Menyoal Sejarah Lokal dalam Media (Sosial) Disbudpar Provinsi Kalimantan Tengah

99 Views

Oleh: KUSNI SULANG (Penulis, Budayawan & Sejarawan Dayak)

Artikel ini bermula dari surat undangan kepada saya pada Juli 2024 lalu. Undangan itu dari Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Dr. Restu Gunawan, M.Hum, yang mengajak saya turut serta dalam acara Disbudpar Kalteng, diteruskan melalui Ibu Maria dari Disbudpar Provinsi Kalteng.

Ini merupakan suatu perhatian khusus dan penghargaan kepada saya, yang sesungguhnya tidak lain dari seorang pelajar mula dalam segala hal, seorang penanya yang mencari jawab, seorang pencari yang tak punya pelabuhan berlabuh dan tak punya tabu.

Baca juga: https://kalimantanreview.com/tentang-napak-tilas-pertemuan-tumbang-anoi-1894-memahami-diri-sendiri-melalui-sejarah/

Prinsip Penciptaan

Sebelum lanjut, saya ingin mengetengahkan beberapa premis mengenai pekerjaan kreatif, apa pun namanya. Paling tidak premis-premis inilah yang selama ini menjadi pedoman kerja saya.

Saya meyakini jika berhenti belajar, termasuk melakukan pengenalan terhadap masyarakat, jika mereka berhenti bertanya dan mencari, maka kematian semasa masih bernafas pun tiba sehingga saya menjadi zombie minus kebudayaan, apalagi perubahan maju. Jika seorang seniman, tapi tidak lagi punya keniscayaan belajar, termasuk riset, bertanya dan mencari, seniman itu sudah bukan seniman lagi, tapi tukang yang tanpa kegelisahan, yang tidak lagi berada setapak atau berada di depan kejamakan.

Padahal seyogyanya seorang seniman itu adalah seorang pembidas (avant-guardists). Seorang avant-guardists itu tidak punya tabu. Oleh karena itu, ia mempunyai keberanian menantang arus, berpikir dan bertindak out of the box, beyond the main stream. Dalam Bahasa Dayak Ngaju saya menyebutnya Maméh  Penciptaan dekat dengan semacam pemberontakan. Dalam kata-kata penyair Chairil Anwar:

“Jangan tambatkan pada siang dan malam/Pilih kuda yang paling jalang/Pacu-laju”. “Walau pun mungkin aku tak sampai kepadamu”. //

Seorang kreator avant-guardist dalam konsepsi Dayak Ngaju, selain mempunyai komitmen sosial manusiawi yang kuat (bukan sekadarnya), juga perlu memiliki tritunggal karakter yaitu mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh (gagah-berani, cerdik-berbudi/beradat, kritis-tekun”.

Apa yang diburu oleh seorang pencari atau penanya? Saya kira yang dicari adalah kebenaran, hakekat hal-ikhwal, betapapun relatifnya. Kebenaran sulit didekati dan berkembang jika berada  di bawah otoritarianisme dan isme-isme sekeluarganya. Untuk bisa bertanya dengan baik dari si penanya dituntut untuk suka atau mau berpikir.

Apakah Kalteng suka berpikir? Pertanyaan ini muncul saat saya sering mendengar jawaban tanpa konteks: “Siap, Pak”, “Mohon izin bicara” padahal bicara adalah hak bawaan manusia. Saya memahami pernyataan-pernyataan seperti ini salah satu jasa dari Orde Baru Soeharto dalam merusak pola pikir dan mentalitas bangsa ini. Saya sendiri pada tahun 1990-an ketika mengemban pekerjaan yang diberikan oleh L’Institute Universtaire d’Étude de Dévélopement’ (IUED) Geneva, Swiss, untuk membantu perkembangan pendidikan tinggi di Kalteng, pernah dilarang oleh polisi berbicara di depan umum selama dua tahun. Buku-buku saya yang diterbitkan di Indonesia pun dipermasalahkan. Buku-buku yang kami terbitkan di luar negeri, begitu sampai di Indonesia tak berapa lama dinyatakan sebagai buku terlarang oleh pemegang kekuasaan pada waktu itu.

Kata-kata seperti “Siap, Pak”, “Mohon izin bicara”, kalau pemahaman saya benar, merupakan sisa-sisa budaya takut dan budakisme yang berkembang di era Orba dan nampaknya sampai hari ini masih ada di antara gaung gema samar ‘revolusi mental’-nya Presiden Joko Widodo (Jokowi), sesamar kebenaran itu sendiri di era ‘pasca-kebenaran’ (post truth) dan kebohongan (hoax) sekarang. Menulis sejarah adalah pertama-tama memburu kebenaran dan kemudian menuliskan atau menyampaikan kebenaran itu.

Menurut undangan, yang hadir dalam pertemuan saling belajar ini adalah, “penulis, pegiat budaya, pegiat komunitas sejarah, jurnalis, guru, mahasiswa, pelaku teater, dan pegawai ASN”. Sehubungan dengan premis di atas, pertanyaan saya: Apakah mereka bebas dari upaya memburu dan melaksanakan kebenaran? Pasti tidak, kalau kita mau Republik dan Indonesia ini tetap ada (istilah kerennya: eksis) dan berkembang sehat; kalau kreator itu adalah kreator yang sehat dilihat dari kacamata tanggungjawab manusiawi.

Demikian beberapa premis penciptaan yang jadi pegangan saya hingga sekarang. Saya sampaikan tidak lebih dari sebagai bahan tukar pengalaman kerja. Terhadap prinsip-prinsip lain yang dianut oleh para kreator lain, saya menghadapinya dengan sikap ‘biar bunga mekar bersama seribu aliran bersaing suara’, di mana kemudian kritik atau debat akademi akan meningkatkan pemahaman dan apresiasi, apalagi jika debat akademi atau kritik itu berangkat dari prinsip saling asih, saling asuh dan saling asah.

Sayangnya di provinsi ini sering saya dapatkan kritik diperlakukan secara tidak pada tempatnya. Apakah ini juga merupakan petunjuk tentang tingkat kematangan berpikir, tingkat kecerdasan perasaan dan pengetahuan kita  sehingga tidak mampu memberi ruang luas bagi kebenaran orang lain? Yang lebih konyol lagi adalah pandangan yang menganggap kekuasaan sama sebangun dengan kebenaran yang membuat para penganut pandangan ini, walaupun punya mata tapi tidak bisa melihat, walau pun punya telinga tapi tak bisa mendengar.

Tentang Kemajemukan Peserta Di atas telah disebutkan, para peserta kegiatan ini “terdiri dari penulis, pegiat budaya, pegiat komunitas sejarah, jurnalis, guru, mahasiswa, pelaku teater, dan pegawai ASN di lingkungan Pemprov Kalimantan Tengah”. Barangkali tidak semua berasal dari etnik Dayak. Karena Kalimantan Tengah bisa dikatakan sebagai ‘Mini lndonesia’, seperti ditunjukkan tabel berikut:

Kemudian pada tahun 2023, Arief Budiatmo, mantan anggota DPRD Kalteng, Dewan Penasehat Paguyuban Kulowargo Wong Jowo (Pakuwojo) Provinsi Kalteng mengatakan bahwa “Dari seluruh masyarakat Kalteng, diperkirakan 34 persennya orang Jawa” (https://kalteng.co /politika /tokoh-jawa-menilai-abdul-razak-layak-jadi-gubernur-kalteng/).

Begini Seharusnya: Di Mana Bumi Dipijak, Di Situ Bumi Dibangun

Semua warga negara Indonesia yang tinggal dan bekerja di Kalimantan Tengah, saya sebut Uluh Kalteng (Orang Kalteng), sedangkan yang etnik Dayak saya sebut Uluh Itah. Untuk mengelola hubungan antaretnik yang sangat beragam ini, penyelenggara Negara daerah, seperti halnya Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) dan Dewan Adat Dayak (DAD) menerapkan yang disebut filosofi huma bétang, yang berintikan ‘di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’. 

Saya kira prinsip ini sudah kadaluwarsa. Sebab dalam kenyataan kaki memang berpijak di bumi Dayak Kalteng, satu tangan memang menjunjung langit di atas kepala tapi tangan lain sigap nyolong. Orang-orang tipe ini tidak memandang Kalteng sebagai kampung halamannya sendiri yang harus dibangun dengan segala kasih sayang dan tanggungjawab, bahkan menyebut diri sebagai Perantau Saklawase (Perantau Selama-lamanya). Perkumpulan Warga Jawa Perantau Saklawase (PAWARTOS) Kalteng yang dibentuk dan dideklarasikan, Minggu tanggal 4 September 2023, organisasi mitra dari Pakuwojo yang sudah lama ada.

Saya khawatir, konsep ini merupakan sebuah konsep yang tak zamani lagi sebab penganut pandangan ini tidak menganggap bumi yang ia pijak sebagai kampung halaman mereka, tapi sekadar tempat merantau mencari hidup. Kampung halamannya ada di tempat lain. Bumi yang sedang ia atau mereka pijak, tidak lebih dari kebun halaman belakang rumah mereka di tempat lain. Mereka tidak punya rasa tanggung jawab membangun bumi yang sedang ia pijak. Untuk aman maka mereka ‘menjunjung langit’ untuk sementara  menaungi mereka sehingga bisa dan gampang terjadi ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’ sedangkan tangan lain ‘nyolong’ (mencuri) untuk dibawa pulang ke kampung mereka nun di sana.

Saya kira yang tepat adalah ‘di mana bumi dipijak, di situ bumi dibangun’ atau ‘di mana langit dijunjung, di situ bumi dibangun’. Dengan pandangan dan sikap ini, mereka memandang bumi yang mereka pijak adalah kampung halaman mereka sendiri. Ini adalah “pijak, tempat mereka mencari hidup yang tidak lain dari tanah rantau semata”. Karena itu, dengan sikap begini, tidak mengherankan jika banyak orang-orang non-Dayak yang lahir, besar dan bekerja di Kalteng, tapi hidup dalam ghetto budaya lama mereka, berbahasa Dayakpun tidak bisa karena menganggapnya tidak penting. Tidak berguna. Mereka betul-betul adalah Perantau Saklawase, turis jangka panjang di Kalteng.

Baca juga: https://kalimantanreview.com/berisiko-mengalami-degradasi-bahasa-dayak-dan-bahasa-melayu-di-kabupaten-sanggau-mendesak-dilestarikan/

Konsep ‘di mana bumi dipijak, di situ bumi dibangun’ atau ‘di mana langit dijunjung, di situ bumi dibangun’, secara lain bisa disebut juga Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng (Oranq Kalteng Beridentitas Kalteng) atau disebut juga sebagai kesadaran berwarganegara. Warga Kalteng apapun asal etniknya, kalau mereka tinggal di Kalteng, mereka adalah Uluh Kalteng. Identitasnya? Tentu saja beridentitas Kalteng. Untuk bisa memiliki identitas demikian, mereka niscaya belajar budaya lokal, lebih-lebih bahasa lokal (baca: Bahasa Dayak). Tidak ada ruginya dan tidak ada salahnya kecuali sangat menguntungkan belajar budaya cq. bahasa lokal.

Di tahun 1990-an, dalam sebuah diskusi yang juga dihadiri oleh seorang perwira polisi, saya pernah mengajukan agar polisi, tentara dan siapa saja yang non-Dayak tapi bekerja di Kalteng, lembaganya menyelenggarakan kursus Bahasa Dayak. Dalam hubungan ini, saya merasa sedikit aneh jika politik bahasa yang diterapkan sekarang ‘mengutamakan Bahasa Indonesia’, padahal dalam Sumpah Pemuda tidak disebut mengutamakantapi menjunjung tinggi Bahasa Indonesia. Dengan politik bahasa yang demikian, tidak mengherankan jika bahasa-bahasa lokal terpinggirkan atau paling tidak menjadi nomor dua atau lima.

Dalam konteks tema pengemasan sejarah (lokal) dalam media, gerangan apa yang bisa diharapkan dari para perantau saklawase atau wisatawan jangka panjang di Kalteng dan atau yang menganggap Kalteng tidak lebih dari kebun belakang halaman rumah mereka di tempat lain? Apa yang diharapkan oleh kegiatan ini akan terwujud ketika kesadaran Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng dihayati dan dilaksanakan. Tanpa penghayatan ini kita akan menyaksikan Kalteng seperti  seekor keledai yang bolak-balik tersandung pada batu serupa.

G.W.F. Hegel Filsuf dari Jerman (1770-1831) menyebut situasi seperti ini dengan kata-kata “Perlakuan paling konyol yang sering diterima sejarah adalah manusia tak pernah mau belajar darinya”. Dalam kata-kata Karl Marx, “Sejarah berulang, pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon.”Dengan demikian, kita jadinya tidak lebih dari badut-badut kehidupan.

Baca juga: https://kalimantanreview.com/tumbang-anoi-cagar-budaya-dan-desa-adat/

Budaya Ghetto =Menyemai Benih Perpecahan

Karena itu seyogyanya Uluh Kalteng mengetahui budaya dan sejarah di mana mereka hidup dan  bekerja. Untuk menangani masalah ini kepada pihak-pihak terkait di berbagai tingkat penyelenggaraan Negara, saya berulangkali menyarankan diselenggarakannya Kongres Kebudayaan Kalteng yang tidak pernah diselenggarakan sekalipun sejak berdirinya provinsi ini tahun 1957. Kongres Kebudayaan yang melibatkan semua etnik di Kalteng dengan harapan ada pegangan bersama ke depan, dan ghetto budaya, budaya ghetto dan yang kemudian berkembang menjadi budaya politik ditinggalkan sesuai konsep Republikan dan Berkeindonesiaan. Saya melihat budaya politik berdasarkan budaya ghetto sama dengan menyemai benih perpecahan yang cepat-lambat akan meledak.

Pandangan dan sikap Kapten Mulyono, seorang Yogya di Kasongan, sejumlah orang NTT di Sumur Mas, Maharaja Panduran, Yong Thai di Kasongan, dll… adalah teladan baik bagaimana menjadi Uluh Kalteng.

Di alinea ini poin yang ingin saya kemukakan adalah ingin menunjukkan hubungan erat antarpandangan, sikap, pengetahuan, termasuk pengetahuan sejarah  kreator dan atau pekerja media dengan kreasi. Yang tidak kurang penting dalam menggarap bahan mentah yang perlu dikenal dengan baik jadi kreasi atau konten media sehingga bisa diungkapkan sarinya adalah filosofi sejarah. Filosofi sejarah menentukan arah penafsiran data.

Sikap Sejarah Uluh Itah dan Permasalahan di Kalangan Uluh Itah

Apa yang saya ungkapkan di sini adalah persoalan yang diperoleh melalui pengalaman saya bekerja sebagai guru di universitas di Palangka Raya dan penulisan sejarah kabupaten serta desa, meliputi:

  • Keterputusan sejarah dan budaya;
  • Bunuh diri budaya;
  • Pandangan tentang modern dan tidak modern; Budaya Dayak sebagai budaya Zaman Siti Nurbaya;
  • Memperalat sejarah untuk kepentingan sempit. Contoh di Desa Mantuhe, Putat Durei, Kabupaten Seruyan;
  • Takut pada sejarah: Sejarah Kalteng; Tragedi Kemanusiaan September 1965 (Pararapak; Km 24 Jalan Tjilik Riwut; Hilangnya Walikota Palangka Raya Pertama).
  • Sejarah ‘tidak jadi beras’ (hedonisme) yang menunjukkan budaya kemiskinan dan kemiskinan budaya; penjualan murah benda-benda budaya; kegiatan kebudayaan hanya buang-buang duit; sastra-seni dianggap tidak menarik sehingga, misalnya sejak 1957 tidak pernah sekalipun ada Kongres Kebudayaan Kalteng.

Di antara 31 pendidikan tinggi di Kalteng hanya Universitas PGRI yang memiliki Prodi Sejarah; Jurusaan Antropologi tidak ada; Riset tentang kebudayaan lokal sangat minim. Akibatnya Dayak asing terhadap diri sendiri. Padahal  “Sejarah adalah panduan navigasi di masa-masa sulit. Sejarah (memberi tahu) siapa kita dan mengapa kita seperti ini” (David McCullough).

  • Masalah berikutnya adalah membuat Dayak Kalteng sebagai etnik tanpa sejarah = etnik primitif. Ada klaim peristiwa sejarah, seperti Perang Barito; Dambung Mangkurap; Pang Palui. Menurut George Orwell,“Cara paling efektif untuk menghancurkan orang adalah dengan menyangkal dan melenyapkan pemahaman mereka sendiri tentang sejarah mereka.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *