Endless Whisper, Pameran Tunggal Hajrian Syah

259 Views

Oleh: MISBACH TAMRIN – Seniman Pelukis Tinggal di Banjarmasin

Redaksi menerima esai bergaya tulis bagaikan surat seseorang kepada temannya ini pada tanggal 7 Desember 2024. Dikirim oleh seorang teman, teman dekatnya penulis. Mari kita simak esai seniman pelukis ini – sarat kesan dan pesan apresiasi yang kuat berikut ini. Pameran tunggal itu sendiri kini masih berlangsung.

KEPADA Hajrian Syah, seorang perupa, pengamat seni rupa, sastrawan, dan Ketua Dewan Kesenian Kotamadya Banjarmasin. Saya telah berjanji akan  menulis kesan saya tentang pameran tunggalnya. Setelah hadir di hari pertama pembukaan pamerannya yang diselenggarakan di Dekorama Indah, Kuripan, Banjarmasin tanggal 22 November hingga 15 Desember 2024.

Baca juga: https://kalimantanreview.com/sebuah-testimoni-seabad-sitor-situmorang/

Namun, dari segi apresiasi publik, saya merasa sudah cukup terpenuhi dan lengkap, setelah membaca tulisan pengamatan seni rupa Sandi Firly tentang pameran tunggal Hajrian Syah. Sehingga tak perlu lagi saya lebih detil fokus menyoroti karya-karya Hajri yang dipamerkan.

Lagi pula sebelumnya saya sudah pernah menulis tentang Hajri pada pameran tunggalnya di Banjarbaru dulu, yang makna esensinya tidak jauh dari tulisan pengamatan seni rupa Sandi Firly tersebut.

Sandi Firly yang terkenal sebagai novelis, adalah teman dekat dan rekan seprofesi Hajrian Syah yang lewat media “Asyik-Asyik” yang diasuhnya, rajin mencatat berita seni dan budaya. Termasuk, tak pernah melewatkan tentang pameran seni rupa, karena kebetulan juga ia pun seorang pelukis.

Ditambah ada lagi seorang penulis bagus yang baru saya kenal, Zal, (saya tidak tahu apakah nama sesingkat itu selaku nama samaran atau nama sebenarnya). Tapi yang saya tahu ia juga teman dekat Sandi, karena kebersamaan di lingkaran kegiatan jurnalistik.

Tentang kreativitas Zal, terus terang saya cukup tertarik terhadap gaya penulisannya, mengingatkan saya atas “kegenitan” gaya Njoto almarhum. Saya kira,  tampaknya Zal seorang jurnalis muda progresif yang aktif menulis kritik esai dan tak kalah kreatif dan produktif ketimbang dibandingkan dengan Sandi dan Hajri.

Terkait dengan tulisan Zal yang menyangkut pameran tunggal Hajri. Nah, maka berpangkal di sini lah secara inspiratif saya perlu tuliskan serba sedikit sesuatu hal. Sekaligus buat melunasi utang janji saya kepada Hajrian Syah. Meski sorotan saya kali ini dari sisi dan sudut yang agak sedikit lain.

Baca juga: https://kalimantanreview.com/demi-menapak-dan-menatap-hari-depan-yang-cemerlang/

Selaku penulis dan jurnalis muda, Zal punya wawasan yang tak lepas pula dari wacana persengketaan seni yang berkelindan di masa lalu. Di mana gesekan budaya di sekitar tahun 1960-an yang begitu tajam di antara kubu Manikebuis vs Lekrais, bertumpu karena terpicu oleh konflik politik global dari Perang Dingin.

Saya sendiri selaku korban dari saksi bahkan pelaku langsung peristiwa sejarah tersebut. Tentu dapat lebih menyadari, merasakan dan mengkhayatinya sebagai pengalaman yang membekas hingga sekarang.

Misbach Tamrin.

Tapi, terus terang bagi saya kini, gesekan (friksi) budaya di antara Lekra kontra Manikebu tersebt, terkadang terasa seakan-akan tidak pernah  terjadi. Jauh dari batu sandungan, saking mencairnya. Jauh dari debur badai, saking terhembus bagai angin sepoi yang gampang telah berlalu. Begitu saja akhirnya senyap, seperti dikatakan Goenawan Mohamad “telah usai seiring dengan selesainya konflik politik Perang Dingin”.

Jadi, jika kita ingat dengan semangat melawan lupa, peristiwa dikotomi masa lalu itu hanya bermanfaat sebagai “pembelajaran” bagi kita di masa kini. Terutama buat generasi muda harus mengetahui sebagai sejarah ingatan kolektif. Bahwa bentrokan paham kebudayaan di antara sesama bangsa dan warga negara di dalam negeri sendiri, bisa dipicu oleh pengaruh gejolak politik global dunia dari luar negeri kita.

Baca juga: Lihat juga: https://kalimantanreview.com/organisasi-arsitek-sejarawan-arkeolog-dan-antropolog-tolak-pembongkaran-gedung-koni-kalimantan-tengah/

Zal dalam tulisannya telah mencoba membandingkan dan membedakan mindset pikiran dan ideologi figur saya dengan Hajrian Syah, lewat penceminan karya lukisan kami. Bukan saja membedakan dari segi asal generasi, tapi juga dengan mengaitkan kepada dikotomi pandangan paham Manikebu vs Lekra di masa lalu itu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *