Musdat ke-2 Dayak Desa Tahun 2022: Kesuksesan dan Tantangan

2.404 Views

Wilayah kerajaan Hulu Aiq meliputi seluruh Pulau Kalimantan termasuk Sarawak, Sabah dan Brunei Darussalam. Di antara 9 desa itu, selain Puring-Katingan dan Buliq-Belantiq (di Kalteng), juga disebutkan Desa Darat Pantai Kapuas sepanjang Sungai Kapuas dan anak-anak sungainya (hlm. 168). Yang disebut terakhir itu sesuai dengan sebaran wilayah geografis hunian orang Dayak Desa yang berada di berbagai kampung di sepanjang Sungai Kapuas dan anak sungai Kapuas, baik di wilayah Kec. Meliau maupun Toba.

Untuk menandai dan mempertegas pengaruh Kerajaan Adat Hulu Aiq, orang Dayak Desa membangun rumah adat dan keramat adat yang menunjukkan jejak-jejak Kerajaan Adat Hulu Aiq. Di antaranya Keramat adat Tiang Bendera Tungkat Rakyat Bosi Koling Desa Sembilan Demung Sepuluh di Dusun Ensunak (Desa Enggadai), Keramat adat Tiang Bendera Tungkat Rakyat Bosi Koling di Desa Meranggau, Keramat adat Batu Pedagi Datuk Tua Desa Sembilan Demung Sepuluh di Modang Desa Bagan Asam.

Tantangan

Demi mempertahankan eksistensi kebudayaannya, khususnya dalam konteks ritual adat, seorang tukang puawang/pawang Dayak Desa terlebih dahulu mengucapkan “assalamu alaikum” kemudian diikuti dengan melakukan gerakan tanda salib secara terbalik untuk memulai ritual adatnya.

Hal itu menunjukkan pengaruh Islam dan Katolik secara verbal dan non-verbal, meski tergolong artifisial atau permukaan saja. Nilai religio spiritual adatnya, tidak terpengaruh sama sekali.

Fenomena tersebut dapat disebut sebagai suatu wujud strategi kebudayaan orang Dayak Desa yang telah menjadi cara hidupnya (way of life) dari masa ke masa. Hasil dari proses pelajaran manusia Dayak Desa dalam lintasan zaman yang dinamis. Dinamika kebudayaan Dayak Desa ini relevan dengan pernyataan C.A. van Peursen dalam “Strategi Kebudayaan” (1988). Antropolog ini mengatakan bahwa kebudayaan itu sebagai suatu proses pelajaran yang terus menerus sifatnya di mana kreativitas dan inventivitas merupakan faktor penting yang saling terkait dengan pertimbangan-pertimbangan ethis.

Agar bisa eksis terus, itulah yang dilakukan orang Dayak Desa. Dengan mengambil (sedikit) pengaruh dari budaya luar itu,  manusia Dayak Desa mengambil tanggung jawab atas situasinya sembari melihat kemungkinan-kemungkinan baru sebagai manusia Dayak Desa yang utuh, bebas merdeka dan bertanggung jawab.

Kemudian, selain hukum adat yang masih menjadi pegangan kuat dalam penyelesaian berbagai jenis perselisihan, adat istiadat dalam pengobatan orang sakit seperti “badewa” juga masih dapat dijumpai di masyarakat Dayak Desa.

Dalam adat “Beuma Betaun”, orang Dayak Desa melaksanakan serangkaian ritual adat yang menandai setiap tahapan perladangan mereka. Ritual adat mensyaratkan peraga adat yang cukup beragam pula seperti ayam, telur, beras kampung, ketan, kapur sirih pinang, bokor, talam, tempayan (ukuran sesuai jenis adat), pelita, mangkuk, piring, dll.

Sekarang dari tahun ke tahun, orang Dayak Desa yang berladang semakin sedikit. Ini karena lahan dan hutan yang mereka miliki sudah semakin sempit. Mereka sulit menghindari proses pengalihan fungsi hutan dan lahan untuk pengembangan kelapa sawit dan tambang. Realitas ini dihadapi orang Dayak Desa baik di wilayah Kec. Meliau maupun Toba serta Sekucing Labai di wilayah Kec. Simpang Hulu Kabupaten Ketapang.

Sekedar contoh saja, di wilayah hukum adat Dayak Desa terdapat perusahaan industri ekstraktif berbasis hutan dan lahan baik pertambangan maupun perkebunan kelapa sawit. Perusahaan tambang di antaranya adalah PT. DSM (Dinamika Sejahtera Mandiri) menambang bauksit di wilayah Toba dan Sansat Kec. Teraju. Kemudian PT. ANTAM (Aneka Tambang) menambang bauksit di wilayah Desa Cupang Kec. Meliau.

Sedangkan usaha perkebunan kelapa sawit milik PT. SJAL (Sumatera Jaya Agro Lestari) terdapat di wilayah Kunyil dan Baru Lombak Kec. Meliau dan di Bagan Asam Kec. Toba. Kemudian PT.  AAC (Agro Abadi Cemerlang) mengembangkan industri perkebunan kelapa sawit di wilayah Enggadai Kec. Meliau.

Penetrasi modal dalam industri berbasis hutan dan lahan di wilayah orang Dayak Desa tak dipungkiri menimbulkan persoalan  sosial, ekonomi, ekologis dan politik. Akses dan kontrol mereka atas tata kuasa dan tata guna hutan dan lahan di wilayah (hukum) adatnya semakin menyusut.

Padahal, hutan, tanah dan air ibarat pilar yang menghubungkan sejarah dan budaya Dayak Desa dari generasi ke generasi. Ini misalnya ditunjukkan pada keberadaan keramat-keramat adat yang terpusat di mbang buah (tembawang atau laman buah), bukit-bukit atau gunung, hutan dan tanah-tanah keramat adat. Jika fungsi hutan, tanah, air dan komposisinya berubah maka sejarah, budaya dan skralitasnya terancam akan hilang.

Riset Institut Dayakologi juga mencatat bahwa di wilayah Dayak Desa kerap terjadi kasus perselisihan antara petani plasma dan inti atau koperasi dengan pihak perusahaan. Meskipun solusinya banyak menempuh jalan hukum adat, namun hal ini perlu menjadi perhatian ke depannya.

Di dalam keluarga, para orang tua Dayak Desa cenderung merasa bangga menggunakan bahasa Indonesia kepada anak-anak dan cucunya ketimbang bahasa Desa. Fenomena yang harus disadari secara kritis. Ini pekerjaan rumah besar dalam konteks pewarisan dan keberlanjutan bahasa dan budaya Dayak Desa.

Sejalan dengan itu, nama-dama jalan di areal perkebunan sawit yang dulunya bernuansa sejarah lokal, kini juga diganti dengan nama-nama baru. Tantangan bagi pewarisan nilai-nilai sejarah, bahasa dan kearifan lokal.

Meskipun orang Dayak Desa selalu mencoba bertahan dan eksis dalam situasi tantangan penetrasi modal dan pengaruh budaya luar, tapi kritik sosial dan kebudayaan di kalangan orang Dayak sendiri tetap penting dilakukan. Mengapa?

Kritik sosial dan kebudayaan penting agar manusia Dayak Desa senantiasa menyadari dalam situasi apa dan bagaimana keberlanjutan kehidupan holistik generasi mereka dijalankan ke depannya.

Penutup

Di atas kita telah diajak meneropong tantangan yang dihadapi masyarakat adat Dayak Desa, baik yang internal maupun eksternal. Masyarakat adat Dayak Desa memang sukses melaksanakan Musdatnya. Masyarakat adat Dayak Desa, de facto, memang  memiliki wilayah hukum adat dan kebudayaannya yang beragam. Bahkan praktik adat istiadat, hukum adat dan budayanya membuktikan mereka sebagai masyarakat adat. Identifikasi diri sebagai masyarakat adat memang paling utama sebelum pihak luar mengenal dan mengakui.

Akan tetapi, secara de jure, masyarakat adat Dayak Desa belum memperoleh penetapan dari bupati. Secara legal formal, untuk membuktikan wilayah hukum adat dan batas-batasnya itu, wilayahnya harus segera dipetakan secara partisipatif. Hal ini dikarenakan hanya warga adat di 4 wilayah hukum adatnya itulah yang saling mengetahui seluk beluk dan batas-batas alam wilayah hukum adatnya.

Sebagai tindak lanjut dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengamanatkan pengakuan Masyarakat Hukum Adat, maka Pemda Sanggau telah menerbitkan Perda No. 1 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Pemetaan partisipatif dapat dilakukan untuk mempercepat pendaftaran Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan pengakuan wilayah adatnya. Selama belum memperoleh penetapan dari Negara melalui SK Bupati, maka masyarakat adat Dayak Desa belum istimewa alias sama saja dengan masyarakat lain pada umumnya.

Amanat konstitusi sudah sangat jelas. UUD 1945, Pasal 18B (ayat 1) menyatakan Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang; Pasal 18B (ayat 2) menyatakan Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Jadi, bila kita lihat realitas posisi masyarakat adat Dayak Desa saat ini dalam sistem hukum daerah Kabupaten Sanggau, maka sejatinya Perda No. 1 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat belum secara nyata membumi di wilayah (hukum) adat Dayak Desa.

Pertanyaannya adalah apa arti Perda No. 1 Tahun 2017 bagi masyarakat adat Dayak Desa? MaTAB selaku organisasi tertinggi bersama seluruh elemen masyarakat adat Dayak Desa harus bisa melihat tantangan dan peluang ini, memaksimalkan peluang kebijakan hukum daerah demi pengakuan, perlindungan dan pemajuan hak masyarakat adat Dayak Desa.

Sebagai orang luar dan kerabat, saya turut menaruh harapan pada seluruh peserta Musdat agar membawa, mensosialisasikan dan terus mendalami kesepakatan-kesepakatan penting Musdat tersebut kepada anggota masyarakat di kampung masing-masing.

Signifikansinya adalah bahwa inti sari dari organisasi, hukum adat, sejarah, adat istaidat, budaya dan bahasa yang dimusyawarahkan tidak boleh sirna seiring usainya seremonial forum Musdat. Mesti segera “dipahamkan” di masyarakat Dayak Desa secara keseluruhan. Media sosial maupun media digital bisa dimaksimalkan khususnya untuk mereka di berbagai wilayah yang memiliki jaringan internet dan sinyal.

Beberapa kesepatan Musdat ke-2 itu baru akan bermakna apabila dilaksanakan efektif, berdasarkan niat baik dan berkelanjutan. Seluruh kesepakatan tersebut bisa lebih dikonkretkan lagi agar berguna sebagai baseline untuk:

(1) perencanaan program pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat Dayak Desa sebagai subjek hukum seturut mandat Perda No. 1 Tahun 2017;

(2) perencanaan program pemajuan kebudayaannya baik dalam aspek perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, pembinaan maupun pengelolaannya sesuai mandat landasan hukum daerah berupa Perda No. 6 Tahun 2019; (3) implementasi SK Bupati Sanggau No. 458 Tahun 2020 tentang Penetapan Mata Pelajaran Mulok Kurikulum 2013 pada Jenjang SD dan SMP. Ini peluang mendasar dalam pewarisan bahasa, nilai-nilai budaya dan kearifan lokal kepada anak-anak Dayak Desa melalui strategi pendidikan formal. [*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *