Menyoal Kontroversi Pameran Tunggal Yos Suprapto di Galeri Narional, Jakarta

768 Views

Atau dengan kata lain maksudnya setiap aksi kritik sosial yang dilakukan seniman perupa lewat karya lukisannya, tidak selalu dengan gampang diterima oleh sebagian publik secara visual. Bahkan, sebaliknya bisa menimbulkan kontradiksi alias ketersinggungan perasaan bagi pihak yang terkena kritik.

Sedangkan Galnas secara teknis merupakan tempat atau ruang apresiasi publik milik pemerintah dalam menyelenggarakan pameran karya lukisannya, yang memiliki perangkat mekanisme dan birokrasi aturannya sendiri yang sudah baku serta harus ditaati oleh sang pelukis yang menggunakannya.

Termasuk melalui peran kuratornya atas dasar hak yang telah diberikan oleh Galnas sebagai institusi untuk menyeleksi karya lukisannya yang dipamerkan. Betapapun seorang kurator lewat keahlian (skill) keilmuan senirupa yang dimilikinya tak lepas dari berbagai interpretasi dan subyektivitas selera seninya yang belum tentu diamini atau sependapat dengan sang pelukisnya.

Seperti halnya pula sang seniman perupa tak lepas dari “varialibilitas” standar berkarya  seni murni (fine-art) yang ditempuhnya. Di mana terkadang tak terhindarkan dari penurunan nilai kualitas seninya sehingga bisa juga jatuh ke genre karikatural, posteristik dan ilustratif. Lebih lanjut, dalam proses berkaryanya terjadi “distorsi” dari seni murni (fine-art) menjadi seni terapan (applied-art).

Hal-hal tersebut dalam banyak peristiwa kuratorial di banyak galeri, termasuk Galnas, selalu bisa digunakan untuk agenda khusus seorang kurator sebagai “kriteria” dalam menyeleksi karya-karya seniman perupa yang dipamerkan. Bahwa secara manusiawi, seniman perupa tak lepas dari variabel keterbatasan dan kekurangannya dalam mengemas karya ciptaannya.

Terutama terhadap karya-karya lukisan yang secara tematis mengandung “kritik sosial”, alias bernuansa politis. Termasuk kritik tajam kepada praktik ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah alias penguasa terhadap rakyatnya.

Nah, saya kira apa yang dialami pelukis Yos Suprapto adalah sebagai korban dari risiko dan konsekuensi atas pilihan tema karya lukisannya yang jelas mengandung kritik sosial yang keras dan tajam semacam tersebut di atas. Di mana karena  dari segi momentum keberadaannya dalam situasi politik yang sedang hangat-hangatnya sehingga rentan (resisten) terpolitisir dalam arus gejolak panasnya situasi politik itu sendiri.

Baca juga: Lihat juga: https://kalimantanreview.com/tanah-dayak-daerah-antropogenik-tanggapan-terkait-ibu-kota-nusantara-ikn/

Selama masih terbenam dalam situasi politik demikian, tentu saja penyelesaian masalahnya agar menjadi reda cukup sulit. Kecuali segera dikembalikan kepada habitatnya sebagai masalah seni dan budaya. Lewat penyelesaian secara khusus ke ruang internal Galnas sendiri yang menyangkut status kuratornya dan sang pelukis yang bertikai.

Pengalaman perjalanan para perupa Sanggar Bumi Tarung (SBT) yang sudah biasa berkarya dengan tema kritik sosial tersebut relatif berjalan mulus tanpa hambatan, bahkan sebanyak 5 kali berpameran di Galnas sejak mulai tahun 2008 hingga 2024. Mengapa bisa demikian?

Melalui konsep yang digagas perupa Amrus Natalsya almarhum, yang menekankan himbauan kepada kawan-kawannya. Secara cermat melukislah sebaik-baiknya dan seintens mungkin, lewat karya senirupa murni (fine-art) secara kreatif dan produktif. Paling tidak berupaya seminim mungkin untuk bisa jatuh kepada seni terapan (applied art). Seperti karya-karya karikatural yang vulgar dan kasar, posteristik dan ilustratif.

Memang semua yang harus kami hindari itu boleh dikatakan merupakan “penyakit” berkarya kami yang biasa bergelut dan bergelimang dalam kelindan gaya realisme yang mengandung kritik sosial, alias memiliki nuansa perjuangan politis.

Sungguh sulit dan berat menghadapi tantangan berkarya dengan metode kerja semacam itu, bagi kami. Pertanyaannya: bagaimana melukiskan penindasan, ketidakadilan, kekejaman dan pelanggaran Ham berat dalam bentuk dan warna secara imajiner di atas kanvas, tanpa tidak sampai jatuh ke karikatural, posteristik dan ilustratif yang kasar dan vulgar? 

Selama berpuluh tahun kami bergelut dengan tantangan demikian. Sampai kemudian melalui  anomali di antara berkarya dengan nuansa tema politis sebagai panggilan tanggung jawab moral versus kepentingan nafkah hidup yang mendesak tanpa bisa tertunda itu.

Ternyata dengan cara itu pula, seperti telah dikatakan Amrus atas lukisan yang bertema politis demikian, asal dikerjakan secara intens dan sepenuh hati, bukan berarti demi nafkah hidup, karya lukisan semacam itu sulit atau ogah diterima pasar.

Lewat lukisan realis, misalnya menggali tema dan motif metafor yang mengandung kiasan dan sindiran yang secara halus menyentuh kemanusiaan, untuk tidak sampai tampak bombastis dan vulgar itu, memang tidaklah gampang seperti membalik telapak tangan.

Saya tidak tahu, apakah kawan saya, pelukis Yos Suprapto juga telah mengalami dan mencoba menempuh proses berkarya yang semacam itu? Nyatanya kurator dan mungkin juga di antara banyak pengamat senirupa menafikan 5 karya Yos yang kontroversial itu. Menolak untuk berterus terang demi mengatakan karena alasan “politis”. Melainkan sesuai dengan profesinya berargumentasi, adalah obyektif melalui alasan “kriteria seni” seperti uraian saya di atas.

Bisa jadi itulah yang menjadi lubang hitam yang dianggap peluang bagi suatu penilaian yang membuat 5 karya Yos Suprapto tidak bisa dipajang di pameran. Bahkan akhirnya merembet kepada seluruh karya lukisannya meninggalkan pameran di Galnas yang batal, untuk diboyong – dipulangkan kembali ke dalam studio sang pelukis di Yogyakarta setelah kuratornya mundur dan pulang ke kota yang sama. Yang tertinggal barangkali, berseliwerannya gema timbunan komentar-komentar publik yang masih turut ambil bagian dalam menghangatkan situasi perpolitikan nasional yang turut dipicu oleh kompleksitas krusial dari sekelumit peristiwa seni dan budaya yang berasal dari sebuah pameran tunggal seorang pelukis “progresif kiri” Yos Suprapto. [*] Naskah esai ini dikirim penulis dari Banjarmanin, pada 25 Desember 2024 y.l.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *