Perusahaan Sawit di Kab. Sintang dan Sanggau, Belum Laksanakan Transisi Berkeadilan untuk HAM, Demokrasi Ketenagakerjaan dan Konstitusi Ekologis: Diseminasi Riset Walhi Kalbar

444 Views

Rekomendasi untuk  RSPO

Rekomendasi kepada RSPO di antaranya: 1) Meninjau kepatuhan ketenagakerjaan DSN Group terhadap Kode Etik Anggota RSPO, Prosedur Sistem Sertifikasi RSPO, Prosedur Keluhan dan Banding RSPO, 2) Menangguhkan sertifikat RSPO terhadap rencana perpanjangan dan pembaruan sertifikasi minyak sawit DSN Group.

Rekomendasi kepada Pembeli Minyak Sawit

Kepada pembeli minyak sawit, direkomendasikan: 1) Menghentikan pembelian minyak sawit dari PT. DPS, PT. PSA dan PT. MAS sampai terjadi pemulihan dan dipatuhinya seluruh hak-hak pekerja perkebunan kelapa sawit, 2) Segera melakukan kerja sama untuk menyusun rencana aksi dan tanggung jawab bersama (shared responsibility) untuk memulihkan hak-hak pekerja perkebunan kelapa sawit yang ada di PT. DPS, PT. PSA dan PT. MAS.

Respon Penanggap

Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch, salah satu penanggap diskusi tersebut menyatakan bahwa riset Walhi Kalbar tersebut merupakan potret dari kompleksitas persoalan yang ada di sektor perkebeunan kelapa sawit. “Itulah persoalan-persoalan dasar yang belum selesai di sektor perkebunan kelapa sawit, dan akan semakin kompleks lagi jika dihubungkan dengan agenda perubahan iklim,” papar Surambo.

Berdasarkan data Sawit Watch (2023), konflik perkebunan kelapa sawit di Indonesia terjadi di 1.106 komunitas di 22 provinsi, yang melibatkan 365 perusahaan dari 121 grup. Menurut Surambo, penting implementasi yang efektif kebijakan perlindungan dan pemberdayaan buruh perkebunan sawit. Ia juga menambahkan perlunya moratorium permanen dan evaluasi atas praktek-praktek tata kelola perkebunan sawit terkait hubungan kerja buruh sawit, dan bukan hanya petani sawitnya, tapi juga agenda-agenda lainnya yang terkait.

Penanggap lain, Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional memaparkan bahwa penting sekali memperhatikan isu perkebunan kelapa sawit, dari hulu hingga hilirnya. Tata kelola yang buruk di satu sisi, dan lemahnya penegakan hukum di pihak lain, tidak saja dapat mengakibatkan bencana ekologis dan sosial, tapi juga ketidakadilan pasar, hingga ketidakadilan ruang.

Uli membeberkan data (Juni 2023), ada 3,3, juta hektar kebun sawit masuk kawasan hutan akan dilegalkan pemerintah. Lalu, ia juga melansir Luhut pada 10 Mei 2023 yang mengatakan bahwa ada 9 juta hektar lahan sawit belum bayar pajak.

Terkait ketimpangan alokasi ruang, Uli mengatakan di berbagai pulau di Indonesia, ketimpangan alokasi ruang antara korporasi dan rakyat sangat besar. Pulau Kalimantan yang sudah dialokasikan untuk kepentingan korporasi seluas 24.735.733 hektar, sedangkan untuk rakyat hanya 1.070.350 hektar (lihat data berikut).

Menurut Uli, pengalaman selama ini menunjukkan bahwa ada 4 (empat) persoalan yang terkait erat dengan pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit saat ini yaitu deforestasi dan kerusakan lingkungan, konflik, akumulasi primitif: tenaga kerja murah dan eksploitasi buruh, serta subordinasi petani (lihat gambar berikut).

