Organisasi Arsitek, Sejarawan, Arkeolog, dan Antropolog Tolak Pembongkaran Gedung KONI Kalimantan Tengah

2.156 Views
Gedung KONI Kalimantan Tengah Tampak dari Depan.

Penolakan terus terjadi

Dukungan pada penolakan terhadap rencana pembongkaran Gedung KONI Kalteng di Jalan Tjilik Riwut, Palangka Raya itu terus berdatangan. Rabu (3/4/2024), Ketua GMKI Cabang Palangka Raya, Nadi Kodun S. Runjan, seperti dirilis Kalimantantoday.com, meminta Gubernur bersama jajarannya di Pemprov Kalteng mempertimbangkan kembali dan menerima aspirasi para pihak, seperti pemuda, tokoh masyarakat, dan penggiat kebudayaan Kalteng.

“Sangat disayangkan jika gedung bernilai sejarah Kalteng diruntuhkan. Para pemuda bisa belajar dari situs-situs sejarah awal pembangunan Kalteng, di antaranya dari gedung KONI Kalteng tersebut,” pungkas Nadi.

J.J. Kusni – Tokoh Kebudayaan Kalteng: Gejala Umum di Indonesia

Sehubungan dengan pembongkaran Gedung KONI Kalteng tersebut, J.J. Kusni menilai bahwa penghancuran gedung-gedung dan benda-benda sejarah akan memiliki andil dalam mengatakan bahwa Dayak tidak punya sejarah. Tokoh kebudayaan Kalteng ini mengatakan pembongkaran Gedung KONI Kalteng jelas memperlihatkan minimnya pemahaman sejarah para pengambil keputusan.

Saat ditanya pendapatnya oleh Kepala Disbudpar Kalteng, Adiah Chandra Sari, S.H., M.H, Kusni mengatakan, khusus untuk Kalteng, ia mensinyalir ada usaha pihak luar non Dayak mau menunjukkan bahwa Dayak tidak punya sejarah, karena tidak punya sejarah sama dengan primitif. Pahlawan-pahlawan Dayak diklaim sebagai pahlawan pihak lain, padahal peninggalan dan bukti-bukti memperlihatkan mereka adalah pahlawan asal Dayak. Penghancuran gedung-gedung dan benda-benda sejarah akan mempunyai andil dalam mengatakan Dayak tak punya sejarah.

Papan Nama Gedung KONI Provinsi Kalimantan Tengah.

Lebih lanjut, menurutnya, penghancuran gedung-gedung dan benda-benda sejarah bisa berdampak pada berkembangnya “bunuh diri budaya” dan rasa rendah diri pada Dayak. Ia mengingatkan hal tersebut bisa membuat Dayak merasa menjadi Dayak sebagai suatu yang tidak membanggakan. Sejarah lama kembali terulang, Dayak malu mengaku Dayak, Dayak menyangkal dirinya sendiri.

“Banyak sudah gedung-gedung bersejarah di Palangka Raya ini dihancurkan. Rumah Jabatan Gubernur Tjilik Riwut diratakan dengan tanah dan dijadikan restoran, padahal sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Gedung Tunjungnyahu di jalan Kartini, Gedung Awal UNPAR juga bernasib demikian. Kuburan Kaharingan di jalan Flores dibinasakan, awalnya dijual untuk lahan mendirikan mall (Red: Pusat Perbelanjaan). Masjid tertua di jalan Kalimantan tidak diindahkan, pencurian “sapundu” tidak juga diperdulikan karena alasan tidak masuk cagar budaya. Penghancuran gedung-gedung dan benda-benda sejarah menjadi gejala umum di Indonesia,” pungkas Kusni yang juga kolumnis halaman Masyarakat Adat di Harian Radar Sampit ini.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *