Enggang Gading: Sang Maskot Identitas Borneo Terancam Punah


Dalam persentasi singkatnya, Budi Suriansyah menyampaikan alasan memilih Rangkong Gading sebagai iconik daerah kalimantan barat adalah atas Tinjauan 4E, yakni Etnografi, Eksotik, Endangered dan Eksistensi. “Sebagai Maskot Kalimantan Barat, Enggang Gading juga melambangkan Kehidupan, Kesetiaan, Perdamaian dan Kepemimpinan”, pungkas pria yang sampai saat ini masih aktif dalam pelbagai aktivitas konservasi di Kalimantan Barat tersebut.

Pergeseran Budaya
“Rangkong, Enggang atau Kenyalang, adalah makluk yang sakral karena memiliki nilai sprituliatas adat sangat tinggi bagi beberapa Subsuku Dayak di Kalimantan Barat dan Borneo umumnya, Kelompok Dayak Ibanic Grup misalnya, sebagian besar berpandangan dan meyakini bahwa kenyalang adalah makluk jelmaan dari manusia yang dianggap sebagai perantara atau penghubung antara manusia, alam dan Sang Pencipta, sehingga posisi Enggang bagi Dayak Iban sangat dihormati karena posisinya yang sakral dan penting. Oleh karena itu, bagi sebagian besar Masyarakat Adat Dayak tidak mungkin membunuh atau memburu enggang atau rangkong/kenyalang secara sembarangan. Namun kini, enggang baik balung (kepala dan baluh hingga bulunya) kebanyakan dijadikan sebagai media kreasi yang seolah-olah mewakili identitas Dayak. Kami menganggap pagelaran seni dan budaya kekinian yang menggunakan kepala dan bulu enggang asli adalah pergeseran budaya Dayak itu sendiri, di mana cara pandang spritualitas dan nilai-nilai budaya terhadap alam sudah berubah atau bergeser sangat serius,” papar Krissusandi Gunui’, Direktur Institut Dayakologi. “Adapun yang dapat menggunakan tengkorak kepala enggang dalam historis masyarakat Dayak, ialah seseorang yang punya kemampuan khusus dan memiliki jasa besar bagi komunitasnya, atau seorang pemimpin yang sangat dihormati dan dianggap layak menggunakannya, itu pun dalam momen tertentu saja, misalnya dalam perkara adat, jadi bukan sembarang orang, itupun berasal dari tengkorak enggang yang sudah meniggal atau bukan dibunuh”, tambahnya.
Kriss Gunui’ juga menambahkan penyelamatan dan Eksistensi Rangkong Gading tidak hanya dapat dilakukan lewat konservasi, melainkan harus dengan pendekatan atau cara-cara yang holistik dengan melihat aspek sosial masyarakat serta regulasi dari pemerintah yang harus memperhatikan kehidupan sosial, budaya, ekonomi sekaligus kelestarian lingkungan.
Diskusi berjalan sangat lancar, peserta yang berasal dari berbagai latar belakang seperti aktivis lingkungan, seniman, pegiat budaya, dan mahasiswa bergantian mengajukan pertanyaan, tanggapan maupun saran untuk penguatkan eksistensi Enggang Gading di Kalimantan Barat. Lebih dari tiga jam diskusi tersebut pun diakhiri oleh Deni, sang moderator.