tradisi-ataukah-eksibisi/2/

Sesudahnya terus berlanjut, juga dengan mengambil tempat pada interior dan eksterior Galnas, pameran tunggal pematung progresif Dolorosa Sinaga membawakan tema-2 perjuangan kaum perempuan yang dengan tegar melawan kekerasan, penindasan dan ketidakadilan.

Hingga kemudian sekarang tiba kepada pameran tunggal Yos Suprapto, seorang pelukis sahabat saya di Yogya, yang ternyata menyulut kontroversi yang begitu heboh dan menggemparkan. Pertanyannya adalah menapa sampai bisa terjadi sebuah pameran tunggal seorang pelukis menjadi masalah?

Baca juga: Lihat juga: https://kalimantanreview.com/budaya-damai-orang-dayak-dan-tantangannya/

Sudah banyak jawaban dari pertanyaan ini diulas oleh para pengamat dan netizen di medsos, dalam berbagai versinya. Sepanjang pengetahuan saya, belum pernah sebelumnya keributan kompleksivitas tentang pameran senirupa begitu krusial seperti pameran tunggal Yos di Galnas ini.

Suasana yang melatarbelakanginya memang berkelindan dalam geliat atmosfer situasi politik yang masih cukup panas. Sebagai pengaruh gaung dari dampak pasca Pilpres 2024 yang penuh kontroversi itu.

Bagaimana tidak, Yos sebagai pelukisnya ternyata  mengambil tema dan motif dari karya lukisan kritik sosialnya, dengan menampilkan tampang  figur antagonis dari tokoh yang terkenal dengan julukan canda “Mulyono”, sebelum lengser sebagai penguasa, di atas kanvas lukisannya.

Betapapun pilihan tema karya lukisannya merupakan hak individu pribadinya dalam kebebasan berekspresi. Tentu saja dalam arti normatif, tak lepas dari batasan kaidah demokrasi yang terukur dan bertanggung jawab, seperti yang diuraikan tersebut di atas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *