KOLONISASI HUTAN DAN LAHAN

4.008 Views

Oleh: Giring

Tulisan ini pernah dimuat di Kalimantan Review (cetak) Nomor 213-Th. XXIII-2014, hlm. 9-20. Karena pertimbangan relevan tematik, maka redaksi memuatnya di kalimantanreview.com.

Pengantar
A
khirnya Indonesia secara sah dan konstitusionil berhasil memiliki presiden RI ke-7 setelah menempuh proses hukum cukup melelahkan. Kini saatnya rakyat Indonesia yang pada Pilpres 9 Juli 2014 lalu sempat “terbelah” karena berbeda pilihan politiknya untuk kembali bersatu sebagai rakyat dari presiden dan wakil presiden terpilih. Oleh karena itu, adalah kewajiban dan sekaligus hak kita sebagai rakyat, tanpa terkecuali untuk mengawal (mengawasi) pelaksanaan program presiden-wakil presiden kita itu. Citra sederhana, merakyat dan jujur serta pekerja keras dari Jokowi sebagaimana kerap diberitakan oleh media massa seakan-akan membuat sifat-sifat baik tersebut tak bisa lagi terlepas dari sosok seorang Jokowi. Bagi massa rakyat pendukungnya, sifat-sifat tadi sangat jelas dan konkret menjadi bagian dari kepemimpinan yang diharapkan mereka. Tak berlebihan jika hal demikian ini dianggap merupakan peluang sekaligus tantangan tersendiri bagi rakyat Indonesia.

Dalam banyak kesempatan, terutama pada sesi debat Capres-Cawapres, Jokowi, selain melontarkan janji untuk mengembalikan para aktivis yang (di) hilang(-kan) pada era Orde Baru, di antaranya Widji Thukul, alumnus Fakultas Kehutanan UGM, Jogjakarta itu juga menjanjikan akan membentuk lembaga yang independen khusus untuk menangani konflik-konflik terkait agraria dan hak-hak Masyarakat Adat. Dia juga berkomitmen akan menyertakan partisipasi Masyarakat Adat karena selama ini sering terjadi perampasan atas wilayah Masyarakat Adat. Persoalan ini terjadi baik karena penetrasi program-program pembangunan dari Negara maupun karena praktik-praktik sistematis dalam pengembangan investasi oleh kalangan swasta. Jokowi juga berkomitmen akan melakukan proses sinkronisasi khusus dalam masalah peta skala nasional dengan mendorong dan membentuk pelayanan satu pintu sehingga kebijakan “one map policy” dapat berkontribusi mereduksi persoalan-persoalan agrariasebagaimana yang selama ini banyak terjadi tumpang-tindih peruntukan hutan dan lahan. Dapat dikatakan bahwa ide besar dari kehendak baik yang mendasari tujuan-tujuan hak asasi manusia dan ekologis Jokowi- JK tersebut adalah tercapainya suatu perbaikan kebijakan tata kelola hutan dan lahan di negeri ini, baik pada persoalan ke(budaya)an kebijakannya maupun pada persoalan-persoalan strukturalnya. Apakah janji-janji itu bisa menjadi aksi?

Dalam sajian utama pada edisi ini, redaksi memilih tema “Kolonisasi Hutan dan Lahan”. Persoalan-persoalan yang terkait hak-hak tenurial beberapa dekade terakhir sudah mencapai titik nadir yang patut segera dicari jalan solusinya. Kekisruhan kawasan hutan dan lahan terjadi di berbagai belahan Nusantara. Penyingkiran, perampasan dan pemiskinan terhadap Masyarakat Adat tidak khusus hanya terjadi di Kalimantan dan Kalbar saja, akan tetapi juga terjadi dalam skala Nasional.

Kasful Anwar, Ketua Komnas HAM Perwakilan Kalbar mengatakan bahwa konflik agraria antara perusahaan dan Masyarakat Adat menjadi kasus yang mendominasi dalam pelaporan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Kalimantan Barat. “Sepanjang tahun 2013 pengaduan yang diterima Komnas HAM Perwakilan Kalbar sebanyak 102 kasus. Tidak bisa dipungkiri, ketika ada sengketa yang melibatkan Masyarakat Adat dengan pihak lain, ada kasus pelanggaran hak asasi manusia di dalam kasus tersebut,” ujarnya pada Selasa, 4/2/2014 (beritakalimantan.co). Persoalan pelanggaran hak-hak Masyarakat Adat, termasuk perempuan dan anak-anak ini sejatinya merupakan persoalan bangsa, yang akar- akarnya—mengikuti pendapat Sandra Moniaga, Komisioner Komnas HAM, Selasa 30 September 2014 dapat ditelusuri pada ketidakjelasan, ketidakpastian dan ketidakkonsistenan pemerintah dalam mengakui, melindungi dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat—termasuk menyangkut hak- haknya dalam kawasan hutan.

Sementara itu, kemenangan Jokowi-JK dipandang sebagai peluang untuk melakukan banyak pembenahan dalam kebijakan tata kelola hutan dan lahan, yang di dalamnya inheren isu wilayah adat, hutan adat dan hak-hak Masyarakat Adat.

Marilah kita awali pembahasan tema ini dengan menyajikan butir- butir program prioritas duo Jokowi- JK, yang menurut kami sedikit- banyak memiliki nuansa optimisme dan relevansi yang kuat dengan tema artikel ini. Selanjutnya menengok sekilas sejarah penguasaan kawasan hutan dan lahan di Nusantara sejak era kolonial hingga pasca reformasi ini, termasuk indeks dan/atau nilai tata kelola hutan dan lahan.

Janji-janji Ekologi Jokowi

Ada 9 (sembilan) butir program prioritas duo Jokowi-JK. Butir terakhir dengan jelas menyatakan berkomitmen melindungi dan

memajukan hak-hak Masyarakat Adat. Dalam dokumen visi-misinya setebal 42 halaman itu, Jokowi-JK menyatakan dalam kebijakan perlindungan dan pemajuan hak-hak Masyarakat Adat dengan memberikan penekanan pada 6 (enam) prioritas utama yang diadopsi dari usulan AMAN (Lihat KR edisi 212 sebelum ini). Ke-6 program prioritas itu jelas akan saling terkait dan included ke dalam komitmen Jokowi dalam kebijakan perlindungan dan pemajuan hak-hak Masyarakat Adat. Di sini kami ambil 3 (tiga) saja dari program prioritas utamanya sekedar menjadi bahan bahasan yang ringkas untuk pemaparan selanjutnya dalam sajian utama edisi ini. Ketiga program prioritas tersebut adalah:

1. Kami akan meninjau ulang dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak-hak Masyarakat Adat, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak atas sumber- sumber agrarian, sebagaimana telah diamanatkan oleh TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya alam sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana yang telah ditetapkan MK Nomor 35/2012.

2. Kami akan memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumber daya alam pada umumnya, seperti RUU Pertanahan, dan lain-lain, berjalan sesuai dengan norma- norma pengakuan hak-hak Masyarakat Adat sebagaimana yang diamanatkan dalam putusan MK 35/2012.

3. Kami berkomitmen mendorong suatu inisiatif berupa penyusunan (rancangan) Undang-undang terkait dengan penyelesaian konflik-konflik agraris yang muncul sebagai akibat dari pengingkaran berbagai peraturan perundang-undangan sektoral atas hak-hak Masyarakat Adat selama ini.

“Janji ekologi” Jokowi-JK tersebut cukup kental dengan pertimbangan (kesadaran) histori dan berbagai persoalan dalam kebijakan tata kelola hutan dan lahan di Indonesia selama ini. Hal ini mencakup, baik pada level perspektifnya dalam melihat dan memaknai arti dari hutan dan lahan dalam bingkai pembangunan Nasional dan daerah; maupun pada level kelembagaan dan praksis penerapan kebijakan tata kelola hutan dan lahan yang ada. Maka catatannya adalah bahwa gagasan-gagasan hingga penjabaran pelaksanaan program ekologi duo Jokowi-JK harus dapat “dibumikan” bersama rakyat dengan menyasar pada dua level tersebut. Berikut dipaparkan sekilas sejarah pengurusan hutan dan lahan di Nusantara.

Pengurusan (Penguasaan) Hutan dan Lahan

Kekisruhan kawasan hutan dan lahan di Nusantara telah terjadi sejak era VOC (Andiko, 2007). Kala itu, di beberapa daerah aturan penggunaan hutan dan lahan telah ditentukan ke dalam 2 bentuk, pertama, hutan dan lahan yang terjangkau oleh kekuatan kerajaan/kesultanan sehingga dikuasai oleh raja/sultan; kedua daerah-daerah yang di luar jangkauan kekuasaan kerajaan/kesultanan dekelola (dikuasai) oleh komunitas Masyarakat Adat setempat. Kemudian, pada era kolonial, kekisruhan kawasan hutan dan lahan terjadi antara masyarakat setempat dengan pemerintah kolonial Belanda karena seluruh pengelolaan dan penggunaan tanah, hutan dan lahan diambil alih oleh VOC dengan tidak lagi memperdulikan hak-hak adat masyarakat setempat. Di mata VOC, tanah, hutan dan lahan di wilayah Masyarakat Adat dianggap tidak bertuan. Padahal, mereka secara turun-temurun telah membuktikan kemampuannya dalam praktik-praktik mengelola, menguasai (memiliki) wilayah adatnya berdasarkan strategi kebudayaannya dalam menanggapi kondisi dan karakteristik tanah, hutan dan iklim setempat. Situasi tersebut memperlebar jarak ikatan dan hubungan (baca: akses) Masyarakat Adat dengan tanah, hutan dan lahan serta sumber daya alam di dalamnya. Alhasil, kehidupan faktual Masyarakat Adat yang menggantungkan hidupnya dari hutan menjadi sulit, karena aksesnya terhadap hutan dan sumber daya di dalamnya menghadapi klaim sepihak dari Negara sehingga hutan ditetapkan sebagai hutan Negara. Dan, proses pemiskinan terus- menerus terjadi.

Rikardo Simarmata (Lembar Fakta ke-1 Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan, 2014) dengan mengikuti Nancy Lee Peluso dan Peter Vandergeest (Genealogies of the Political Forest and Customary Rights in Indonesia, Malaysia dan Thailand, 2001) menyebut kawasan hutan yang ditetapkan dengan proses sepihak itu sebagai political forest. Di era kemerdekaan, “sulitnya akses Masyarakat Adat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari pemanfaatan hutan sejatinya berawal dari keputusan politik yang diambil pada akhir dekade 60-an sampai awal dekade 70-an. Keputusan politiknya adalah menetapkan teritori tertentu sebagai kawasan hutan yang di dalamnya yurisdiksi Negara diberlakukan. Sebagai yurisdiksi Negara, di atas kawasan hutan itu diberlakukan ketentuan mengenai siapa yang boleh memanfaatkan hutan dan bagaimana pemanfaatan hutan harus dilakukan,” papar dosen UGM itu.

Keberadaan Masyarakat Adat dan petani yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan tersebut seringkali “ditolak”, dianggap antara “ada dan tiada”. Akibatnya hak-hak penguasaan hutan dan pengelolaan lahan yang diberikan oleh Negara kepada pihak pengusaha/pemodal seringkali berbenturan dengan keberadaan dan hak-hak Masyarakat Adat. Dalam kekisruhan kawasan hutan dan lahan itu aparat Negara dihadirkan untuk memaksa keputusan politik (kolonisasi) atas hutan dan lahan itu, dan patut disayangkan bahwa alih-alih untuk mengamankan dan mendukung program

pembangunan, kehadiran aparat Negara tersebut sering diikuti dengan tindakan represi dan kekerasan- kekerasan. Relasi antara aparatur Negara dan pengusaha/pemodal yang demikian itu menjadi kekuatan yang menyingkirkan masyarakaat adat dan petani sebagai pengguna hutan dan lahan. Di Negara-negara di Asia Tenggara, hal ini telah menjadi dilema yang serius seperti telah diulas dengan sangat menarik oleh Derek Hall, Philip Hirsch dan Tania Murray Li dalam “Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia” (NUS Press, 2011).

