Kekerasan dalam Kebudayaan: Tradisi ataukah Eksibisi?


Transformasi kekerasan dari tradisi menjadi eksibisi itu dapat dilihat sebagai bentuk komodifikasi. Unsur-unsur budaya dijual sebagai produk untuk konsumsi massa sehingga mereduksi nilai-nilai sakral, spiritual dan sosial dari tradisi budaya itu sendiri, dan menjadikannya sebagai suatu tontonan dan hiburan.
Kritik Kebudayaan
Dampak dari fenomena pergeseran dalam tradisi budaya bagi suatu komunitas dan regenerasi budaya perlu dievalusi. Hal ini karena perubahan fungsi kekerasan dalam budaya menjadi sebuah eksibisi dapat menimbulkan implikasi sosial dan budaya yang mendalam.

Dalam studinya yang berjudul “Permainan Mendalam: Catatan tentang Sabung Ayam di Bali” (Deep Play: Notes on the Balinese Cockfight), Clifford Geertz (1973) memberikan wawasan yang penting tentang bagaimana praktik budaya dapat dianalisis sebagai sistem simbolik yang kompleks.
Menurut Geetrz, praktik sabung ayam di Bali bukan tanpa kontroversi dan masalah. Bahkan sabung ayam dapat menjadi ajang untuk menunjukkan kekerasan dan agresi, serta memberikan dampak buruk pada kesejahteraan hewan. Oleh karenanya, seiring waktu, praktik sabung ayam di Bali terus berubah dan berevolusi karena dipengaruhi faktor-faktor ekonomi, politik, dan sosial dalam masyarakat Bali.
Di Kalimantan Barat, sekelompok massa beranggotakan sejumlah laki-laki dan perempuan muda berpakaian serba merah, tubuh bertato, berikat kepala, sering kali tangan memegang mandau atau tangkitn. Selain itu, tengkorak hewan, bulu ruai atau bulu enggang, dan kadang kala kulit binatang juga dipakai sebagai penghias di badan.
Di depan ratusan atau ribuan penonton, mereka menari, meneriakkan tariu, dan sering kali menunjukkan kekebalan dengan menebas atau mengiris betis dan lengannya sendiri dengan mandau dan tangkitn.
Apakah fenomena “Balelet” dalam praktik kebudayaan Dayak menunjukkan pengalaman yang kurang lebih sama dengan pengalaman masyarakat Bali di atas? Silahkan Anda menilainya.
Perlu Keseimbangan
Respons terhadap fenomena pergeseran makna tradisi beragam. Beberapa di antaranya menyambut baik peluang ekonomi yang dihasilkan dari pariwisata budaya, sementara yang lain menilai dan merasa bahwa tradisi telah terdegradasi dan kehilangan makna “asli” (lihat Geertz, 1973).
Perubahan tersebut dapat mempengaruhi bagaimana generasi muda memahami dan menghargai warisan budaya mereka. Sebab bagaimanapun, keseimbangan antara menjaga keaslian tradisi dan memanfaatkan peluang ekonomi yang ada tetap penting (Lihat Cohen, 1988).
Kesimpulan
Artikel ini mengajak kita untuk memahami dinamika dan dampak praktik budaya terhadap komunitas dan warisan budaya bagi generasi pendukung budaya tersebut. Oleh karena itu, fenomena eksibisi tentang praktik budaya seperti ditunjukkan di atas perlu terus-menerut dikaji dan didiskusikan agar makna “asli” dan relevansi dari tradisi budaya dapat terus hidup, berkembang dan tetap terjaga secara bermartabat.
Pendidikan kritis dan kesadaran budaya kepada generasi muda dan masyarakat luas tentang pentingnya menjaga makna “asli” dari budaya masing-masing perlu ditingkatkan. Lebih baik lagi jika hal ini didukung regulasi yang memastikan transformasi budaya agar tetap menghormati dan tidak merugikan keseluruhan masyarakat pemangku budaya tersebut. Semoga.[*]