Tradisi Konstruktivisme Cocok Diterapkan di Masa Pandemi Covid-19
Oleh: Leo Sutrisno
Sudah sekitar tiga bulan pendidikan di Indonesia menerapkan belajar dari rumah. Kebijakan ini diterapkan untuk membantu pengurangan penyebaran Covid-19 dengan cara memperkecil frekuensi pertemuan langsung antar siswa dan guru.
Karena serba mendadak penerapan belajar dari rumah membuat semua yang terlibat terlihat tergagap-gagap. Para guru/dosen tergagap dalam menyiapkan bahan dan menyiapkan pedagoginya. Siswa tergagap untuk belajar secara mandiri dengan membaca teks. Para orang tua tergagap dalam menyiapkan sarana/peralatan daringnya. Dan, tentu pihak departemen tergagap dalam mencari cara mengontrolnya.
Mengapa tergagap? Karena, walaupun tidak banyak disadari, pendidikan di Indonesia menganut tradisi absolutisme. Dalam tradisi absolutisme, seluruh kegiatan pendidikan bersifat ‘dari atas’. Kurikulum disiapkan dan disusun oleh orang-orang tertentu yang ditunjuk dari atas. Pedagogi bersifat instruksi, guru menunjukkan yang benar. Dan, evaluasi berupa mencari yang benar. Yang benar menurut siapa? Benar menurut buku teks. Benar menurut guru. Karena itu, sangat sentralistik.
Begitu cara belajar dari rumah dilaksananakan, maka kebiasaan yang sentralistik menjadi tidak memadai. Mengapa? Karena sarana prasarana belum siap secara nasional. Kedua, karena para guru tidak mudah mengontrol cara belajar siswa maka siswa ‘terpaksa’ menggunakan berbagai sumber belajar yang tersedia di sekitarnya.
Mengingat belajar dari rumah ini masih akan dilajutkan sampai akhir tahun 2020 ada baiknya tradisi absolutisme, yang semuanya bersifat ‘dari atas’ secara perlahan ditinggalkan dan diganti dengan tradisi konstruktivisme.