Pentingnya Pelatihan Jurnalistik Berperspektif Masyarakat Adat dan Advokasi bagi Kaum Muda

1.839 Views

Karakteristik karya tulis jurnalis berperspektif Masyarakat Adat dan advokasi harus “berpihak” karena menyuarakan suara-suara yang tak terdengar” (Voice of Voiceles).

Lihat juga: https://kalimantanreview.com/negara-bertindak-tambang-bodong-ancam-borneo/

Dalam pelatihan lanjutan tersebut pendamping mengajak peserta latihan menulis tentang objek atau peristiwa di sekitar komplek tempat pelatihan. Setiap penulis diminta melengkapi tulisannya masing-masing dengan foto dan data lain yang sesuai. Lalu, mendeskripsikan objek maupun peristiwa tadi secara lengkap dengan narasi yang memuat ketentuan standar 5 W + 1 H. Peserta wajib menjelaskan pengalamannya masing-masing. Selanjutnya dipandu pendamping, tiap tulisan di-review bersama-sama tentang struktur dan isinya.

Bagi anak muda, latihan menulis penting untuk membangun daya kritis dan kepekaan terhadap berbagai persoalan dan potensi-potensi di komunitasnya. Anak-anak muda senang melihat realitas dari berbagai perspektif. Anak muda notabene adalah generasi internat. Cepat dalam mencari informasi. Paling aktif membangun interaksi dan mengoptimalkan jejaring media sosial.

Anak muda tidak mau ketinggalan. Untuk itu, ia selalu eksis dan mengekspresikan opininya. Oleh karena itu, melalui media sosial, anak muda dapat meningkatkan partisipasinya ke ranah publik, baik untuk perubahan sosial, kebijakan maupun perubahan politik. Inilah pentingnya anak muda mengoptimalkan media sosial. Tidak sekadar untuk eksistensi, tapi untuk mengekspresikan gagasan tentang perubahan.

Suasana pelatihan menulis. Alat tulis dan HP wajin dioptimalkan pemanfaatannya untuk menghasilkan sebuah tulisan sesuai pilihan tema masing-masing.

Menulis, Menulis dan Menulis

Menjadi penulis harus dimulai dengan niat. Lalu menulis, menulis dan menulis, serta tidak jemu mengumpulkan data dan informasi. Data dan informasi diperoleh dari berita di radio maupun TV, membawa buku, diskusi dengan kawan, media online maupun media cetak. Apabila sudah menjadi kebiasaan, maka bagaikan pepatah mengatakan a la bisa karena biasa. Dari tidak biasa menjadi biasa. Dari tidak bisa menjadi bisa. Inti dari praktik menulis adalah melakoni proses perubahan.

Praktik menulis mesti dijalankan dengan modal semangat dan motivasi yang menyenangkan, fokus, punya komitmen dan kemauan kuat, konsistensi serta disiplin. Itulah prasyarat untuk menghasilkan tulisan yang enak dibaca orang lain. Jadi hakikat dari praktik menulis ialah proses untuk terus menjadi.

Lihat juga: https://kalimantanreview.com/tiga-langkah-mengubah-nasib-masyarakat-adat/

Jika berhasil menjalani berbagai prasyarat tersebut, maka para penulis muda, dengan kapasitas dan daya kritisnya mampu menyuarakan persoalan ketidakadilan di komunitas, kemiskinan, diskriminasi dan marjinalisasi Masyarakat Adat ke hadapan publik. Termasuk menghasilkan tulisan etnografis tentang potensi kebudayaan dan kearifan lokal di komunitas.

Kerja-kerja jurnalistik di komunitas di Kab. Bengkayang dan Sambas, dari mana peserta berasal juga dapat menulis tentang topik advokasi tentang pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat dan wilayah adat.

Intinya anak-anak muda maa kini, sebagai generasi internet memiliki peluang yang besar dalam mengoptimalkan media sosial dan media arus utama untuk meningkatkan advokasi dan kampanye potensi budaya, serta berbagai situasi dan persoalan di komunitasnya.

Harapan Anak Muda

Dari semua peserta, dua di antaranya dapat dipaparkan di sini. Buyono, pemuda asal komunitas Bakatik dari Bare antusias mengikuti pelatihan. Ia berharap dapat menuliskan kecenderungan-kecenderungan anak muda di kampungnya. Topik yang menurutnya jarang diangkat ke hadapan publik.

“Saya ingin menulis tentang situasi, dilema dan kecenderungan yang dialami kaum muda di kampung kami,” pungkas Buyono optimis. Lain lagi Wiwik, pemudi Dawar ini berkomitmen akan menyuarakan persoalan yang dihadapi kampungnya yang tersandera status kawasan Cagar Alam.

“Dari pengetahuan yang diperoleh dalam pelatihan ini, saya akan menulis masalah kawasan Cagar Alam yang masuk wilayah kampung kami. Dampaknya nyata sekali. Beberapa tahun ini ketika warga mau membakar lahan yang sudah ditebas untuk ladang, tiba-tiba helikopter datang ngebom air. Kami tak terima perlakuan sewenang-wenang ini. Apalagi kami tinggal di kampung ini sudah turun-temurun,” pungkas Wiwik setengah geram. [*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *