Tumbang Anoi: Cagar Budaya dan Desa Adat

2.501 Views

Dengan menyelamatkan atau melestarikan sejarah termasuk yang ada di Desa Tumbang Anoi, menjadi salah satu cara Suku Dayak menghargai dan menghormati leluhur. Tahun 1894 di Desa Tumbang Anoi pernah terjadi pertemuan tokoh adat Suku Dayak se-Kalimantan yang dilaksanakan di Betang Damang Batu.

Pertemuan tersebut telah menghasilkan berbagai kesepakatan, salah satunya adalah menghentikan perang antarsuku. Saat ini rumah Betang Damang Batu hanya tersisa konstruksinya saja. Oleh sebab itu, Pemkab Gunung Mas mengajak semua pihak,  termasuk Pemprov Kalimantan Tengah dan Pemerintah Pusat untuk berbuat nyata menyelamatkan Betang Damang Batu tersebut dan mengembangkan Desa Tumbang Anoi [https://www.borneonews.co.id/berita/278307-selamatkan-sejarah-di-desa-tumbang-anoi].

Harapan agar Pemprov dan Pemerintah Pusat turun tangan untuk melestarikan dan mengembangkan Desa Tumbang Anoi sebagai khazanah sejarah, disuarakan juga oleh anggota DPRD Gumas Rayaniatie Djangkan.

Untuk tujuan ini, Rayaniatie lebih spesifik meminta agar Desa Tumbang Anoi dan segala peninggalan sejarah di atasnya ditetapkan sebagai cagar budaya.

“Desa Tumbang Anoi perlu pengakuan, kami sedang memprosesnya sebagai cagar budaya”, ujar Rayaniatie (Kalteng Pos, 5 Oktober 2022).

Dikepung Industri Berbasis Tanah-Hutan-Lahan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pada Bab I Ketentuan Umum menetapkan bahwa yang disebut cagar budaya adalah sebagai berikut:

Pasal 1 Undang-Undang ini, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan:

(1) Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

(2) Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

(3) Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.

(4) Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.

(5) Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.

(6) Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

Paragraf 3 UU Cagar Budaya ini juga menetapkan adanya sistem zonasi mencakup: (a) zona inti; (b) zona penyangga; (c) zona pengembangan; dan/atau (d) zona penunjang. 

Dalam hal Desa Tumbang Anoi, zonasi ini boleh jadi mengandung permasalahan tidak kecil. Persoalan serius mengenai perlindungan, penyelamatan, pengamanan dan pemeliharaan bisa muncul oleh keadaan desa telah dikepung oleh perusahaan besar swasta, terutama perkebunan sawit.

Persoalan-persoalan ini bukanlah berandai-andai sebab ia telah terjadi di berbagai tempat di Kalteng. Roh-roh leluhur dan penghuni gaib dunia lain telah dikalahkan oleh uang sang raja dan terusir.

Jika Pemerintah dan DPRD Kabupaten Gumas sudah berbulat-hati menjadikan Desa Tumbang Anoi sebagai cagar budaya, kemungkinan-kemungkinan dan keadaan di atas kiranya layak diperhatikan.

Tentu bukan soal sederhana dalam menanganinya, apalagi di tengah-tengah dominasi hedonisme yang berkembang dari kota hingga desa, mewabah di berbagai strata sosial provinsi serta begitu jauh telah merusak lingkungan.

Desa Adat

Menjadikan situs-situs dan atau lokasi sebagai cagar budaya, jika  memang sepatutnya, merupakan hal baik. Pertanyaan mengusik selanjutnya adalah: Setelah ditetapkan, bagaimana dengan soal-soal seperti perlindungan, penyelamatan, pengamanan, pemeliharaan, pemugaran, pengembangan dan pemanfaatan?

Untuk menangani masalah-masalah, soal-soal mendasar tersebut, saya lagi-lagi melihat arti penting desa adat yang di Tanah Dayak kita kenal dengan sebutan léwu atau nama lainnya. Mengapa demikian?

Penanganan soal-soal di atas, memerlukan kekuasaan, kemampuan dan kekuatan. Léwu mempunyai ketiga-tiga unsur tersebut. Selain itu dengan adanya tradisi demokrasi langsung Dayak di daerah perdesaan yang disebut Pumpung haї, partisipasi seluruh warga desa akan menjadi massif.

Apabila  Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Gumas, Yansiterson  mengungkapkan bahwa “Pemkab Gumas akan menetapkan Tumbang Anoi sebagai salah satu Masyarakat Hukum Adat, dan hal itu ditetapkan dengan Keputusan Bupati Gunung Mas”, karena wujud konkret Masyarakat (Hukum) Adat itu adalah léwu atau nama lain,  maka membentuk dan menetapkan desa adat merupakan langkah sangat strategis.

Bukan hanya untuk menangani masalah cagar budaya, tetapi strategis juga dalam usaha pemberdayaan menyeluruh warga Dayak. Desa adat bukan tujuan tapi alat, senjata untuk memanusiawikan manusia dan masyarakat.

Dengan menggunakan alat ini, desa adat memberdayakan warga dan zamani. Pemeliharaan dan pemanfaatan dll…cagar budaya dan pengembangan parawisata,  hanyalah salah satu bagian kecil saja dari desa adat. Desa adat dengan demikian merupakan konkretisasi dan rangkaian nilai republikan dan berkeindonesiaan.

Respon Para Pihak

Dalam Pumpung Hai (Musyawarah untuk Mufakat), Kamis (20/10/2022), Anggota DPR RI, A. Terang Narang Dapil Kalteng menyatakan keberadaan Desa Adat sangat penting, karena berperan sebagai benteng pertahanan kebudayaan masyarakat adat di Kabupaten Pulang Pisau. Lewat desa adat diharapkan nilai luhur budaya dapat dilestarikan dan dikembangkan sesuai kebutuhan zaman.

Namun perlu diingat, lanjut dia, Desa adat bukan  bicara soal masa lalu, melainkan masa kini dan yang akan datang. Desa Adat pun bukan membedakan suku dan agama masyarakat yang ada, tetapi memperkuat peranan adat dalam menjawab kebutuhan masyarakat yang berkembang secara beradab.

“Lebih jauh, saya harapkan kelak desa adat dapat mandiri dan bahkan bisa sebaliknya berkontribusi bagi pembangunan daerah. Kita bisa dan harus bisa, karena kalau bukan kita yang mengembangkan kebudayaan kita, siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” demikian Teras Narang, seperti dirilis [https://kalteng.antaranews.com/berita/599093/teras-narang-apresiasi-pemkab-pulpis-dukung-pembentukan-desa-adat-di-buntoi].

Salah satu dari desa yang sedang dipersiapkan dan direncanakan untuk mengubah statusnya menjadi desa adat adalah Desa Buntoi, Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau.

Setelah beberapa tanya jawab dengan warga desa, pada akhirnya, seluruh warga setuju untuk meneruskan usulan pengubahan status desa adat ini, untuk diajukan kepada pemerintah daerah/provinsi/pusat dan lembaga legislatif.

Pumpung Hai’ difasilitasi oleh Yayasan Borneo Institute (BIT), yang menampung saran, pendapat dan pandangan masyarakat selama ini. [https://dayaknews.com/palangka-raya/pentingnya-desa-adat-bagi-terpeliharanya-budaya-dan-tradisi-suku-dayak/].***

Artikel yang sama pernah dipublikasikan di Harian Radar Sampit khsususnya di Halaman Masyarakat Adat Memperkuat Masyarakat Adat Dayak, Dasar Kalimantan Tengah Bahadat – Alamat: redaksi@radarsampit.com atau  meldiwa@yahoo.com.sg – Kusni Sulang adalah salah seorang kolumnisnya. Dimuat di sini atas persetujuan penulisnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *