TEROBOSAN SETENGAH HATI…
Oleh: R. Yando Zakaria (Antropolog)
Malang benar nasib masyarakat hukum adat di negeri ini. Meski diakui haknya sejak republik berdiri, sebagaimana yg diatur dlm beberapa pasal konstitusi, realisasinya dalam kehidupan nyata begitu lambat.
Ambil contoh soal tanah adat. Meski telah disebut-sebut dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, sampai hari ini hanya sekitar 20.000 ha saja yg sudah resmi terdaftar secara legal. Padahal, peraturan menteri untuk mengaturnya sudah datang silih berganti.
Negara seperti tak kunjung menemukan formula yang tepat dalam menerjemahkan amanat konstitusi dari satuan-satuan sosial yg kehadirannya justru mendahului republik. Mudah diduga itu terjadi karena aturan-aturan dalam UUPA memang tidak saling sejalan. UUPA lahir di tengah kompromi berbagai aliran pemikiran yang saling berseberangan: modernis vs tradisional; liberal vs konvensional; atau malah antara pemikiran yg rasional dan yang emosional.
Pemerintah seperti ingin memecah kebuntuan itu melalui UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Persisnya, melalui PP 18/2021, Pemerintah coba membuat terobosan.
Agar tanah adat bisa dimanfaatkan langsung oleh masyarakat hukum adat (MHA), pada tanah adat itu Pemerintah akan menerbitkan (sertifikat) Hak Pengelolaan. Hak Pengelolaan antara lain diberikan pada tanah ulayat yg dimiliki MHA (Pasal 5 ayat 2).
Namun, Hak Pengelolaan bisa dihapus oleh Menteri atas dasar beberapa alasan (Pasal 14). Jika Hak Pengelolaan di tanah ulayat hapus, tanah ulayat itu akan kembali ke penguasaan MHA (Pasal 15 ayat 2).
Aturan tersebut relatif progresif. Tidak seperti HGU. Jika masa berlaku HGU habis tanah akan kembali ke negara. Padahal awalnya tanah itu adalah tanah adat masyarakat hukum adat.
Dengan pengaturan yang demikian itu, apakah artinya tanah adat tersebut akan kembali menjadi idle/beku kembali?
Dengan pengaturan yang ada jelas kewenangan MHA tetap di bawah bayang2 kewenangan Pemerintah (Pasal 14 ayat 1, huruf a.) atau kekuatan2 lainnya ‘atas nama undang-undang’ (Pasal 14, ayat 2, huruf b.).
Wajarkah?
Menurut sahabat saya, Andiko Sutan Mancayo, seorang lawyer, itu konsekwensi NKRI. “Ini jawaban teknis dari persolan yang sudah macet selama ini. Perdebatan ideologis yang selama ini terjadi tidak menghasilkan jalan keluar apapun. Kita harus realistis soal ini,” ujarnya dalam sebuah webinar baru-baru ini.
Okelah. Kalaupun itu merupakan suatu keniscayaan, menurut saya, bisa dibuat lebih elegan dan strategis. Misalnya, akui saja hak ulayat itu sebagai salah satu hak yg sah di negeri ini, tetap dgn pembatasan-pembatasan yang niscaya dan konstitusional itu. Apa bedanya?