Adakah Bahaya Genosida dan Etnosida di Kalteng?


Penulis: Kusni Sulang | Penyunting: Andriani SJ Kusni
Mengutip wikipedia.org/wiki, genosida adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau sekelompok suku bangsa dengan maksud memusnahkan (atau membuat punah) bangsa tersebut.
Kata ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan di Amerika Serikat. Kata ini diambil dari bahasa Yunani: γένος – genos yang bermakna ‘ras’, ‘bangsa’ atau ‘rakyat’, dan bahasa Latin: caedere yang bermakna membunuh.
Baca juga: https://kalimantanreview.com/dayak-bukan-budak-bapak-bapak/
Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
Menurut Statuta Roma dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, genosida ialah “perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain”.
Rumusan yang tidak jauh berbeda diberikan oleh encyclopedia.ushmm.org berikut ini: [G]enosida berarti tindakan apa pun berikut ini yang dilakukan untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, ras atau agama, seperti:
- Membantai anggota kelompok;
- Menyebabkan kerusakan fisik atau mental yang serius terhadap anggota kelompok; secara sengaja memberikan kondisi hidup yang tidak menyenangkan kepada kepada kelompok masyarakat yang diperhitungkan akan menimbulkan pengrusakan fisik secara keseluruhan atau separuhnya;
Menerapkan tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok masyarakat; - Secara paksa memindahkan anak-anak dari suatu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya.
Kompas.com dengan judul “5 Kejahatan Genosida yang Pernah Terjadi di Indonesia” memberikan contoh genosida yang pernah terjadi di Indonesia yaitu Geger Pecinan 1740 yang juga dikenal dengan nama Tragedi Angke; Genosida Pembangunan Jalan Raya Pos (1808-1811); Peristiwa Mandor (1943-1945); Pembantaian yang dilakukan oleh pasukan elite Belanda di bawah pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling di Sulawesi Selatan pada akhir tahun 1946 hingga awal tahun 1947 dan Pembantaian G30S yang terjadi pada 30 September 1965 atau 1 Oktober 1965—merupakan salah satu kasus genosida terbesar yang pernah terjadi di Indonesia.

Etnosida merujuk kepada eksterminasi budaya nasional sebagai komponen genosida. Ketika membahas masalah sejarah hukum dan akademik dari pemakaian istilah genosida dan etnosida, Bartolomé Clavero (1947-2022), ahli hukum dan sejarawan Spanyol, yang berspesialisasi dalam sejarah hukum, profesor penuh tetap di Universitas Sevilla, membedakan etnosida dan genosida dengan menyatakan, “Genosida membunuh orang sementara etnosida membunuh budaya sosial melalui pembunuhan jiwa-jiwa individual.”
Apakah ada bahaya genosida dan etnosida di Kalteng? Atau apakah pertanyaan yang menjadi judul Catatan ini sinyalemen terlalu ekstrim dan jauh dari kenyataan atau tidak berdasar?
Baca juga: https://kalimantanreview.com/pembangunanpengorbana/
Pada abad ke-19, Raja Putih, nama lain dari James Brooke (1841-1863) yang menguasai Sarawak kala itu berpesan kepada Orang Dayak, “Kumohon dengarkanlah kata-kataku ini dan ingatlah baik-baik: Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak di sini lagi, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemah-lembutan, untuk merampas apa yang sesungguhnya hakmu yakni tanah di mana kalian tinggal, sumber penghasilan kalian, dan bahkan makanan yang ada di mulut kalian. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini.”
Inti pesan ini tidak lain peringatan akan bahaya penyingkiran terhadap Orang Dayak dengan merampas “sumber penghasilan kalian, dan bahkan makanan yang ada di mulut kalian”, yang hari ini sudah bukan khayalan atau ramalan tapi menjadi kenyataan, disebabkan oleh faktor luar dan dalam (internal) Dayak sendiri.
Baca juga: https://kalimantanreview.com/pertemuan-tumbang-anoi-1894-titik-hitam-dalam-sejarah-dayak/
Faktor luar: Pada masa berkuasa pemerintah kolonialis Belanda menerapkan politik desivilasi yang dinamai ‘ragi usang’ yang memandang kebudayaan Dayak secara keseluruhan tidak lain dari ‘ragi usang’ dan diberlakukan dengan intensitas tinggi setelah Pertemuan Tumbang Anoi 1894 yang oleh sementara pihak dipandang sebagai ‘fajar peradaban Dayak’ padahal sesungguhnya tidak lain dari titik hitam dalam sejarah Dajak.
Dayak disebut Dajakers, nama dari segala kejelekan, keburukan dan ketertinggalan. Agresi kebudayaan terus-menerus sampai hari ini menumbuhkan rasa rendah diri pada Orang Dayak–hal yang mungkin tidak disadari hingga hari ini.
Kesombongan adalah sisi lain dari satu mata uang bernama rendah diri itu. Akibatnya, pada suatu periode, hingga paling tidak 1992, tidak sedikit Dayak yang malu mengakui diri Dayak.
Pada masa pasca-kolonial, Orang Dayak dilucuti secara kebudayaan dan organisasi. Melalui UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa, organisasi pemerintahan dan masyarakat léwu Dayak dilikuidasi. Pelucutan secara ideologis dan organisasi ini menyebabkan Orang Dayak kehilangan alat berjuang.
Perampasan alat produksi utama yaitu tanah, dilakukan baik oleh politisi-pebisnis maupun oleh perusahaan-perusahaan besar swasta (PBS), taman nasional dan yang disebut daerah konservasi. Menurut Tim Peneliti dari Universitas Gadjah Mada pimpinan Cornelis Lay, pada tahun 2009 dari luas Kalimantan Tengah yang 1,5x Pulau Jawa, tersisa hanya 20 persen lahan garapan. Sisa ini sekarang tentu makin berkurang karena dengan berbagai cara, penjarahan lahan terus berlangsung.