Tengkawang, Peluang yang Terancam


S. WINA

Tengkawang adalah hasil hutan Kalimantan yang sempat populer sebelum hutan Kalimantan sudah sedemikian luas menjadi sasaran alihfungsi untuk konsesi HPH, HTI, perkebunan skala besar dan tambang seperti sekarang ini. Tengkawang (shorea) beragam jenis. Tumbuhan khas hutan tropis Kalimantan ini biasanya ditemukan di daerah rawa dan bantaran sungai. Tengkawang telah dijadikan maskot flora khas Kalimantan Barat. Tapi, apa artinya sebagai maskot apabila kelak tumbuhan tengkawang itu punah akibat masifnya proses deforestasi hutan Kalimantan karena dampak ekspansi investasi?
Di kalangan komunitas Dayak Kanayatn berbahasa ba ahe, tengkawang dikenal dengan nama angkabakng; atau engkabang untuk komunitas Dayak Iban; sangkabakng dalam bahasa sehari-hari Dayak Bakatik; ngkabang di komunitas Dayak Randau Jokak; Dayak Muara (nengeh) disebut pungkawa; dan kengkabang dalam bahasa komunitas Dayak Jalai. Hingga sekarang, beberapa komunitas Dayak masih dapat mengumpulkan buah tengkawang meskipun pohon tengkawang semakin berkurang. Buah tengkawang dikeringkan dengan cara dijemur langsung di bawah terik matahari atau disalai di atas tungku api, kemudian dijual ke pedagang pengepul.
Dari puluhan jenis tumbuhan tengkawang, terdapat 13 jenis tengkawang yang ditetapkan sebagai jenis kayu yang dilindungi berdasarkan PP No. 7 tahun 1999. Pemanfaatan tengkawang; dari buahnya ternyata sangat beragam. Terutama untuk dijadikan minyak, mentega, sabun, bahan kosmetik, bahan farmasi dan obat-obatan. Di dalam ritual pengobatan orang Dayak (baliatn: Dayak Kanayatn Baahe; Bari’: Dayak Bakatik; Boboretn: Dayak Pandu) yang melibatkan seorang tokoh medium atau shaman, buah tengkawang terutama dari unsur minyaknya dijadikan bahan pengobatan yang penting.