Petak Tahaseng Pambelum (Tanah adalah Nafas Kehidupan): Pidato Kusni Sulang


Penyunting Naskah Pidato: Andriani SJ Kusni | Redaktur: Heru | Tata Letak: Danny
Selamat pagi!
Mengharapkan kesejahteraan dan kesehatan untuk semua. Orang Katingan dahulu menyalami sesama dengan: “Hari! Has Eh!” Dijawab: “Has Eh!” Dengan kesejahteraan dan kesehatan itu, lalu kita berjuang untuk selalu berkembang maju dari hari ke hari, bukan lari ke belakang yang terpuruk. Berkembang maju dari hari ke hari ini yang dengan kata-kata lain disebut “Manggatang Utus”. Bagaimana kita bisa berkembang maju dari hari ke hari?
Hal paling mendasar yang harus dipenuhi dahulu untuk maju adalah kita tidak lapar. Ada yang menjadi pengisi perut. Adanya pengisi perut saja tidak cukup karena adanya pengisi perut yang tidak bergizi membuat otak kita tidak berkembang, membuat tingkat kecerdasan kita rendah yang dalam bahasa menterengnya disebut stunting, membuat kita tidak mampu bersaing, tidak bisa tumbuh berkembang menjadi anak manusia sepenuhnya, lalu menimbulkan berbagai macam penyakit masyarakat. Tidak sakit tapi tidak sehat.
Mengingat kepentingan dasar yang hingga hari ini masih menjadi persoalan utama kita, maka pada perayaan Hari Tani Nasional 24 September ini, Borneo Institute menawarkan slogan “Bertani Kita Teguh, Tidak Bertani Kita Runtuh” yang kami bahasa Dayak-kan menjadi “Malan Itah Bésuh, Diá Malan Itah Déruh”. Dengan malan-manana, malan-bakabun, kita mempunyai beras, mempunyai sayur–mayur dan lauk-pauk yang bergizi. Kalau kita tidak malan maka kadéruh akan datang mengganggu kehidupan kita. Untuk malan-bakabun, syarat utama dan pertama-tama yaitu ketersediaan tanah karena kita tidak bisa malan-manana di udara. Tanah jadinya adalah nafas kehidupan. Pétak tahaséng pambélum.
Malangnya, luas tanah garapan di Kalimantan Tengah (Kalteng) pada tahun 2009 hanya tersisa 20 persen dari luas Kalteng yang besarnya 1,5 kali Pulau Jawa. Jumlah ini pada tahun 2022 tentu tidak akan makin membesar tapi sebaliknya kian mengecil.
Kebun kelapa sawit, tambang, taman nasional, daerah konservasi, pengusahaan hutan adalah raksasa lapar tanah. Sekarang ada program nasional baru yaitu food-estate yang dalam praktek juga ibarat raksasa lapar tanah. Keadaan menjadi kian parah ketika izin untuk perusahaan-perusahaan diobral bahkan ada yang melampaui batas kabupatennya.
Keadaan ini membuat munculnya tuan tanah-tuan tanah baru di Kalteng. Karena itu, ada saya temukan, untuk ratusan penduduk sebuah desa, yang bertani, yang malan manana tinggal 16-an orang. Mungkinkah jumlah 16-an orang yang malan-manana ini memenuhi keperluan pangan ratusan warga desa? Tentu tidak dan pasti tidak. Akibatnya, desa jadi tergantung pada bahan pangan dari luar. Sedangkan dahulu, tiap keluarga di léwu-léwu (nama dari desa adat Dayak Kalteng) mempunyai karangking, lumbung padi. Akibat lain, berlangsung tanpa henti proses pemiskinan yang melahirkan budaya kemiskinan dan kemiskinan budaya.
Hari ini, kita merayakan Hari Tani, perayaan ketiga di Kecamatan Manuhing Raya. Penetapan tanggal 24 September sebagai Hari Tani Nasional diteken Presiden Soekarno dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 169 Tahun 1963. Tanggal ini bertepatan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960).
Kemiskinan dan banyaknya petani tak bertanah dan petani gurem merupakan latar belakang kelahiran UUPA. Sebelum pengesahan UU ini, oleh DPR-GR sejumlah panitia telah dibentuk sejak tahun 1948. Panitia-Panitia itu antara lain:
- Panitia Agraria Yogya (1948)
- Panitia Agraria Jakarta (1951)
- Panitia Soewahjo (1955)
- Panitia Negara Urusan Agraria (1956)
- Rancangan Soenarjo (1958)
- Rancangan Sadjarwo (1960)