Endless Whisper, Pameran Tunggal Hajrian Syah


Hajrian Syah yang telah saya kenal di samping sebagai seniman perupa muda sedaerah Kalsel dengan saya. Juga punya kekhususan yang istimewa bagi kami komunitas Sanggar Bumi Tarung.
Baca juga: https://kalimantanreview.com/dewi-penerus-tradisi-dayak-simpakng-yang-menginspirasi/
Di mana ia salah seorang pengamat seni rupa yang paling berani menelisik dan menjelujuri lebih intens tentang rekam jejak perjuangan SBT dalam sejarah. Lewat banyak tulisannya, terutama atas bukunya yang bagi kami cukup monumental “Realisme Revolusioner”.
Juga Zal mengatakan bahwa jika saya sudah jelas menganut “seni untuk rakyat” yang berkarya atas dasar tanggung jawab moral. Maka Hajri berkarya oleh panggilan jiwa alias sentuhan bisikan individual secara inspiratif, yang maksudnya menurut hemat saya bernuansa gaya aliran surealis. Cenderung mengingatkannya kepada paham seni kaum Manikebuis di masa lalu yang membawakan “seni untuk seni” dan humanisme universal.
Padahal bagi saya terasa di era globalisasi dan seni kontemporer sekarang ini, friksi dari perbedaan kontras di antara realisme “seni untuk rakyat” Lekra dengan seni abstrak ‘humanisme universal” Manikebu, telah semakin redup dan pudar. Ini untuk mengulangi dan menekankan apa yang sudah saya uraikan di atas.
Kini iklim demokrasi seni di era globalisasi sekarang ini, telah memicu dan memacu kebebasan berekspresi lebih gencar lagi untuk melahirkan multi varian identitas seniman perupa begitu dominan sesuai dengan tantangan zamannya.
Jadi dengan demikian, fakta konkret sebagai contoh. Penampilan tajuk tema berkarya “Endless Whisper” dari pameran tunggal Hajrian Syah yang kira-kira terjemahannya bisikan tak berujung atau tak terbatas itu. Telah mempertandakan bahwa kini betapa kaya dan beragam varian identitas seniman perupa berkembang keberadaannya.
Baca juga: https://kalimantanreview.com/membaca-ngobrol-seni-di-pameran-tunggal-talawang-kala-kini/
Selaku pelukis yang profesinya melalui pelbagai pendidikan seni rupa. Kini Hajrian Syah relatif telah menemukan identitas alias ciri karakteristik dirinya yang sedang mulai mapan.
Hajrian berkarya dengan dibangunkan oleh suatu bisikan yang mengilhami layaknya sentuhan “sufistik” sebagai panggilan jiwa secara filosofis menggapai visi dan misi berkaryanya.
Seperti halnya ia selalu menyampaikan wawasan berkaryanya, bahwa tehnik normatif seni rupa adalah faktor kedua. Sedangkan yang terutama dan terpenting adalah ide esensil, penuangan narasi pandangan hidup sang seniman perupanya tentang manusia, masyarakat dan alam semesta.
Dalam kaitan ini berarti dari segi setting keberkaryaan sesungguhnya bagi saya, tiada hal yang berbeda di antara Hajri dan saya. Dalam arti apa bedanya dengan metode berkreasi “1-5-1” Lekra, kombinasi di antara tinggi mutu ideologi sebagai muatan isi yang utama dengan tinggi mutu artistik selaku kulit yang mendukung isi.
Katakanlah berdasarkan apa yang dikatakan Zal, yang membedakan sikap berkarya Hajri atas dasar panggilan bisikan jiwa dengan saya yang berdasarkan panggilan tanggung jawab moral. Yang pada hakekatnya relatif sama alias serupa.
Lagi pula tanpa harus melalui perbandingan dengan dikotomi paham seni masa lalu. Saya sendiri selaku pelukis senior yang berasal dari sana, tentu mau tak mau harus beradaptasi dengan tantangan zaman sekarang.
Jika dulu di masa sekitar setengah abad yang lalu, saya merasa alergi alias anti atas westernisasi dari imperialisme kebudayaan, karena alasan politis.Tapi sekarang di era globalisasi ini, ketika Hajrian Syah mengemas pameran tunggalnya yang bertajuk “Endless Whisper”, layaknya western language. Terasa bagi saya kini merupakan trendi populer yang viral dan cukup menarik untuk dikaji terjemahannya.
Tak ada pemahaman seni yang perlu dipertentangkan di antara saya dan Hajri, seperti generasi masa lalu kami di tahun-tahun 1960-an yang jauh telah berlalu.
Selama keberagaman identitas di bawah naungan demokrasi punya hak yang sama keberadaan (eksistensi)nya dalam kehidupan berbangsa. Untuk saling menghargai dan menghormati keyakinan agama, ideologi dan politik dari masing-masing anggota warga negara. Akhirulkalam, di sini saya tak lupa menyambut hangat atas kepedulian Zal selaku wartawan, lewat penulisan kritik-esainya yang cukup semarak atas geliat perkembangan seni rupa yang berkelindan selama ini di daerah Kalsel.[*]