Tiga Ada: Prasyarat Regenerasi Kebudayaan



Menurut Krissusandi Gunui’, Ketua Laja Lolang Basua’ (LLB), saat menjadi nara sumber dalam seminar tersebut mengatakan revitalisasi mendesak dilakukan karena regenerasi pengetahuan menenun kain “kebat” nyaris punah.
“Lebih 50 tahun tidak dilakukan lagi meskipun ada beberapa alatnya disimpan warga sebagai barang warisan keluarga, ” ungkapnya.

Hal tersebut dibenarkan Polinus Limang (51), Kepala Adat Dusun Sungai Sepan yang banyak berperan dalam proses pencarian bahan dan pembuatan alat-alat menenun.
“Karena tidak tahu lagi kegunaannya, beberapa alat tenun yang diwariskan oleh nenek mereka, akhirnya ada yang disimpan begitu saja di dulang tempat makan babi hingga banyak yang telah punah,” ungkap Limang, yang juga seorang manang, tukang ukir sandung dan pentik serta guru silat ini.
Keberlanjutan dan Tantangan
Maria Masni (57), pengajar kerajinan menenun yang berasal dari Dusun Setapang Engkabang mengharapkan agar praktik kerajinan menenun dapat dilanjutkan.

“Saya sangat berterima kasih kepada LLB yang mempercayakan saya untuk mengajar menenun kain “kebat” ini kepada kelompok belajar di Sungai Sepan. Semoga praktik menenun kain “kebat” ini bisa dilanjutkan ke depannya sehingga semakin banyak perempuan Iban Sebaruk bisa menenun,” harapnya.
Menurut Maria Masni, kesulitan yang dirasakan selama mengajar menenun di Dusun Sungai Sepan adalah membagi waktu sehingga kadangkala praktik menenun pun dilakukan pada malam hari.
“Memang kampung saya dengan Sungai Sepan tidak terlalu jauh, tapi tidak mudah dilalui. Waktu luang saya dan waktu luang ibu-ibu di Sungai Sepan pun tidak selalu cocok. Jadi, harap maklum kalau kadangkala praktik menenun kita lakukan malam hari,” tuturnya.
Tantangan lain adalah membuat motif awal saat memulai menenun. “Akhirnya hanya 2 orang saja yang bisa membuat motif awal, yang lainnya belum bisa,” pungkas Maria Masni. [*]