“Prinsip transisi berkeadilan bisa diwujudkan dengan 5 (lima) prasyarat yakni: 1) Akuntabel, Transparan, dan Partisipatif, 2) Penghormatan, Pemenuhan, dan Perlindungan HAM, 3) Keadilan Ekologis, 4) Keadilan Ekonomi, dan 5) Transformatif. Apabila kelima prasyarat tersebut tidak dijalankan, maka kondisi jelas merupakan kejahatan ekosida,” pungkas Uli.

Pembahas berikutnya adalah R. Giring yang mengawali tanggapannya dengan menyatakan keadilan hak asasi manusia masih di langit. Pernyataan itu ia ungkapkan karena mempertimbangkan temuan riset Walhi tersebut. Dia mengatakan, riset berperspektif HAM tersebut berhasil memotret bagaimana Negara dan Korporasi menjadi aktor pembiaran dan/atau pelanggar HAM, khususnya dalam kaitannya dengan transisi berkeadilan untuk HAM, demokrasi dalam ketenagakerjaan dan konstitusi ekologis di sektor perkebunan kelapa sawit.

Giring, yang notabene PO Divisi Riset, Dokumentasi dan Publikasi Dayakologi yang juga Wakil Direktur Institut Dayakologi mengingatkan jika berbagai persoalan sebagaimana temuan riset tersebut tidak diselesaikan, maka dalam jangka panjang kondisi tersebut dapat bereskalasi ke proses genosida budaya (cultural genocide).

Giring juga menyarankan agar peneliti melengkapi data yang berperspektif korban berupa testimoni, seperti pernyataan pengakuan langsung buruh perempuan atau yang pernah menjadi buruh di perusahaan sawit, termasuk testimoni dari pekerja anak-anak atau anak-anak yang pernah bekerja di perusahaan sawit.

“Data berupa pengakuan langsung dari pihak korban akan memperkuat hasil riset berperspektif HAM, selain kajian-kajian hubungan hukum yang bersifat evaluasi atas pemberlakuan instrumen hukum HAM itu sendiri sehingga konteks persoalannya semakin tajam,” papar Giring. Ia juga mengharapkan riset Walhi dapat diperluas hingga di 3 (tiga) kabupaten perbatasan lainnya, yakni Sambas, Bengkayang dan Kapuas Hulu.

Salah satu peserta yakni, Andi dari SPKS Sanggau mengatakan bahwa prinsip-prinsip dan kriteria HAM di sektor perkebunan kelapa sawit sudah ada kesepakatannya di RSPO maupun ISPO.

“Tapi kalau masih ada perusahaan kelapa sawit melanggar kesepakatan ini, maka perusahaan tersebut harus dievaluasi. Bila perlu RSPO dan ISPO nya juga kita evaluasi,” imbuhnya.

Sementara itu, Suryansyah peserta utusan dari SPKS Kalimantan Barat mengatakan, buruh perkebunan kelapa sawit seringkali tidak mendapat upaya minimum yang layak, tapi di satu sisi penegakan hukum juga masih sangat lemah. Bahkan hak-hak normatif buruh perempuan juga masih jauh dari keadilan. Ia berharap agar tindak lanjut acara ini kelak bisa menghasilkan perubahan yang baik bagi kondisi buruh di perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Dari instansi pemerintah terkait, yakni Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kab. Sintang, Ibu Suryati, saat merespon pemaparan peneliti mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah menerima laporan bahwa ada pekerja anak di lingkungan perusahan kelapa sawit di Kab. Sintang. Ia juga mengapresiasi hasil riset Walhi Kalbar karena kaya informasi lapangan.

“Hasil riset ini akan kami jadikan bahan evaluasi, di antaranya terkait hak BPJS buruh. Apabila ada buruh yang tidak diberikan hak BPJS, maka pihak perusahaan dapat dikenakan sanksi kurungan dan denda. Pada saat kami ke lapangan dan meminta laporan dari manajemen tiap perusahaan, kami tidak menemukan data terkait keberadaan buruh harian lepas di perusahaan tersebut. Yang ada datanya hanya buruh tetap saja,” kata Bu Suryati apa adanya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *