Adakah Bahaya Genosida dan Etnosida di Kalteng?

1.650 Views

Oleh karena itu, Cornelis Lay dkk. dalam laporan riset mereka melihat penduduk Kalimantan terancam menjadi ‘landless people’. Ketika alat produksi utama  lepas dari tangan, proses pemiskinan pun terbuka lebar. Hubungan dalam keluarga intipun rusak karena soal konflik lahan.

Faktor luar lain yang sangat merusak kehidupan masyarakat Dayak adalah penggundulan hutan. Lima wilayah teratas bertanggung jawab atas 58% dari semua kehilangan tutupan pohon antara 2001 dan 2023, yakni: 1) Kotawaringin Timur 632 kha; 2) Seruyan 429 kha; 3) Kapuas 424 kha; 4) Katingan 362 kha; 5) Pulang Pisau 323 kha.. Kotawaringin Timur mengalami kehilangan tutupan pohon paling banyak sebesar 632 kha dibandingkan dengan rata-rata sebesar 267 kha.

Penggundulan hutan secara membabi-buta itu terlukis melalui peta laju penggundulan hutan  di bawah ini.

Menurut data www.globalforestwatch.org,  dari 2002 sampai 2023, Kalimantan Tengah kehilangan 1.69 Mha hutan primer basah, menyumbang 46% dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode yang sama. Area total hutan primer basah di Kalimantan Tengah berkurang 19% dalam periode waktu ini.

“Sejak tahun 2001 hingga 2023, Kalimantan Tengah kehilangan 3.74 Mha tutupan pohon, setara dengan penurunan 26% tutupan pohon sejak tahun 2000, dan setara dengan 2.81 Gt emisi”, sedangkan hutan merupakan salah satu sumber mata pencaharian penduduk.

Selanjutnya, mengikuti penggundulan hutan ini, Tanah Dayak sudah menjadi langganan banjir dan kebakaran. Tak aman untuk hidup, terutama bagi warga akar rumput.

Sebelas sungai besar utama di Kalimantan Tengah tidak ada satupun yang bebas air raksa (mercury), tapi justru air beginilah yang terpaksa dikonsumsi penduduk pinggiran sungai-sungai tersebut.

Sungai-sungai menjelma jadi tong sampah raksasa. Apa yang bisa diharapkan dari generasi yang lahir dari air-raksa dan narkoba yang datang bersama invasi masif investasi? Generasi air-raksa dan narkoba bisa disebut secara pasti adalah angkatan-angkatan Dayak yang hilang.

Maraknya perkembangan ‘peti’ karena hanya dengan penambangan emas tanpa izin sajalah keluarga di daerah pedesaan bisa menghidupi keluarga. Pendapatan dari rotan dan getah yang sangat rendah tidak lagi bisa diharapkan.

Kesulitan dan beban hidup kian menghimpit ketika terbit peraturan pemerintah yang melarang penduduk membuka lahan berladang dengan cara tradisional ‘manyéha tana’, tanpa memberi jalan alternatif. Akibat terbitnya larangan ini, budaya handep mulai melenyap, jumlah petani ladang merosot drastis, untuk hidup sehari-hari warga desa makin tergantung pada pihak luar, termasuk keperluan akan air bersih.

Dari segi demografis, komposisi demografis Kalimantan Tengah hari ini menempatkan etnik Dayak berada pada posisi yang sudah minoritas seperti diperlihatkan oleh tabel berikut:

Kemudian pada tahun 2023, Arief Budiatmo, mantan anggota DPRD Kalteng, Dewan Penasehat Paguyuban Kulowargo Wong Jowo (Pakuwojo) Provinsi Kalteng mengatakan bahwa dari seluruh masyarakat Kalteng, diperkirakan 34 persennya orang Jawa (https://kalteng.co/politika/tokoh-jawa-menilai-abdul-razak-layak-jadi-gubernur-kalteng/).

Perubahan komposisi demografis ini tentu saja berpengaruh besar pada berbagai sektor, apalagi bidang politik. Koalisi etnik Jawa dan Banjar saja sudah membuat mereka memenangi pilkada dan menjadi mayoritas di DPRD. Pintu untuk Dayak berada di pucuk pimpinan utama daerah makin sempit kalau bukan sudah terkunci.

Apalagi kebiasaan ‘hakayau kulae’, pola pikir dan mentalitas ‘uras pangkalima’ membuat persatuan Dayak menjadi sesuatu yang sulit terwujud. Ditambah oleh pandangan hedonistik “dia jadi bari’ memudahkan Dayak menjual diri dan martabat, tanpa kemampuan mempertahankan prinsip Dayak sebagai ‘réngan tingang nyanak jata’ (anak enggang, putera-puteri naga) yang merupakan Utus Panarung.

Baca juga: https://kalimantanreview.com/kekerasan-dalam-kebudayaan-tradisi-ataukah-eksibisi/

Prinsip-prinsip ini nampaknya hanya kesimpulan para leluhur, bukan lagi milik angkatan Dayak hari ini yang nampak kian asing dari dirinya sendiri. Hari ini pun memperlihatkan fenomena bunuh diri budaya di kalangan Dayak sehingga masalah yang dihadapi Dayak sekarang jauh lebih serius dari ‘témpun pétak batana saré, témpun uyah batawah bélai, témpun kajang bisa puat’ (punya tanah berladang di tepi, punya garam hambar di rasa, punya atap basah muatan), tapi sejauh mana Dayak bisa tetap ada dan berkembang seniscayanya di kampung kelahiran mereka sendiri.

Ketika membaca keadaan sekarang, saya mempertanyakan: Tidak adakah bahaya genosida dan  etnosida di Kalimantan Tengah yang dulu oleh alm. Prof. Mubyarto disebut sebagai ‘Provinsi Dayak’?

Kalau ada, apa jalan keluar yang patut diambil? Jawaban dan tindakan konkret patut diberikan sesuai pandangan Dayak tentang waktu: ‘mangalanja laju kilat matanandau’ (melomba kecepatan kilat dan matahari) sebab pasti ‘seribu tahun terlalu lama’.***

Tulisan yang sama pernah dimuat di rubrik halaman masyarakat adat pada media Harian Radar Sampit

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *