TEROBOSAN SETENGAH HATI…


Seorang sahabat saya yg lain, juga seorang lawyer berbakat, Nurul Firmansyah , setuju dengan pandangan saya ini. “Persoalan mendasarnya adalah hak ulayat tidak masuk dalam kategori hak (atas) tanah yang kemudian dikaburkan dalam domein hak menguasai negara, sehingga yang berhak menetukan status hak tanah itu adalah negara.” jelasnya dalam sebuah diskusi di sebuah whatapps group.
Tapi, ya sudahlah …
Yang jauh lebih memprihatikan adalah, menurut Penjelasan untuk Pasal 5 ayat (2), masyarakat hukum adat yang diakui haknya atas tanah adat itu adalah masyarakat hukum adat yang “telah diakui dan ditetapkan keberadaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang memuat kelembagaan dalam perangkat penguasa adatnya, wilayah hukum adat, pranata, atau perangkat hukum yang masih ditaati.”
Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, sebagaimana yang terkandung dalam PermenATR/BPN No. 18/2019 yang masih berlaku saat ini, itu artinya adalah hak masyarakat hukum adat baru akan diakui jika subyek hukumnya sudah ditetapkan melalui peraturan daerah. Syarat ini tidak mudah dan tidak murah!
Duh ….
Belum lagi, di Pasal 1 angka 13 disebutkan bahwa “Tanah Ulayat adalah tanah yang berada di wilayah penguasaan masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada dan tidak dilekati dengan sesuatu Hak Atas Tanah.”
Artinya apa ya? Apakah artinya tanah ulayat yang bisa diberikan Hak Pengelolaan itu hanya tanah ulayat yang tidak ada hak lain di atasnya? Kalau bener begitu, apakah masih ada tanah ulayat yang tidak dibebani oleh hak lain itu? Seberapa banyak?
Lalu, bagaimana dengan nasib tanah ulayat yang telah dibebani hak lain semacam HGU misalnya? Konflik-konflik ini tidak akan diselesaikan kah? Sampai kapan? Bukankah saat ini waktunya untuk menyelesaikan masalah akut itu?
Padahal, niat pengaturan hak masyarakat hukum adat dalam PP ini sudah cukup baik. Ini terlihat dari pendefenisian Hak Pengelolaan. Meski tidak dinyatakan secara ekplisit, Hak Pengelolaan ini sepertinya dimaksudkan sebagai implementasi Pasal 2 ayat 4 UUPA 5/1960. Disebutkan bahwa Hak Pengelolaan, menurut Penjelasan Pasal 5 ayat (1) adalah ” … merupakan hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang Hak Pengelolaan”.
Mengapa defenisi yang begitu penting justru ada dalam Penjelasan dan tidak di batang tubuh kebijakan? Apa agenda terselubungnya?
Tapi, lagi-lagi, ya sudahlah.
Yang jelas, dengan pengaturan-pengaturan yang sedemikian rupa, apakah ini tidak akan menjadikan PP 18/2021 terkait tanah adat ini sekedar jadi proyek PHP saja?🤔