Tiga Langkah Mengubah Nasib Masyarakat Adat

1.139 Views

Oleh: R. Yando Zakaria

Meski ditolak Fraksi Partai Golongan Karya, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) kembali masuk program legislasi prioritas di tahun 2021 ini. Pasca ditetapkan dalam rapat paripurna DPR RI akhir tahun 2019 lalu, RUU ini memang tidak terlalu jelas nasibnya.

Konon DPR RI sendiri belum juga menyurati Presiden agar Pemerintah kembali mengagendakan pembahasan. Pada periode pemerintahan yang lalu Pemerintah gagal menyusun DIM. Peluang berulangnya kejadian ini menghantui para pihak yang peduli.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bereaksi keras: GOLKAR BERKHIANAT!, seru mereka dalam pernyataan sikap yang dipublikasikan secara luas tak lama berselang. Anggapan Fraksi Golkar bahwa RUU Masyarakat Adat tidak mendesak “menunjukkan sikap Fraksi Golkar yang terang-terangan menutup mata terhadap berbagai persoalan pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat, perampasan wilayah adat, pengusiran paksa, kriminalisasi dan kekerasan yang masih terus terjadi di berbagai komunitas Masyarakat Adat di Indonesia,” demikian salah satu butir pernyataannya. Selain itu, dikatakan pula, “sikap ini merupakan sikap yang berbahaya oleh wakil rakyat, karna menganggap persoalan rakyat tidak penting untuk dibicarakan”.

Tak berubah

Jika dicermati, hampir tidak ada perubahan yang berarti antara RUU MHA versi tahun 2019 dan versi tahun 2018. Perubahannya hanya bersifat redaksional semata. Dengan begitu, sembilan kelemahan yang pernah saya sampaikan beberapa waktu lalu tetap relevan (Mingguan TEMPO, 27 April 2019).

Dalam bahasa perumusan UU, kesembilan permasalahan itu menyangkut aspek formil, aspek substansi, dan aspek dampak pemberlakukan regulasi. Misalnya, dari aspek formil, judul yang kemudian digunakan DPR RI tidak sesuai dengan agenda prolegnas yang menyebutkan ‘RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat’.

Penyebutan judul ‘RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat’ itu tentu tidak sembarangan dan punya alasan tertentu yang terkait dengan amanat konstitusi. Kita semua tahu bahwa hasil amandemen konstitusi melahirkan dua terma yang ‘serupa tapi tak sama’: masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional.

Untuk mengurus dua mandat konstitusi ini para perumus kebijakan harus berani melakukan terobosan untuk melahirkan nomenkaltur baru (masyarakat adat). Toh, masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional itu, dalam bahasa konstitusinya, sekedar nama fungsi.

Dari aspek substansi setidaknya ada 7 (tujuh) hal yang perlu dipikirkan ulang. Salah satu yang terpenting adalah bahwa RUU MHA terperangkap pandangan romantik. Setelah ditetapkan, sebuah logika hukum yang juga bermasalah, MHA tidak boleh/tidak bisa berubah. Melalui suatu proses evaluasi yang dilakukan oleh pihak luar, jika sudah tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam UU, maka hak MHA akan dihapus keberadaannya. Tanah adat menjadi tanah negara. Padahal, UUPA saja membuka ruang perubahan status tanah adat menjadi tanah privat cq. tanah perorangan yang disebut sebagai tanah ex-tanah adat.

Fakta ini menguatirkan. Sebab, dari sudut kepentingan masyarakat adat, penetapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak banyak memberikan pengaruh yang positif bagi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat ke depan. Beberapa pasal yang berpihak malah terancam mandul karena masih akan berhubungan dengan kerangka regulasi yang sulit dipenuhi oleh masyarakat adat (Zakaria, 2018 & Zakaria, et.al., 2020). Peluang terjadinya situasi yang lebih buruk justru jauh lebih besar.

Warisan kolonial

Maka, tidak belebihan jika ada yang berharap masa depan masyarakat adat digatungkan pada hadirnya undang-undang yang berpihak kepada kepentingan masyarakat adat. Tentu, syaratnya, RUU yang kini di tangan DPR RI perlu dirombak total!

Sebuah harapan yang tidak berlebihan. Sebab, keberadaan Pasal 67 ayat (2) UU 41/1999 tentang Kehutanan yang mengatur bahwa hak masyarakat adat akan diakui jika keberadaan subyeknya telah ditetapkan melalui peraturan daerah tidak disentuh (baca: diubah) oleh UUCK 11/2020. Sementara, setidaknya ada dua undang-undang lain dalam UUCK 11/2020 yang yang mengatur pengakuan hak masyarakat adat dengan logika hukum yang sama. Masing adalah adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Daerah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Daerah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.

Masalahnya UUCK 11/2020 sendiri tidak mengatur hal ini. Maka, jika muncul spekulasi yang beranggapan bahwa logika hukum Pasal 67 ayat (2) UUK 41/1999 yang akan diacu adalah suatu yang wajar saja. Presedennya pernah ada. Pasca keluarnya Putusan MK 35/2012 yang mempertahankan keberadaan Pasal 67 ayat (2) UUK 41/1999 kebijakan pertanahan/agraria yang sebelumnya tidak menganal logika pengakuan bertahan itu, ikut-ikutan mengatur hal yang sama. Seperti yang terjadi pada Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *