Strategi Kebudayaan Komunitas Adat Tampun Juah di Kampung Segumon dalam Menghadapi Krisis Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19
Perempuan dan Anak-anak Komunitas Adat Tampun Juah terus Melawan Corona
Kampung Segumon, Sanggau–Respon warga terhadap pandemi Covid-19 ini beragam. Ada yang cuek-cuek saja, was-was, khawatir hingga ketakutan sekali. Tapi ada pula warga yang patuh sepenuhnya menjalani imbauan pemerintah dan protokol kesehatan. Kabar bertubi-tubi tentang korban Covid-19 dari radio, tv, koran-koran dan sosial media turut memicu munculnya aneka respon warga.
Sesuai tipologi potensi setempat, warga memiliki strategi kebudayaan masing-masing dalam menghadapi krisis global akibat bencana Covid-19. Sekitar 60-80 persen perempuan adat Kampung Segumon, Desa Lubuk Sabuk, Ketemenggungan Sisang bekerja sebagai buruh lepas (BL) di perkebunan kelapa sawit milik PT. DSN (Danista Surya Nusantara). Mereka mengaku cukup panik mendengar banyak kabar tentang kasus Covid-19, meskipun imbauan pemerintah dan anjuran otoritas kesehatan selalu berusaha dipatuhi. Kini mereka menghadapi kesulitan. Ibu Judin (48 th), misalnya, buruh lepas (BL) kebun sawit mengatakan, mereka masuk kerja hanya 3 hari dalam seminggu yang hasilnya tak dapat diandalkan. “Kami masuk kerja seminggu hanya 3 hari, setiap Senin, Selasa dan Rabu. Dengan upah per setiap masuk kerja Rp. 100.020 (seratus ribu dua puluh rupiah) tentu kurang mencukupi,” kata Ibu dari 2 anak ini kepada tim KR. Ketika bekerja, mereka wajib menjaga jarak.
Saling berbagi makanan pun sangat dilarang demi mengantisipasi penyebaran virus Corona. Ibu-ibu yang merupakan perempuan adat setempat terpaksa harus menjadi buruh lepas karena sebagian besar wilayah adat telah menjadi konsesi dan dikelola perusahaan, yang sebelumnya (ketika masih atas nama PT SISU atau Sepanjang insti Surya Utama II, red) memang menjanjikan pekerjaaan pada masyarakat. Namun pekerjaan dibatasi dan kapan-kapan bisa diberhentikan karena alasan kurang pekerjaan atau usia sudah tua. Akibatnya Masyarakat Adat terus ketergantungan pada perusahaan, hingga rela menjadi buruh lepas yang tak jelas masa depannya. Hal tersebut diungkapkan oleh Burhan (40), Kepala Wilayah (Kadus, red) Kampung Segumon. “Ibu-ibu terpaksa bekerja karena tanah kami sebagian besar sudah dikelola perusahaan atas nama izin atau konsesi, karena wilayah untuk mata pencarian kurang maka terpaksa kerja di PT, karna itulah kanji mereka dulu, walau masa depan yang kerja di PT, termasuk Ibu-Ibu sebagai BL, tidak jelas,” ungkap Burhan. Meski sebagian wilayah sudah masuk perusahaan, ada sebagian lagi wilayah yang berhasil dipertahankan Masyarakat Adat Segumon dan di era covid menjadi penyangga hidup terutama kebutuhan pangan dan obat-obatan.
Dalam kesempatan lain, Selasa (12/5), kepada tim KR, Ibu Murniati (41 th) yang juga kerja sebagai BL di kebun sawit juga mengatakan bahwa waktu kerja saat ini semakin pendek. “Waktu kerja kami dimulai dari jam 07:00 pagi, selesai jam 14:00 Wiba, hasilnya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari,” ujarnya. Pemberlakuan pembatasan lain juga sangat dirasakan warga, misalnya, kegiatan-kegiatan yang melibatkan kerjasama dalam kelompok tidak bisa dilakukan. Menurut Ibu Murniati, banyak rencana kegiatan kelompok perempuan terpaksa ditunda bahkan ada yang dibatalkan untuk mencegah potensi penyebaran Covid-19 di wilayah adat Ketemenggungan Sisang tersebut. “Beberapa hari lalu, kami di kelompok perempuan adat mengadakan rapat khusus, tapi pesertanya memang hanya 5 orang saja, tapi tetap mentaati aturan kesehatan di saat Covid-19 ini,” kata Ibu Murniati menambahkan. Sebagian besar ibu-ibu mengisi waktunya dengan beraktivitas di kebun lada dan ladang masing-masing.
Hutan Adat dan Kearifan Lokal menjadi Benteng Penyangga
Kearifan lokal memiliki peran penting dalam pencegahan potensi penyebaran wabah virus Corona di wilayah adat Ketemenggungan Sisang, Segumon. Ibu Judin dan Ibu Murniati sepakat bahwa kearifan lokal memberikan manfaat positif yang sangat dirasakan warga dalam memutus mata rantai penyebaran wabah Covid-19 di wilayah tinggal mereka. “Kami merasakan manfaat kearifan lokal melalui ritual adat malis di sini dalam mencegah masuknya segala bentuk ancaman bahaya, penyakit, sampar hingga virus Corona ke wilayah kami. Apalagi semua warga sangat mematuhi segala pantangan adat. Apabila ada warga yang melanggar, maka yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sesuai hukum adat di sini,” jelas Murniati.
Harga barang naik, harga hasil pertanian turun
Perempuan adat Tampun Juah, Kampung Segumon tak luput dari imbas ekonomi wabah Covid-19. Tak sedikit warga perempuan di Segumon terpaksa berhenti jual beli barang melalui jalur perbatasan Indonesia-Sarawak, tepatnya di pasar Serian. Karena akses lebih cepat sekitar 45-50 menit dengan oplet dari Mongkos ke pasar Serian, mereka membeli kebutuhan sehari-hari dari negara tetangga. “Kami kesulitan membeli kebutuhan sehari-hari, apalagi jalan akses di perbatasan telah ditutup total. Sementara harga barang-barang sekarang naik tinggi,” ujar Ibu Judin. Harga barang-barang kebutuhan pokok naik drastis, sedangkan harga hasil tani semakin turun. “Gula yang dulunya Rp.12.000/kg, menjadi Rp. 25.000/kg. Karet yang selama ini diandalkan warga masih Rp. 5.000/kg, lada sekarang hanya Rp.19.000/kg,” pungkas ibu dari 2 anak ini.
Memasak menggunakan kayu api memiliki keunikan. Pertama , aroma masakan wangi lebih sedap. Kedua memanfaat hasil hutan seperlunya. Ketiga secara ekonomis lebih hemat. Keempat tetap mewarisi kebiasaan baik secara turun temurun. Kelima ada kepuasan bathin dalam proses mencari kayu api hg ke memasak. Keenam abu arang dapur dapat dimanfaatkan untuk penyubur tanaman. Ketujuh kebiasaan n kelengkapan hidup orang daya musti memiliki dapur kayu yg multi fungsi. 7 point ini merupakan aktivitas yg pas dlm suasana co 19 bahkan seterusnya. Bagi Shinta setiap orang musti mandiri dalam banyak hal. Terima kasih