Kekayaan sumber daya alam Nusantara, dari masa ke masa, dijadikan komoditi industri yang mengundang masuknya investasi. Noer Fauzi Rachman, Direktur Sajogyo Institute, Selasa, 30 September 2004, dalam jumpa pers Komisioner Inkuiri Nasional di Rektorat Untan mengatakan bahwa modus perampasan tanah dapat diketahui melalui pernyataan bahwa wilayah adat dianggap sebagai tanah Negara atau hutan Negara. “Itulah mengapa hak-hak Masyarakat Adat digurus, digeser, diusir, bahkan dikriminalisasi. Semua ini adalah cara-cara kolonial. Tentu saja Masyarakat Adat melawan perampasan ini dan mereka berjuang mempertahankan tanah airnya, wilayah adatnya,” ungkap Noer Fauzi. Dia menambahkan bahwa sudah saatnya pemerintah yang akan datang harus mau melihat penderitaan Masyarakat Adat karena ini adalah kenyataan empiris di lapangan.

Tidak mengejutkan jika Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) baru-baru ini merilis data bahwa selama dua periode kepemimpinan SBY, terjadi konflik agraria di seluruh Indonesia sedikitnya 1.057 kejadian. Bahkan, masih menurut KPA, konflik agraria tersebut cenderung mengalami peningkatan tajam selama satu dekade terakhir ini sehingga bisa saja mengancam keberadaan bangsa ini sendiri. Ini memperkuat desakan reforma agraria agar segera dilakukan. Sebuah pekerjaan rumah yang tidak ringan bagi pemerintahan baru kedepan.

Kekisruhan kawasan hutan dan lahan di era Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari “kekacauan” situasi sosial-ekonomi-politik yang dihadapi para pemimpin bangsa kala itu. Sebagai Negara-bangsa yang baru 2 dekade merdeka, jalan pembangunannya yang dipilih ialah dengan pendekatan ekonomi untuk mengundang masuknya modal asing di Indonesia. Selanjutnya dikeluarkanlah UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang mendapat respon sangat baik dari investor asing terutama dari Amerika Serikat, Jepang dan Eropa. Kebijakan ini tidak luput dari aksi protes dari sebagian masyarakat dan kalangan mahasiswa karena dinilai membuka peluang dominasi asing atas Indonesia. Reaksi masyarakat dan mahasiswa tersebut mengakumulasi hingga terjadinya “Peristiwa Malari” Peristiwa 15 Januari 1974, yang hingga sekarang masih “gelap” penuntasannya. Dalam aksi ratusan ribu massa yang menuntut pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi mengenai modal asing, dan pembubaran lembaga Asisten Pribadi Presiden itu ada 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan.

Setahun kemudian, disusul dengan Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN) Nomor 6 tahun 1968 untuk memberikan peluang kepada investor asal dalam Negeri karena hampir seluruh kekayaan alam seperti tambang, gas dan minyak bumi dikuasai oleh pihak asing. UUPMDN sendiri berkaitan dengan UUPK Nomor 5 tahun 1967 tentang UU Pokok Kehutanan yang bertujuan mengatur tentang eksploitasi hutan dalam bentuk hak konsesi HPH. Inilah tonggak penting dari eskpansi modal ke seluruh penjuru dan pelosok negeri. Keberadaan Masyarakat Adat dan hak-haknya semakin tersingkirkan karena tatanan sosial, budaya, ekonomi mereka mengalami pengrusakan seiring dengan perampasan hutan di wilayah adat mereka. Kejayaan HPH, usaha sektor kehutanan ini, setidaknya masih berlangsung sampai beberapa tahun sebelum tumbangnya rezim Orde Baru. Dan, Kalimantan dengan hutan hujan tropis dan luasnya pulau ini telah dijadikan daerah primadona bagi sasaran kebijakan sektor kehutanan ini.

Diskusi Perencanaan Tata Ruang Komunitas Binua Tungkalakng di Tampi Bide, Kab. Landak, Desember 2012 Dok. Perkumplan Pancur Kasih.

Kolonisasi hutan dan lahan berkaitan dengan “kesewenang- wenangan” dalam menafsir amanat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat. Permainan tafsir atas “bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat” seringkali dimanfaatkan oleh para pihak dengan berlindung di balik frasa “dikuasai oleh Negara” itu sebagai modus untuk menguasai hutan dan lahan di mana perusahaannya beroperasi.

Kemudian untuk tujuan meningkatkan produksi pangan dan menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan petani, maka di awal Orde Baru itu diluncurkan program intensifikasi melalui Bimas sebagai bagian dari pembangunan ekonomi sektor pertanian. Program ini merupakan pelaksanaan dari program Panca Usaha tani lengkap dengan dukungan dan bantuan kredit murah, juga bibit unggul, obat-obatan kimia: pestisida, pupuk, dan alat-alat pertanian. Di masa PJPT I itulah Indonesia berhasil mencapai swasembada beras pada 1984. Namun persoalan lingkungan muncul karena ternyata penggunaan beragam obat-obatan kimia yang tak ramah lingkungan tersebut merusak ekosistem sekitar lahan pertanian.

Untuk mempercepat pembangunan perkebunan di luar Jawa, maka dikembangkan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang diintegrasikan dengan program Transmigrasi berdasarkan Inpres Nomor 1 tahun 1986. Pembangunan perkebunan dengan pola PIR ini sebenarnya telah dirintis pada 1977 melalui Pengembangan Perkebunan Rakyat di Jawa Barat yang melibatkan BUMN yang bersumber dari dana bantuan luar negeri (Bank Dunia). Kalimantan, terutama Kalbar menjadi salah satu daerah tujuan transmigrasi. Masifnya pelaksanaan program PIR-BUN dan PIR- TRANS di Kalbar pada penghujung 80-an hingga pertengahan 90-an, telah menyebabkan pembukaan (baca: perintisan) kawasan hutan dalam luasan yang besar hingga meningkatkan laju kerusakan hutan dan lahan Kalbar.

Bila di Jawa, kondisi kerusakan hutan telah sangat kritis sejak awal kemerdekaan karena telah bertubi-tubi dieksploitasi, bahkan sejak era Tanam Paksa atau “Cultuur Stelsel” (1830- 1870). Meskipun kala itu telah dimulai upaya reboisasi, tetapi tidak berhasil karena lemahnya kelembagaan dan tidak memadainya sumber pendanaan (lihat bappenas.co).

Kondisi kerusakan hutan kala itu, terutama di Jawa, terkait dengan kelembagaan urusan kehutanan berdasarkan kebijakan di era sebelum Orde Baru. Melalui PP Nomor 64 tahun 1957, sebagian urusan kehutanan diserahkan kepada pemerintah daerah dengan dibentuknya Dinas Kehutanan Daerah di sejumlah provinsi. Pada tahun 1961 dibentuk PERHUTANI untuk mengelola hutan jati di pulau Jawa. Namun, sektor kehutanan di masa sebelum Orde Baru tersebut banyak ditandai oleh eksploitasi hasil hutan, dan penyerobotan areal hutan, dan praktik-praktik deforestasi sehingga menimbulkan lahan kritis sekitar 42 juta ha.

HPH, HPHH dan SKAU

Kebijakan HPH, HPHH hingga SKAU menandai babak kolonisasi atas hutan dan lahan di Indonesia, termasuk di Kalbar. Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 1999 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). Peraturan tersebut memberikan hak kepada bupati- bupati untuk memberikan ijin HPHH seluas 100 ha kepada swasta dan koperasi; dan ijin HPH 10.000 ha kepada gubernur. Peraturan Pemerintah tersebut diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dengan mengeluarkan SK No. 05.I/ Kpts-II/2000 tentang kriteria standar perijinan pemanfaatan hasil hutan dan pemungutan hasil hutan pada hutan produksi alam. Ini menandai desentralisasi dalam kewenangan dalam pengelolaan sektor kehutanan karena sebelumnya seluruh ijin di bidang kehutanan menjadi wewenang pemerintah pusat. Bahkan seluruh pajak dan retribusi dari daerah penghasil hutan hutan disetor ke pusat dan daerah hanya mendapatkan pembagian hasil dari pusat. Di samping karena merasa tidak adil dalam pembagian hasil hutan tersebut, euforia otonomi daerah yang diperkuat alasan demi PAD turut memperkuat antusiasme para bupati menyambut peraturan tersebut. Itulah mengapa misalnya bupati Kapuas Hulu, Ketapang, Sintang, dan Bengkayang ketika itu seolah- olah berlomba-lomba mengeluarkan peraturan daerah atau surat keputusan yang berfungsi sebagai petunjuk teknis dalam mendapatkan ijin-ijin HPHH tersebut. Pemerintah Daerah berharap uang retribusi dari para pemegang ijin dapat menambah sumber PAD. Ini didukung oleh pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah yang menuntut daerah untuk kreatif menambah pemasukan daerah.

Penebangan masif pun kembali terjadi setelah dilegalkan melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh bupati/kepala daerah baik petahana maupun maupun para bupati kabupaten baru hasil pemekaran dari kabupaten induknya berdasarkan ijin HPHH (Hak Pemanfaatan Hasil Hutan) 100 ha. Kebijakan yang memberikan hak pengelolaan hasil hutan maksimal 100 ha ini menandai babak pembabatan hutan, mulai dari kelompok masyarakat berafiliasi dengan para pejabat pemerintah daerah, anggota perwakilan rakyat, para pengusaha, badan usaha, pemerintah desa, lembaga adat, hingga kelompok masyarakat. Urusan mengelola hutan dan kayu menjadi bancakan banyak pihak, terang-terangan. Dengan leluasa semuanya dapat mengantongi ijin HPHH 100 ha dari bupati di daerah kabupatennya.

Kurun waktu 2000-2002 saja, di Kalbar ada 744 ijin HPHH dan dua ijin pemanfaatan kayu yang dikeluarkan, atau rata-rata 248 ijin dikeluarkan setiap tahunnya. Di bebarapa kabupaten berlangsung marak praktik logging karena banyaknya ijin HPHH 100 ha. Ini mengakibatkan terjadinya konflik/ perebutan kayu di lapangan, baik antara kelompok masyarakat anggota HKM berdasarkan Permenhutbun No. 677/Kpts-II/1998 dengan kelompok masyarakat anggota HPHH (berdasarkan PP No. 6 Tahun 1999), dan juga konflik- konflik dengan masyarakat di luar HKM dan HPHH di Kalbar pada 1999 hingga 2001.

Kekisruhan perijinan dalam sektor kehutanan tersebut mendorong dilakukannya peninjauan kembali atas kebijakan tersebut. Bahkan hal ini telah mendorong Menteri Kehutanan mencabut HPHH 100 ha dan HPH 10.000 ha itu dengan mengeluarkan SK No. 541/Kpts-II/2002. Keputusan Menteri Kehutanan bertujuan untuk mengurangi dampak-dampak deforestasi dan degradasi hutan di Kalbar.

Keputusan Menteri Kehutanan M. Prakosa tidak sepi dari aksi protes dari para bupati. Sebut saja misalnya respon dari Bupati Kapuas Hulu Drs. Thambul Husin. “Pemerintah Kab. Kapuas Hulu menentang keputusan Menteri Kehtuanan yang baru,” katanya. Bahkan aktivitas para pemegang ijin HPHH 100 ha di kabupaten masih berlangsung karena di lapangan masih terjadi penebangan hutan (KR. No. 81/ Th.XI/Mei2002).

Menurut studi lembaga CIFOR dalam “Marginalisasi Masyarakat Miskin di Sekitar Hutan: Studi Kasus HPHH 100 Ha di Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat” (April 2005), meskipun ijin HPHH 100 ha dari bupati bermaksud memberikan peluang kepada masyarakat dalam pengelolaan sumber daya kayu, tapi kesempatan masyarakat sekitar hutan dalam merancang dan menentukan kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat tersebut masih tersebut masih sangat terbatas. Menurut penelitian tersebut, masyarakat merasa bahwa kebijakan HPHH 100 ha tersebut lebih dipengaruhi oleh kepentingan elit lokal dan nasional khususnya kalangan penanam modal swasta. Singkatnya, kebijakan HPHH 100 ha tersebut tidak menjamin adanya pembagian keuntungan yang adil antara masyarakat lokal dengan mitra swastanya. Demi ambisi PAD, Bupati Sintang dan Kapuas Hulu, misalnya, pada tahun 2003 mengeluarkan ijin HPHH 100 ha sebanyak 944 ijin dengan total luas 94,400 ha (Dinas Kehutanan Provinsi Kalbar, 2003; CIFOR, 2005). Di Sintang, kebijakan pengelolaan hutan yang bersumber dari Surat Keputusan Bupati No. 19/1999 tanpa melalui proses konsultasi publik dan semula hanya dipersiapkan oleh Dinas Kehutanan. SK tersebut menyatakan bahwa ijin HPHH 100 ha dapat diberikan kepada koperasi, kelompok tani atau perorangan warga Negara Indonesia atau badan hukum yang modalnya dimiliki oleh warga. Kebijakan serupa juga diikuti oleh bupati Kapuas Hulu.

Parahnya lagi, kayu dari buah- buahan lokal “terakhir” itu semakin terancam cepat punah setelah maraknya penebangan di bebeberapa daerah kabupaten karena dijamin oleh kebijakan dari Kementerian Kehutanan berupa Permenhut No. P.33/Mehut-II/2007 tentang Penggunanan SKAU untuk pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak; dan daftar jenis kayu bulat rakyat atau kayu olahan rakyat terdiri dari kayu: akasia, asam kandis, bayur, durian, ingul/suren, jabon/samama, jati, jati putih, karet, ketapang, kilit manis, mahoni, makadamia, medang, mindi, kemiri, petai, puspa, sengon, sungkai dan tetap/tarok. Logging banyak diarahkan pada kawasan tembarang (timawakng: Dayak Baahe; Tamao; ompokng: Dayak Bakatik). Kawatir akan dampak-dampaknya terhadap aspek-aspek sejarah, sosial, ekonomi, dan budaya komunitas adat dan lokal, maka kebijakan yang dikeluarkan tanggal 24 Agustus 2007 itu menuai protes keras dari banyak pihak. Sekedar contoh, atas desakan masyarakat sipil, Dr. Adrianus Asia Sidot, Bupati Landak, pada tanggal 9 Juli 2009 mengirimkan surat melalui Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Landak dengan No. 522/511/Bunhut/2009 kepada Menteri Kehutanan agar meninjau kembali Permenhut No. P.33/Mehut- II/2007 tentang Penggunanan SKAU untuk pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak. Implikasi dari kebijakan SKAU tersebut mengarah pada punahnya, katakanlah durian, tengkawang, dan lain-lainnya tadi. Yang tersisa kini tidak lain hanyalah pohon-pohon terakhir.

Konflik, Tumpang-tindih Lahan dan Indikasi Korupsi

Kenyataan empiris menunjukkan bahwa konflik dan tumpang- tindih lahan menjadi bukti paling nyata dalam kekisruhan kawasan hutan dan lahan. Menurut KPA pada tahun 2013 telah terjadi 369 konflik agraria yang melibatkan 139.874 keluarga dengan luas lahan yang dikonflikkan 1.281.660.09 ha. Konflik ini mengakibatkan 21 orang tewas, 30 orang tertembak, 130 orang mengalami penganiayaan, dan 239 orang ditahan.

Di Kalbar, konflik agraria antara perusahaan dan Masyarakat Adat menjadi kasus yang mendominasi dalam pelaporan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di bumi Khatulistiwa ini. Menurut Ketua Komnas HAM perwakilan Kalbar, Kasful Anwar, Selasa (4/2/2014), sepanjang tahun 2013 pengaduan yang diterima Komnas HAM perwakilan Kalimantan Barat sebanyak 102 kasus. Sesuai UU nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, berdasarkan klasifikasi kasus yang diterima, konflik adat menempati urutan kedua, dengan 32 kasus. “Khusus untuk konflik agraria, mayoritas merupakan sengketa antara masyarakat dengan perusahaan sawit. Ketika ada sengketa yang melibatkan Masyarakat Adat dengan pihak lain, ada kasus pelanggaran hak asasi manusia di dalam kasus tersebut,” ujarnya (beritakalimantan.co). Komnas HAM RI dalam acara Media Briefing Inkuiri Nasional tentang hak masyarakat hukum adat di wilayahnya dalam kawasan hutan Kalimantan, di Kantor Komnas HAM Perwakilan Kalbar (30/9/2014) mengatakan bahwa Kalbar merupakan provinsi di urutan ke-4 di antara delapan provinsi dalam pengaduan terbanyak terkait indikasi pelanggaran HAM yang bernuansa konflik agraria. Berturut- turut adalah Sumut, Kaltim, Riau, Kalbar, Jabar, Lampung, Sumsel, dan Sulsel. Dalam konteks Kalbar, konflik agraria yang bernuansa HAM tersebut tak bisa dipungkiri terkait banyak dengan keberadaan 352 perusahaan kelapa sawit di 12 kabupaten (Walhi Kalbar, “Rekapitulasi Perkembangan Perijinan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit di Kalbar”, Juni 2011). Data Walhi Kalbar (2012) juga mencatat bahwa per Januari s/d Desember 2011, terdapat 88 kasus konflik warga dengan perusahaan skala besar di Kalbar yang didominasi perusahaan kelapa sawit. Kekisruhan kawasan hutan dan lahan juga ditandai dengan kenyataan tumpang- tindih lahan dan sarat dengan indikasi korupsi dalam beberapa sektor.

Sumber: Dikutip kembali dari analisa data BPKH III tahun 2010 dalam Potret Hutan Provinsi Kalbar (Kementerian Kehutanan, 2011).

Potret Hutan di Kalbar (Kementerian Kehutanan, 2011) memaparkan hasil overlay dan kajian antara peta kawasan pada lampiran SK Menhut No. 259/Kpts-II/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Kalbar dengan update hasil tata batas di Kalbar yang dilakukan oleh BPKH Wilayah III Pontianak s/d tahun 2010 menunjukkan beberapa perbedaan terutama pada batas kawasan hutan. Dari seluruh areal perusahaan perkebunan yang sudah mendapatkan jin usahanya, terindikasi sekitar 271.976 ha kawasan yang tumpang tindih fungsinya. Contoh: sekitar 937 ha kawasan perkebunan yang berada pada Cagar Alam. Tumpang tindih kawasan yang paling banyak terjadi di kawasan Hutan Produksi (HP), yaitu seluas 124.842 ha (tabel X).

Kementerian Kehutanan (2011) bahkan mencatat bahwa di kawasan tambang pun ditemukan kasus tumpang tindih kawasan. Berdasarkan hasil updating tata batas, pada areal ini terdapat sekitar 999.715 ha areal tambang yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Fungsi kawasan yang paling banyak mengalami tumpang tindih adalah fungsi HPT (Hutan Produksi Terbatas), yaitu seluas 285.185 ha. Luas kawasan tambang yang tumpang tindih dengan kawasan hutan (tabel Y).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *