Sekolah Satu Atap Berasrama: BENGKEL KADER MASA DEPAN
Oleh :
Leo Sutrisno
*Kolomnis & Pendidik FMIPA UNTAN Pontianak, Kalbar
Jacques Delors (1996), Ketua Komisi Internasional Bidang Pendidikan UNESCO untuk menyongsong kedatangan abad ke- 21, menyatakan bahwa pendidikan itu merupakan sebuah utopia tetapi dibutuhkan. Dalam berbagai literatur, pendidikan dipandang sebagai usaha manusia untuk membuat manusia lebih manusiawi. Mendikbud (Kompas, 7/3) mengoperasionalkan konsep pendidikan sebagai proses panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama, bagi alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya. Orang awam merumuskan pendidikan sebagai usaha mencerdaskan manusia.
Namun, dewasa ini semakin sering muncul pertanyaan: apakah pendidikan sungguh telah mencerdaskan manusia, khususnya di Kalimantan Barat? Atau, dalam bentuk yang lebih operasional pertanyaan itu diubah menjadi: seberapa efektif pendidikan memenuhi fungsinya? Jawabnya, hingga kini telah ditemukan sekitar 130 faktor yang mempengaruhi efektivitas pendidikan (Dewan Pendidikan Provinsi Kalbar, 2012).
Faktor-faktor ini tersebar dalam tiga ranah pendidikan: anteseden, interaksi, dan hasil. Dalam ranah anteseden ada banyak faktor yang tersebar baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Misalnya, kesadaran masyarakat, ketersediaan sarana-prasarana, kurikulum, Perda, dsb. Dalam ranah interaksi tersebar baik di ruang kelas maupun di luar kelas selama kegiatan belajar-mengajar berlangsung. Diantaranya, karakteristik guru, karakteristik siswa, tingkah laku guru, tingkah laku siswa, dsb. Sedangkan ranah hasil meliputi kompetensi lulusan serta kontribusi para lulusan di masyarakat.
Kontribusi lulusannya dalam berbagai sektor kehidupan sering dipakai untuk mengukur keberhasilan sebuah lembaga kependidikan. Bagaimana kontribusi lulusan lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Kalimantan Barat? Jawabannya sangat beragam yang tersebar dalam spektrum dari tingkat yang rendah hingga tingkat yang tinggi.
Dalam dasawarsa terakhir ini hasil pendidikan selalu dikaitkan dengan IPM-Indeks Pembangunan Manusia. IPM merupakan cara baru untuk mengukur keberhasilan pembangunan yang lebih difokuskan pada kualitas manusia ketimbang kalkulasi ekonomi belaka.
Dilaporkan, IPM Kalbar 2012 masih rendah dibandingkan dengan provinsi-provinsi yang lain. Mengapa? Tiga komponen yang digunakan untuk menghitung IPM adalah: angka harapan hidup (kesehatan), standar hidup layak (ekonomi), serta rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah (pendidikan).
Dari segi pendidikan, penyebaran baik kuantitas maupun kualitasnya belum merata. Penyebabnya adalah kendala geografi. Saran yang dapat diajukan untuk mengatasi kendala geografi adalah mengembangkan sentra-sentra pendidikan dalam bentuk sekolah satu atap berasrama di tiap kecamatan (one stop services). Di kompleks ini SD, SMP dan SMA/SMK bergabung di satu tempat dan juga melakukan ’sharing’ sumber-sumber daya. Asrama menjadi sangat diperlukan karena untuk menampung peserta didik yang jauh dari kampungnya. Asrama bukan sekedar tempat tinggal tetapi juga menjadi tempat belajar keterampilan hidup karena itu harus ada pembinanya.
Para alumni dari sekolah-sekolah semacam ini diharapkan menjadi ’kader’ masa depan. Model persekolahan Nyarumkop masa lalu mungkin ada baiknya dapat menjadi inspirasi. Semoga!